30. Terindah dan Terakhir

22.6K 1.5K 8
                                    

Minggu terakhir menjadi istri dari seorang Reghan, membuat hati Hana tak menentu setiap malamnya. Wanita itu berusaha agar semua yang terjadi tak perlu terlalu dipikirkan. Namun, entah mengapa otaknya selalu saja mengingat kilas balik bagaimana hari akad antara dirinya dengan Reghan. Semua kejadian yang pernah keduanya lewati bersama menjadi saksi bisu malam yang Hana lalui sebelum tidur.

Wanita berbadan dua itu merebahkan tubuhnya menyamping ke sebelah kiri. Ia masih asyik melamun dengan sesekali menguatkan hatinya jika semua yang ia lakukan sudah benar. Apa yang ia putuskan tidak akan merugikan siapapun, termasuk Reghan.

Kunci kamar mandi terdengar terbuka, buru-buru Hana menutup mata. Reghan baru saja selesai membersihkan tubuhnya. Ia hendak membuka lemari, tetapi pandangannya lebih dulu tertuju pada wanita yang tengah meringkuk di ranjang menyamping ke arahnya saat ini.

Kelopak mata itu bergetar tak karuan. Reghan menyunggingkan senyum tipis. Ia berjalan mendekat pada Hana masih dengan keadaan tubuh toples tanpa atasan. Ia mengusap wajah wanita itu, kurang puas ia pun mencium pipi itu berulang kali.

Hana tak dapat menahan rasa gelinya. Ia pun terbangun sembari tertawa dan menghindar dari jangkauan Reghan. Lelaki itu tertawa melihat Hana yang terbahak karena ulahnya.

Tersadar, Hana melongo melihat tubuh tanpa atasan itu. Ia menelan salivanya beberapa kali. Tangannya mencubit pipinya agar tersadar. Buru-buru Hana turun dari ranjang dan berlari ke luar kamar.

"Mau ke mana, hm?" Reghan menahan tangan Hana. Wanita itu tampak kelimpungan mencari alasan.

"Mau bantu Bu Surti bikin makan malem," ucap Hana sembari tersenyum bodoh.

Reghan menaikkan alisnya. "Bukan karena lihat badan aku?"

Lagi, Hana termakan kata-kata itu. Matanya ingin terus menatap pemandangan indah itu. Jangan tanyakan tangannya pun ingin rasanya mengelus bagian perut bak roti sobek. Hana mendengkus dan berusaha mengipasi wajahnya yang memanas.

Reghan terkikik geli. Ia memakai baju dan duduk di sofa meninggalkan Hana yang masih salah tingkah. Melihat Reghan duduk dengan memangku laptop, Hana ikut terduduk di samping lelaki itu. Ia duduk menyamping menghadap Reghan.

"Reghan."

Lelaki itu menoleh dan berdeham. Hana menghela napas sebelum membuka suara. "Sebentar lagi kan kamu nikah sama Kinan. Semua orang bakal kasih bahkan udah ada yang ngasih kalian hadiah," ucap Hana membuat Reghan tertarik. Lelaki itu menoleh ke arah Hana.

Mata keduanya bertemu. "Terus kenapa?"

"Kamu mau hadiah apa dari aku?" tanya Hana tepat sembari menatap manik hitam Reghan yang menghunus tajam.

Reghan terdiam mendengar pertanyaan tak penting itu. Laki-laki itu menggeleng dan kembali fokus pada laptop di pangkuannya. Tak penting, sangat tidak penting. Untuk apa Hana memberikan hadiah? Mungkin, ini salah satu alasan Reghan tak mau berpisah dengan Hana. Ia tak mau wanita itu bersikap menyakiti dirinya sendiri. Sebagai seorang suami, ia ikut merasakan sakit seperti yang dirasakan Hana.

Jauh di lubuk hatinya, Reghan merasa belum siap jika sebentar lagi posisi Hana akan diganti oleh Kinan. Ia merasa hanya Hana lah yang berhak menyandang istri seorang Reghan. Bukan Kinan atau wanita lain.

"Kok, diem aja?" Hana menoel lengan Reghan.

Reghan menghela napas. "Kalau aku minta satu hal juga kamu nggak akan bisa turutin."

Hana semakin mendekatkan tubuhnya, penasaran dengan permintaan Reghan. "Apa? Siapa tahu aku bisa kabulin."

Reghan menoleh dan mengusap rambut Hana. "Batalin pernikahan aku sama Kinan dan jangan pernah pergi dari hidup aku, lagi."

Jantung Hana berdegup kencang ditatap begitu teduh oleh mata beriris hitam itu. Ia tak pernah menginginkan menjadi istri yang dimadu oleh suaminya. Namun, bukan inginnya juga menjadi seorang janda di usia muda. Mirisnya ia tengah hamil. Namun, Hana akan lebih miris jika tetap satu atap dengan lelaki itu dan mungkin nanti akan ada anggota baru, Kinan.

Ia tak mau berbagi. Entah kasih sayang, cinta, apalagi suami. Biarkanlah ia yang mengalah, meski sakit. Ia yakin semua akan membaik seiring berjalannya waktu. Luka itu akan terobati cepat atau lambat.

"Jawabannya?" Reghan menoel hidung Hana.

Wanita hamil itu tersadar. "Aku nggak bisa untuk ya ...."

"Aku tahu itu jawaban kamu, Na. Cuma itu hadiah yang aku pengin dari kamu, dan kamu nggak bisa 'kan? Jadi ya udah jangan tanya itu lagi, ya." Reghan kembali beralih pada laptop di hadapannya. Entah pekerjaan apa yang lelaki itu kerjakan.

Hana merasa bersalah. Ia terdiam dengan otak yang terus berpikir kira-kira hadiah apa yang akan Reghan sukai. Tiba-tiba satu ide terlintas di otak Hana. Ia melirik ke lantai dan melirik lagi kepada Reghan.

"Aku punya satu hadiah yang akan kamu sukai," ucap Hana.

"Aku nggak mau kalau yang lain." Hana semakin menggigit bibir dalamnya. Malu dan gengsi, tentu saja.

"Kalau aku bilang soal ituan, kamu bakal mau?"

Reghan menoleh cepat. "Ituan apa?"

Hana ragu mengatakannya. Ia pun meyakinkan diri. Ia mendekat pada Reghan dan mengelus rahang lelaki itu hingga elusannya turun ke dada bidang yang tertutup baju. Reghan mengerutkan kening.

Wanita itu mengambil alih laptop di pangkuan Reghan dan menyimpannya di atas meja. Ia duduk di pangkuan suaminya yang mampu membuat sang empunya terkejut. Hana menatap Reghan dengan pandangan berbeda.

Lagi, jari-jari lentik itu membentuk pola abstrak di dadanya. Ia mengikuti arah pandang Hana yang kini tengah tertuju pada dadanya. Sebelum istrinya ini berbuat semakin jauh, Reghan lebih dulu menangkap jemari itu. Hana menatap Reghan dengan senyum manis dan tatapan hangat.

Bukannya takut, Hana malah kembali menarik tangannya dari genggaman Reghan. Tangan wanita hamil itu merambat lagi ke arah telinganya. Wanita itu mendekatkan bibirnya ke arah telinga Reghan. Hana tampak membisikkan sesuatu yang membuat lelaki itu terkejut bukan main.

"Kamu jangan becanda, Na."

"Aku serius."

"Kamu nggak takut setelah malam itu?"

"Setelah aku lihat perubahan kamu, aku rasa aku nggak punya alasan untuk takut lagi sama kamu," ucap Hana sembari menatap Reghan dengan yakin.

"Tapi aku nggak akan bisa berhenti, Na. Hentiin aku sekarang juga atau kamu akan nyesel." Reghan mengusap kepala Hana penuh kelembutan.

Hana tersenyum manis yang mampu membuat hati Reghan menghangat. "Lakuin Reghan. Itu hak kamu."

"Aku sayang kamu, Hana." Wanita itu hanya mampu memejamkan mata meresapi setiap sentuhan yang Reghan berikan.

Malam itu, kedua insan yang tengah dimabuk cinta itu kembali melakukan apa yang seharusnya suami dan istri lakukan. Hubungan yang menjadi awal keduanya terikat dalam janji suci pernikahan, kini terulang kembali. Di tempat tidur yang sama, tetapi dengan perasaan yang berbeda.

'Mungkin ini bukan hadiah termewah, tapi aku harap hadiah ini akan kamu ingat sampai kapanpun. Aku juga sayang kamu, Suamiku.'

***
Diketik dengan : 1034 kata.

Istri Terakhir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang