Baru netral irama jantungku, Bagas datang lagi.
"Apa lagi, lho?" Si Bagas pun kena sengak.
"Tadi Tante Serli mau tambahin pulsa gratis?"
"Oh, iya pula. Sampai lupa kan jadinya. Bentar kalau gitu." Masih sambil menggendong Meisya, aku isi lagi pulsa si Bagas. Lima ribu, cukup.
"Eh, Bagas ... jangan mau-mau aja disuruh bohong sama mama kau, dosanya besar. Coba kalau papa kau tau kalian berbuat kayak gini, beuh ... dilemparnya kalian ke kali Cikapundung."
"Eta kali Cikapundung jauh pisan, Tante?" Bagas terkekeh.
"Kok ketawa pulak kau, ha? Mau jauh kek, mau dekat kek, nggak ada urusannya sama aku. Kau pula minta-minta aku naik insang."
"Udah, haturnuhun pisan, Tante. Bagas permisi, ya."
"Ya, sama-sama. Bilang sama mama kau, jangan cari ribut terus sama aku. Salah orang dia kalau cari masalah sama anak Medan. Paham kan, Gas?"
"Gas?"
"Bagas?"
"Kok diam aja kau, Gas?" Aku menoleh keluar lagi. Alamakjang rupanya dia sudah lari tunggang langgang. Ada pula takut-takutnya dia sama aku kan.
Dahlah, capek kali aku. Ngos-ngosan kan kelen bacanya? Yaudahlah, balik jadi Neng Serli kalem lagi kalau kitu.
Sembari momong Neng Meisya, aku bisa masak di dapur. Masak yang mudah-mudah saja. Telur mata sapi balado dan sayur sawi putih. Nanti kalau Aa Teguh mau beli ayam goreng krispy abang-abang, tinggal jalan ke depan sebentar. Biar nggak sepi pisan teh meja makan, tinggal beli kerupuk udang di warung sekalian. Sederhana, tapi nikmat. Lagi pun, mentimun juga ada di kulkas untuk lalapan.
Belum tepat pukul empat sore, Mas Yanto sudah pulang. Kami bahkan belum mandi, ketika dia baru tiba. Jadi, kedapatanlah kami yang cemong seperti upik abu. Hehehehe.
"Tumben atuh pulang cepat?" tanyaku, seraya menyuguhkan secangkir kopi.
"Iya, alhamdulillah tadi agak rame, Neng. Capek pisan rasanya, makanya pulang lebih awal. Badan rasanya remeuk."
"Oh, yasudah kalau kitu. Istirahat dulu, baru mandi. Neng teh ke belakang dulu, mandiin Meisya."
Seperti rutinitas sore hari pada umumnya. Aa Teguh mandi duluan, terus dia akan pergi bermain keluar. Dilanjutkan aku yang mandi sekalian Neng Meisya. Terus ambil nasi, duduk depan rumah nyuapin si geulis sembari menunggu-nunggu barangkali ada yang beli pulsa.
Namanya juga ibu rumah tangga, ya apalagi kegiatannya kan?
Selesai Magrib, kami berkumpul untuk menikmati makan malam. Dilanjutkan ngobrol-ngobrol ringan sebelum istirahat malam. Paling sering terjadi, adu pendapat mengomentari tayangan di televisi. Apalagi kalau sinetron, terus terlalu banyak adegan menye-menye, ah itu gemas pisan aku. Masa yang baik tertindas terus, nggak masuk akal.
"Si Mila nyari masalah lagi teh. Perasaan dulu di gang sebelah hidup kita adem ayem ya, Mas. Nggak ada orang kayak Mbak Mila. Nggak ada juga orang gedor-gedor pintu tengah malam kan?"
"Masalah naon, Neng?" sahut Mas Yanto, datar, seperti biasa. Nggak ada ekspresi terkejut sama sekali.
"Si Bagas, isi pulsa tadi pagi. Pulsanya udah masuk, eh kesedot pulsa darurat. Nah, Mbak Mila ngamuk ke sini. Katanya teh aku nipu, aku ngibulin bocah segala macam. Sampai dibikin-bikin story WA. Kan apa teh namanya kalau bukan nyari masalah? Pokoknya mah Mbak Mila ada dendam kesumat sama kita."
"Terus?"
"Ya terus apa, lho?"
"Kok ngegas atuh, Neng ...." Mas Yanto menoleh dengan wajah kaget.
"Eh, punten atuhlah, kelepasan. Ya terus begitu atuh, untung si Bagas ini teh anaknya jujur. Dibuka cerita sama anaknya sendiri, ketahuan kalau itu skenario Mbak Mila biar diisi lagi pulsanya."
Tidak lama kemudian, Selvi melakukan panggilan video. Teguh bergegas mengangkat. Mereka mengobrol sejenak, sebelum ponsel diserahkan kepadaku.
"Mas pegang Meisya, ya. Neng pindah ke kamar dulu."
Kenapa harus pindah? Karena Mas Yanto nggak akan kuat mendengar kami mengobrol seperti orang unjuk rasa. Teriak-teriak seperti pedagang Pajak Sambu.
Pertama sekali yang ditagih Selvi adalah minta tembakkan pulsa. Setelah itu baru dia cerita, kalau Mamak menangis dari sore. Katanya rindu kali sama Serli. Nggak biasanya loh Mamak kayak gitu. Feeling-ku mengatakan, pasti ada sesuatu hal yang lain.
"Mana Mamak?" tanyaku agak tegas pada Selvi.
Terlihat kalau Selvi berjalan menuju kamar Mamak. Dia menggoyang-goyangkan bahu Mamak agar bangun. Benar saja, mata Mamak sembab dan merah. Sudah pasti Mamak menangisnya lama kalau begini.
"Kenapa Mamak?"
"Nggak ada lho, Ser."
"Kata si Selvi Mamak rindu kali sama kami. Doa-doakan ada rezeki ya, Mak. Biar kami bisa pulang lebaran tahun ini."
"Nggak ada pun, itu pandai-pandai Selvi aja ngarang cerita." Mamak membantah.
"Jadi Mamak nggak kangen sama aku? Alamakjang, sedih kali hatiku, lho."
"Iya, rindulah."
"Tadi kata Mamak nggak?"
"Hish, banyak kali cerita kau. Kubuang juga HP ini nanti, ya."
"Itu HP aku lho, Mak!" seru Serli.
"Iya buang ajalah, HP butut nggak guna kayak gitu, ngapain pula sayang-sayang buangnya," kataku tertawa lepas.
"Santai muncung kau, Kak!" Memang gak ada sopan-sopannya Selvi ini, We.
Dari cerita ke cerita, akhirnya terbuka juga masalah sebenarnya. Biasalah, ada OKB (orang kaya baru) pulang kampung. Seakan-akan mampu dia membeli Medan setengah. Saking pongahnya lagak beliau pulang merantau.
"Mamak kan tanya, 'kerja apa kau rupanya di Jakarta. Aku tengok-tengok kok udah mentereng kali gaya kau sekarang.' Dia bilang, 'Pokoknya kerja enaklah, Nande. Namanya merantau ya harus membawa hasil. Habis itu dia tanya kau kan, Ser. Ya mamak bilang aja kalau Serli jualan pulsa, suaminya buka usaha bengkel."
"Terus, Mak?"
"Terus apa, lho? Sesak napasku kalau cepat-cepat. Apa susahnya kau diam sabar nunggu aku cerita. Dahlah, capek kali aku sama kelen. Beradik kakak sama aja!"
Lah, kok?
"Aduuuh sayang, Mamakku. Jangan apa kali sama anak cantik Mamak ini, weh."
"Terus dia ketawa-ketawa, ngejek-ngejek gitu pokoknya, Ser. Dihina-hinanya anak mamak, ya nggak terimalah aku."
Wah, seru kayaknya ini. Habis betumbuk Mamakku sama orang.
"Terus, Mak?"
"Ya apa lho, Ser? Terus-terus apa, lho ... sabar kau dikit kenapa. Ngos-ngosan aku ini. Maunya kau mati?"
Astaghfirullah, orang nanya baik-baik kok kena hantam pula. Dahlah, capek aku. Aku Serli, aku baik, aku diam ajalah. Mamak kan nggak tahu aku nggak sabar.
"Ya kayak gitu, aku tanya seleranya ... aku ...."
Lah, lah, panggilan terputus? Aku ulang-ulang, kok nggak mau? Eh, si Meisya jerit-jerit pula.
Dahlah, mati penasaran kalau kayak gini😑
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSA
ComédieCerita ini selengkapnya saya upload di KBM App ya. Yuk download dan ikuti cerita Serli Kang Pulsa🥰