Bagian satu

79.7K 1.4K 24
                                    

Happy Reading !!!

***

"Murung aja sih, Rhe, kenapa? Gak dapat belaian dari Tristan?"

Pletak.

"Sembarangan aja emang lo kalau ngomong!" dengus Rhea setelah melayangkan jitakkan cukup keras di pelipis sahabatnya itu.

"Berarti dapat dong, ya? Gimana-gimana, bikin lo merem melek gak?" Trika semakin menggoda dengan raut penasaran yang membuat Rhea makin tajam melirik sosok sahabatnya. Namun sama sekali Trika tak menghiraukannya, memilih mengambil duduk di samping Rhea yang entah sejak kapan melamun di kursi panjang yang tak jauh dari kelas mereka.

"Ka, bantu gue cari kerja dong. Gue butuh uang buat bayar kuliah," Rhea memiringkan duduknya demi menatap sang sahabat. Tatapannya putus asa. Membuat Trika mengerutkan kening.

"Bukannya selama ini kuliah lo dibayarin bokap lo, Rhe?"

"Awalnya iya, tapi satu tahun ini udah enggak,"

"Kenapa?"

Dan Rhea hanya menggelengkan kepala karena jelas dirinya pun tidak tahu alasan di balik itu. Sekitar sepuluh bulan lalu ia hanya mendapat pesan dari ayahnya yang mengatakan bahwa pria yang membuatnya ada di dunia itu tidak lagi bisa membiayainya, dan hingga hari ini nomor ayahnya tidak bisa Rhea hubungi. Sedangkan tempat tinggal baru pria itu tidak dirinya ketahui.

Selama lima tahun kedua orang tuanya bercerai, ia hanya berkomunikasi lewat ponsel, itu pun jarang. Ayahnya hanya akan menghubungi saat sudah mengiriminya uang. Sedangkan pesan-pesan Rhea yang kerap menanyakan kabar dan mengutarakan kerinduannya tak pernah mendapat balasan.

"Tabungan gue makin tipis, Ka. Gue juga gak tega kalau harus nambah beban nyokap. Restorannya lagi gak stabil," menghela pelan, Rhea benar-benar tak tahu harus bagaimana sekarang. Selama ini hidupnya terjamin karena meskipun bercerai ayahnya tak pernah lupa mengiriminya uang. Tidak pernah berpikir bahwa hal ini akan terjadi.

"Nunggak berapa semester?"

"Semester ini aja, sih," jawabnya lesu. "Tapi gue gak bisa ikut ulangan semester kalau belum bisa lunasin," tambahnya semakin lesu.

"Masalah mudah, nanti gue yang bayarin," Trika menjentikkan jemarinya dengan senyum lebar yang seolah mengatakan bahwa temannya itu tak perlu risau.

Namun hal itu malah justru membuat Rhea menggeleng kuat, tidak setuju dengan usul sahabatnya. Di bayarin? Oh no, Rhea tidak sepengemis itu.

"Lebih baik lo bantuin gue cari kerja, Ka. Gue tahu bokap lo kaya, tapi sorry gue gak bisa terima bantuan semacam itu."

"Ck, ribet lo, Rhe!" dengusnya sebal. "Udahlah lebih baik sekarang kita cari makan, lapar gue," ujarnya seraya menarik tangan Rhea untuk bangkit dari duduknya dan pergi dari sana, mengingat hari pun kini sudah beranjak sore.

Di tengah perjalanan menuju café langganan mereka, Trika yang mendapati ponselnya berdering memilih meminggirkan mobilnya lebih dulu, lalu menggeser tombol hijau dan meletakkan benda pipih itu di depan telinga dengan gerakan malas.

Rhea yang menyaksikan itu hanya geleng kepala pelan, tahu siapa yang menghubungi temannya itu. Terlebih kalimat sebal yang di lontarkan Trika selanjut, meyakinkan Rhea bahwa ia tak salah menebak.

"Pergi aja terus, gak usah pulang sekalian! Trika gak peduli. Bodo!" dan setelah mengatakan itu Trika mematikan sambungan, lalu melempar benda pintar itu ke jok belakang. Wajahnya yang terlihat kesal, membuat Rhea dapat menebak bahwa lagi dan lagi ayah dari sahabatnya itu pergi meninggalkan rumah demi urusan pekerjaan.

"Nginep di rumah gue ya, Rhe. Bokap gue nyebelin banget sumpah! Udah tahu hari ini sampai besok gak ada siapa-siapa di rumah, dia main mau pergi aja. Gue mendingan kos ajalah. Males gue jadi penghuni rumah gede sendirian."

Rhea memilih tidak menanggapi, membiarkan sahabatnya itu terus menggerutu hingga mereka akhirnya tiba di restoran milik ibu Rhea, membatalkan niat pergi ke café yang biasa mereka kunjungi karena Trika bilang dia akan sekalian izin meminta Rhea menginap di rumahnya. Beruntung ibu Rhea mengizinkan karena kebetulan wanita paruh baya itu juga tidak bisa menemani anaknya di rumah. Ibu Rhea masih harus mengurusi restorannya yang sedang sedikit terguncang.

Awalnya Rhea memilih untuk membantu ibunya, tapi dengan cepat di tolak paruh baya itu dengan dalih beliau bisa menyelesaikannya dengan cepat.

Tak bisa melawan kekeraskepalaan ibunya, Rhea akhirnya menurut saja, dan ikut pulang bersama Trika. Menemani sahabatnya itu untuk yang kesekian kalinya. Ya, karena nyatanya sesering itu ayah Trika pergi, dan Rhea yang selalu menjadi teman kesepian Trika selama ini.

Pukul sembilan malam, mereka tiba di rumah mewah tiga lantai milik keluarga Trika. Dan seperti biasa rumah tersebut selalu sepi setiap kali Rhea mendatanginya.

"Gue mandi duluan ya, Rhe. Gerah banget sumpah!" ujarnya seraya menarik handuk baru dari dalam lemarinya. Lalu melenggang pergi tanpa menunggu respons dari Rhea. Membuat perempuan itu mencebikkan bibirnya dan memilih menjatuhkan diri ke ranjang sambil memainkan ponselnya, kembali mencari lowongan kerja, karena sungguh dirinya membutuhkan itu sekarang untuk tetap bisa kuliah. Bagaimanapun Rhea tidak ingin putus pendidikan di tengah jalan.

Di tengah kesibukannya mencari-cari iklan lowongan kerja, ponselnya malah justru menampilkan icon telepon masuk dengan nama Tristan yang tertera di layar.

Mengabaikan sejenak kepenatannya, Rhea menarik senyum lebar seraya menggeser tombol hijau dan mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tak bisa di bohongi bahwa Rhea merindukan kekasihnya itu. Terlebih sudah beberapa hari ini mereka tak bertemu karena Tristan pergi mendaki bersama teman-temannya yang sama-sama pecinta alam.

"Ha-"

"Rhe, kita putus, ya. Sorry gue gak bisa sama lo lagi,"

"Kenapa?" menahan sesak di dada, Rhea berusaha mengeluarkan nada sebiasa mungkin, tak ingin sosok di seberang sana tahu bahwa dirinya terluka dengan kalimat yang diutarakannya pertama kali setelah tiga hari hilang kabar, karena mengaku bahwa daerah yang dikunjungi begitu sulit jaringan.

"Gue udah punya cewek baru,"

Dan makian langsung saja Rhea luncurkan seraya menutup telepon sepihak. Air mata yang semula membendung seketika kering sebab kini bukan lagi kesedihan yang dirasakannya, melainkan marah.

"Dasar cowok berengsek!" makinya kembali, membuat Trika yang baru saja keluar dari kamar mandi menaikan sebelah alis, menatap heran sahabatnya itu.

"Kenapa lo, Rhe?"

"Tristan bajingan!" kembali umpatannya meluncur, menambah kerutan di kening Trika yang kini sudah mengayun langkah mendekat, takut sahabatnya itu kerasukan setan atau sejenisnya. Pasalnya selama mengenal Rhea, tidak pernah sekali pun ia mendengar temannya itu berkata kasar, terlebih memaki kekasihnya sendiri yang selama ini begitu Rhea puja-puja. Ini benar-benar hal yang amat langka. Jadi, apa harus Trika mengabadikannya?

"Kenapa cowok lo?" kembali Trika bertanya. Masih amat penasaran dengan alasan dibalik makian sahabatnya. Namu setelahnya Trika terbahak saat dengan amarahnya Rhea mengatakan alasan itu. Jika sebagian teman akan menepuk pundak sahabatnya demi mengutarakan simpati, atau memeluk untuk menenangkan, berbeda hal dengan Trika yang malah justru terbahak penuh kebahagiaan. Air matanya bahkan sampai menetes saking bahagianya. Kenapa? Ya karena sejak awal Trika tidak menyukai laki-laki itu. Hanya saja ia memilih diam karena tidak ingin membuat sahabatnya tersinggung. Dan sekarang ... ah, akhirnya ia bisa bernapas lega karena sahabatnya terlepas dari laki-laki sampah yang hanya bisa mempermainkan banyak perempuan dengan modal wajah tampan.

"Dari awal cowok itu memang udah berengsek, Rhe. Lo-nya aja yang tutup mata mentang-mentang Tristan ganteng," cibir Trika ringan.

"Namanya juga cinta."

"Heleh, sekarang makan tuh cinta!" ujarnya memutar bola mata.

***

Titip di perpustakaan kalian ya, guys, siapa tahu nanti gabut dan ceritaku bisa nemenin kalian ...

18 Sesember 2021
Posting ulang 2 mei 2023

Hot DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang