Bagian 5

1 1 0
                                    

Tepat pukul sembilan malam, pintu rumahku diketuk. Awalnya aku mengira yang datang hanya Ceu Romlah mengantarkan uang arisan. Ternyata tidak, ada tiga orang yang datang.

Jauh sebelumnya, Mas Yanto sudah mewanti-wanti agar aku tidak ngamuk-ngamuk lagi. Padahal, aku sudah mempersiapkan kuliah tujuh menit untuk Ceu Romlah. Eh, apalah daya. Melawan kepada suami, malah jadi dosa.

"Ish, masih berani mereka ke sini. Kurasa ada paok-paoknya si Mila sama Asep inilah." Aku berkata nyaris berbisik, rupa-rupanya masih kedengaran sama si Yanto. Eh maksudku Mas Yanto. Janganlah pakai logat medan pula baca paragraf satu ini, We. Kelen ini kok ngikut-ngikut aku aja, lho?

"Mangga, Ceu." Mas Yanto mempersilakan mereka masuk.

Basa-basi busuk dari Ceu Romlah menghasilkan kesimpulan kalau aku tidak jadi dikeluarkan arisan. Selain karena tidak ada uang untuk mengembalikan setoran, juga diprotes oleh anggota yang lain. Ya jelas atuh, orang aku nggak pernah lalai selama ini.

"Ceceu sekalian ajak si Mila sama Asep, biar masalah antara kalian juga selesai," ujar Ceu Romlah berpindah topik. Padahal soal arisan itu belum ada keputusan dariku.

"Kami nggak ada masalah kok," tukasku agak keras.

"Tahan atuh, Neng." Mas Yanto mendelik ke arahku.

"Ya apa, lho!" desisku hampir-hampir tidak terdengar oleh mereka.

Mila si begu (hantu) itu tiba-tiba saja menangis. Tersedu-sedu memohon maaf, alasannya khilaf karena merasa jengkel dipermalukan ketika mengambil bantuan PKH.

Kan, apa kubilang tadi. Mila memang ada bodat-bodatnya kurasa. Dia lho yang duluan ngata-ngatain, kok sekarang dia pula yang merasa terzalimi. Apa nggak paok itu namanya? Pakai logat medan bacanya, We!

'Rasa-rasa ingin kugelitik ginjal kau pakai linggis, Mila. Tahan, Serli, tahan. Sabar, sabar!' Aku merutuk-rutuk dalam hati.

Setelah berusaha keras mengontrol emosi. Akhirnya aku bisa menjadi Serli Neng Geulis yang kalem, adem, ayem, boru Medan rasa Sunda. Aku Serli, aku cantik, aku baik.

"Ya sudahlah, Ceu. Saya juga nggak mau memperpanjang masalah lagi, baik dengan Ceceu atau dengan Mbak Mila. Masalahnya saya anggap selesai. Kita sama-sama melepaskan diri dari urusan ini, nya'. Namun, punten atuh Ceu ... saya teh nggak mau lanjutkan arisan. Masa ditarik ulur seenaknya. Bukannya kumaha-kumaha nya, biar bener-bener nggak ada urusan apa-apa lagi kita. Saya kasih waktu seminggu, Ceu. Tolong dikembalikan uang saya sekalian utang-utang Ceceu sama saya."

"Neng, kunaon kitu?" sela Mas Yanto.

"Eta tadi pagi tiba-tiba dikeluarin gitu aja sama si Ceceu. Kayaknya kemakan omongan Mbak Mila. Eta katanya kita mah nggak sanggup bayar. Jualannya cuma pulsa, untung seribuan. Mana sanggup atuh bayar arisan segitu. Padahal mah selama ini Mbak Mila yang sering terlambat setorannya. Atuh udahlah, ya ... nggak usah dibahas. Tadi kan udah selesai masalahnya."

Akhirnya Ceu Romlah menyerah membujukku. Aku tetap dengan keputusan awal. Berhenti ya berhenti, iya itu iya, tidak itu tidak. Mana bisa iya tidak, iya tidak. Bukan tipeku seperti itu. Sampai-sampai Kang Asep mengomeli Mbak Mila pakai bahasa Sunda full yang aku tidak paham artinya. Intinya dia marah gara-gara mulut lemes si Mila, Ceu Romlah kena getah. Lagian, Ceu Romlah gampang banget terpengaruh, ya?

Bukan Neng Serli boru Siahaan kalau feelingnya tidak kuat. Mila itu hanya berkamuflase. Hanya pura-pura, air mata buaya. Supaya urusanku dengan arisan Ceceu Romlah juga selesai. Tentu tidak, Nantulang. Eh kok mendadak medan pula, We.

Teguh—anakku, sedang berada pada fase transisi dari anak-anak menuju remaja. Begitu pun dengan Bagas—anak Mbak Mila. Mereka satu kelas, sama-sama kelas enam sekarang. Sebagai efek pandemi, sekolah diberlakukan selang-seling. Satu hari tatap muka, satu hari daring. Jika itu tatap muka, anak-anak dibekali dari rumah dengan makan siang dan uang jajan. Entahlah, aku teh kadang tidak paham dengan tipe-tipe seperti Mbak Mila. Yang sering menggampangkan urusan, "Pakai uang kamu dulu teh, entar di rumah diganti." Padahal, kenyataannya tidak pernah terjadi mengganti secara inisiatif. Giliran ditagih berdalih, "Duit segitu sampai ditagih-tagih pisan."

Sejak malam hari Mbak Mila ke rumah, ternyata Teguh selalu diolok-olok Bagas di sekolah. Anak itu mengompori orang-orang lain untuk membully anakku. Mereka lagi-lagi merendahkan aku dan Mas Yanto. Jelas saja anak-anak itu meniru apa yang dibicarakan oleh orang tua mereka. Aku mencoba sabar, tiap kali Teguh mengadu saat pulang.

"Mereka juga bukan orang kaya, Aa nggak perlu takut. Mama teh mau tanya, Aa malu nggak dengan keadaan ini? Mama cuma jualan pulsa, Papa cuma usaha bengkel kecil-kecilan."

"Enggak, Ma. Aa nggak malu sama sekali. Kan pekerjaan halal, kenapa harus malu."

"Nah, pinter anak mama. Kalau dijelek-jelekin orang, sabar aja. Nanti mereka capek sendiri, kok."

"Tapi tadi Aa lawan si Bagas teh, Ma."

"Lawan kumaha?"

"Dia 'kan terus-terusan bilang, gara-gara Aa cuma bekal nasi goreng sama telur dadar. Eh katanya Aa mah kasihan nggak pernah makan enak. Yaiyalah, nggak sanggup beli. Terus Aa disorakin sama teman-teman. Aa balas dong, Ma."

"Balasnya kumaha?" Wah jangan-jangan ... aku mulai curiga kalau begini.

"Kepala otak kau nggak sanggup beli. Mamaku walaupun jualan pulsa, tapi ada duitnya. Dari pada mama kau, pulsanya ngutang sama mamaku. Banyak lagi cincong kau, kurontokkan gigi kau itu ya, moncong lele."

Oimakjang, nggak sia-sia aku ajarkan dia ini, Tuhan. Paten kali kurasa.

"Tapi jangan sering-sering ya, A. Nanti dipanggil BK jadi ketahuan sama Papa. Biarlah ini menjadi rahasia kita. Darah medan itu memang nggak mau padam. Pokoknya mama bangga kali sama kau."

"Ser, aya teu?" Yang sedang dibicarakan datang, Euy.

"Naon?" jawabku malas.

"Ser, anu teh ... boleh isikan Mbak pulsa dulu. Nanti sore diantar uangnya. Penting banget, Ser. Mau telpon si Mbok di kampung."

"Nggak ada saldo, Mbak."

"Sepuluh ribu doang, Ser." Mbak Mila seperti biasa, memaksa.

"Nggak ada, Mbak. Beneran."

"Lima ribu mungkin ada, Ser?"

"Ya Allah, nggak ada, Mbak. Belum sempat top up, riwueh kerjaan di rumah. Cuaca nggak bagus, khawatir ke agen bawa-bawa si Meisya entar kehujanan."

"Tolong atuh, Ser. Tiga ribu kali ada, tolongin atuh."

Ya Tuhan, kok ya ada manusia kayak si Mila ini, lho?

"Kubilang gak ada ya nggak ada, Mbak. Jangan pekok kali kau jadi orang. Maksa-maksa terus, ngutang pula. Dihalusin, kau menjadi. Dikerasin, kau bilang aku kasar. Capek kali aku lho. Kalau emang perlu, ya kau isi aja sana keluar ... ke konter."

Naik sasak aja aku gara-gara manusia satu ini. Masih adanya dia nyali ngutang pulsa. Macam anjing kejepit perangai si Mila ini. Nanti ditolong, bukannya terimakasih malah menggonggong cerita jelek-jelek sana sini.

Dahlah, capek kali aku!

DIHINA GARA-GARA BAKULAN PULSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang