Happy Reading !!!!
***
Nyatanya patah hatinya cukup mengusik Rhea hingga ia tidak bisa tidur meski kini jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Rhea benar-benar merasa bahwa kemarin adalah hari terburuknya, belum sampai ia mendapat jalan keluar untuk masalahnya mengenai biaya kuliah, malamnya malah di tambah dengan kabar berengsek dari kekasihnya … ck ralat mantan kekasih. Padahal tadinya Rhea berniat meminta bantuan Tristan.
Menghela napas panjang, Rhea bangkit dari ranjang Trika dengan hati-hati, tidak ingin sampai membangunkan sahabatnya yang tengah lelap.
Langkahnya membawa Rhea keluar dari kamar, berniat pergi ke balkon depan untuk menghirup udara demi menenangkan hati dan pikirannya. Namun ketika berbalik setelah menutup pintu kamar Trika, Rhea di buat terkejut dengan keberadaan sosok asing yang berdiri di depannya dalam jarak tak lebih dari dua langkah.
“Kamu temannya Trika?”
Tak lantas menjawab, Rhea lebih dulu menetralkan detak jantungnya yang benar-benar cepat akibat keterkejutan barusan. Ia bahkan nyaris berteriak jika saja tak langsung menutup mulutnya. Sampai akhirnya Rhea bisa mengeluarkan suaranya begitu sosok di depannya kembali melontarkan tanya.
“Om, siapa?” tanya itu terdengar tak sopan, tapi Rhea tetap harus memastikan walau merasa tak asing dengan sosok yang masih berdiri di depannya.
“Ayahnya Trika,”
Dan jawaban itu membuat Rhea meringis pelan, namun dalam hati menyimpan ketidak percayaan, terlebih saat kembali melihat wajah di depannya yang terlihat begitu tampan dan dewasa. Dibandingkan kata ayah, sosok di depannya lebih pantas di panggil Om atau Kakak oleh Trika. Namun Rhea tidak berani mengomentari, ia memilih mengangguk seraya meminta maaf. Setelahnya Rhea hanya diam, tidak tahu apa yang akan dilakukannya, sebab sosok itu tidak juga pergi dari tempatnya.
“Om, mau ke kamar Trika?” tanya itu meluncur hati-hati, dengan kepala sedikit mendongak.
Namun segera di tundukkan kembali saat mendapati wajah datar ayah dari sahabatnya itu. Dua tahun berteman dengan Trika, baru kali ini Rhea bertemu langsung dengan ayah Trika. Dan ia tidak percaya bahwa ayah sahabatnya semuda ini, meskipun Rhea tidak dapat menebak berapa usia laki-laki di depannya.
“Hm,” hanya jawaban singkat itu yang di berikan, dan Rhea tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, sempat menatap heran sosok di depannya yang tidak juga bergerak, sampai akhirnya Rhea sadar bahwa ternyata dia masih menghalangi pintu masuk ke kamar Trika. Membuatnya langsung merutuki kebodohan sebelum meminta maaf. Setelahnya Rhea memilih permisi ke dapur, berbeda dengan niatnya beberapa menit lalu.
Dan disinilah pada akhirnya Rhea berada, di dapur bersih lantai dua rumah Trika, membuat cokelat panas yang harap-harap dapat membantunya rileks dan segera jatuh dalam mimpi. Niat hati ingin mencari udara demi menenangkan pikiran urung dilakukan saat dilihatnya pria yang sempat membuatnya jantungan berjalan menuju arah yang hendak Rhea tuju. Pada akhirnya Rhea memilih kembali ke kamar Trika dan berdiri di sisi pembatas sambil menikmati cokelat hangatnya.
Balkon kamar Trika memang cukup luas dan nyaman, tapi Rhea lebih suka pemandangan dari balkon depan. Namun sayang ia tidak bisa menikmatinya sekarang.
Melirik ke arah ranjang lewat kaca yang dibiarkan tak tertutup tirai, Rhea menghela lega saat melihat sahabatnya masih nyenyak di sana. Dengan selimut yang menutupi hingga leher yang Rhea yakini di benarkan oleh pria tadi.
Jujur, Rhea benar-benar belum percaya bahwa laki-laki tampan yang sempat membuatnya seperti orang bodoh tadi adalah ayah dari temannya. Tapi Rhea tidak lupa bahwa dirinya pernah melihat foto laki-laki itu di album masa kecil Trika. Tapi, sahabatnya itu tidak pernah mengatakan bahwa ayahnya semuda itu.
“Berapa kira-kira usianya, ya?” tanya Rhea pada diri sendiri sembari menebak-nebak, sampai terlupa pada kegalauannya yang semula menjadi alasan utama dirinya tak bisa memejamkan mata. Namun sekarang justru sosok tampan ayah sahabatnya yang menjadi alasan Rhea terjaga.
“Ck, kenapa juga gue harus mikirin itu!” decaknya bermonolog, lalu melangkah masuk ke dalam kamar saat di rasa dingin mulai menusuk-nusuk kulitnya. Memilih ikut bergelung di dalam selimut bersama Trika yang sedikit pun tidak merasa terganggu. Membuat Rhea bertanya-tanya, sebenarnya sahabatnya itu tidur atau justru pingsan.
****
“Daddy kok di rumah, bukannya kemarin pergi ya?” Trika yang berjalan masuk ke dapur bersama Rhea menaikan sebelah alis melihat keberadaan ayahnya di meja makan, menikmati kopinya dengan tab di tangan layaknya orang-orang sibuk lainnya.
“Kenapa memangnya, gak boleh?” deliknya mengalihkan tatap pada sang putri yang berjalan semakin mendekat, dan sekilas Xyan melirik ke belakang putrinya, dimana Rhea berada. Hanya sekilas, karena setelahnya Xyan kembali menatap putri semata wayangnya yang sudah beranjak dewasa.
“Bukan gak boleh, cuma tumben aja gitu,” mengambil duduk di kursi seberang ayahnya, Trika menarik tangan Rhea untuk ikut duduk di sampingnya. Lalu Trika mengambil beberapa lembar roti tawar untuknya dan juga Rhea.
“Kemarin Daddy belum selesai bicara kamu sudah lebih dulu tutup teleponnya. Daddy cuma mau bilang kalau Daddy ada meeting di luar kota, pulangnya pasti larut malam.”
“Tapi kemarin Daddy bilang kalau Dad—”
“Makanya kalau orang tua sedang bicara jangan di potong dulu,” cibir Xyan, menghadirkan dengusan Trika. Yang kemudian tak lagi gadis beranjak dewasa itu tanggapi. Memilih mengolesi rotinya dengan selai nanas kesukaannya.
Berbeda hal dengan Rhea yang terlihat tak nyaman sebab tatapan Xyan selalu tertuju kepadanya. Entah karena perasaannya saja atau memang benar adanya, yang jelas Rhea merasa terintimidasi, dan enggan untuk mengangkat kepalanya. Sampai akhirnya suara berat itu kembali membuka suara.
“Itu teman kamu gak niat kamu kenalin sama Daddy?”
Gerakan tangan Rhea yang tengah mengoleskan hazelnut ke rotinya terhenti, perlahan kepalanya terangkat dan sejak saat itu Rhea seakan terperangkap dalam tatap Xyan yang tak mampu dijabarkannya.
“Ini Rhea, teman kampus aku yang selalu aku ajak nginap setiap kali Daddy pergi,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari sarapannya, sampai tak menyadari dua sosok yang satu meja dengannya masih saling mengunci tatapan, tanpa ada hal lain yang dilakukan.
"Selesai belum Rhe? Udah hampir jam delapan nih," Trika menole ke arah sahabatnya, lalu melirik jam di pergelangan tangannya dengan raut wajah panik.
Rhea tak lantas menjawab, lebih dulu gadis itu melirik pada sosok di depan lalu pada roti yang belum dihabiskannya sebelum kemudian mengangguk menjawab kalimat Trika yang mengajaknya segera pergi. Lagi pula Rhea tak begitu selera dengan sarapannya.
“Kita berangkat ya, Dad, bye,” melambaikan tangan, Trika menarik tangan Rhea meninggalkan dapur, namun masih sempat Rhea memberi anggukan kecil tanda kesopanan ke arah Xyan sebelum pasrah di tarik begitu saja oleh sahabatnya.
“Bisa bahaya kalau kita sampai telat,”
“Salah lo kenapa sulit banget di bangunin!” Rhea memutar bola mata begitu berhasil mendudukkan diri di dalam mobil Trika. Dan perempuan itu hanya mendengus sebagai respons, karena tidak bisa mengelak.
Perjalanan yang cukup macet, membuat Trika terus mengomel, sedangkan Rhea tetap anteng di tempat duduknya, mengabaikan gerutuan Trika, karena yang kepalanya pikirkan sekarang hanyalah tentang sosok ayah dari sahabatnya. Entah kenapa bisa, tapi Rhea merasa bahwa dirinya tertarik pada pria matang itu. Sampai Rhea benar-benar melupakan bahwa semalam baru saja diputuskan Tristan. Pria yang selama ini Rhea anggap sebagai pria paling tampan di dunia ini. Tapi ternyata Tristan bukan satu-satunya sebab Xyan jauh lebih tampan meskipun umurnya tak muda lagi, dengan status duda anak satu. Namun bukan berarti sosok itu tua. Xyan justru terlihat begitu menggiurkan dimata Rhea. Entahlah dari mana datangnya pikiran kotor itu. Yang jelas Xyan benar-benar the real hot daddy. Dan rasanya Rhea ingin merasakan berada dalam dekapan laki-laki itu, seperti Trika yang tadi sempat mendapatkan itu dari ayahnya.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Daddy
RomancePada dasarnya cinta adalah milik semua insan, tak peduli tua atau muda. Yang jelas mereka berhak memiliki rasa suka. Sama halnya dengan Rhea. Namun fakta bahwa pria yang dicintainya merupakan ayah dari sahabatnya membuat perasaan Rhea tak mudah berl...