Hara | 22

66 17 192
                                    

S A Z A  dan Hara sudah berada di rumah. Gadis itu tengah mengobati jidat Hara yang sedikit berdarah karena terbentur tadi.

"Shhh ...." Hara berdesis. "Pelan-pelan, Teh,"

Saza melempar asal kapas yang ia gunakan untuk mengobati luka Hara. "Lo bisa, gak, sih, gak usah terlalu baik sama orang?!"

Hara tersenyum. "Hara gak bisa, Teh."

"Tapi di dunia ini udah gak ada lagi orang baik, Ib!" Saza emosi.

"Karena itu Hara ingin jadi orang baik, Teh,"

Saza berdengus.

"Hara pengen jadi orang baik." lanjut Hara. "Walaupun kebaikan Hara dimanfaatin, setidaknya Hara udah jadi satu-satunya orang baik di dunia ini, Teh,"

"Tapi lo jadi terluka, Ib!" sentak Saza.

"Lebih baik Hara yang terluka daripada Hara harus melihat orang lain terluka, Teh,"

"Tapi gue terluka, liat lo luka, Ib."

🌀

Saza duduk di samping Hara, dan mengambil cemilan laki-laki itu. Hara menoleh, namun malah tersenyum menatap Saza yang tengah memakan cemilannya sambil menonton tv.

"Jangan jadi orang baik, Ib." ujar Saza  "Gue gak suka."

"Kenapa gak suka, Teh?"

Jadi baik cuma bikin lo sengsara. batin Saza.

"Orang baik gak pernah bahagia." Hanya itu yang bisa dikatakan Saza.

"Tapi, seseorang bilang, kalo Hara nyelametin orang, Teteh akan semakin menyukai Hara,"

Saza menyimpan cemilan itu, dan menatap geram Hara. "Siapa, sih, yang ngomong gitu sama lo?"

Hara hanya menunduk.

"Dengerin gue, Ib!" tutur tegas Saza. "Lo gak boleh biarin pendapat orang lain ngendaliin cara lo ngejalanin hidup."

Hara masih tidak manaikkan kepalanya. Ia membiarkan Saza menghakiminya.

"Menjadi sempurna berarti menjadi diri sendiri."

Saza yang mulai tenang, langsung menangkup perlahan wajah Hara. Dua pasang mata hitam itu pun saling mengedip, beradu pandang.

"Dan gue suka lo, apa adanya."

Perlahan, Hara mengulas senyuman tipisnya. "Makasih Teteh udah nerima Hara,"

Saza mengganguk. Ia mengelus lembut pipi Hara. "Gue gak ngerti sama isi otak lo, Ib. Lo lebih banyak aksi daripada mikir."

Hara tidak bisa berkata apa pun karena perkataan Saza memang benar. Melihat Hara yang seperti kehilangan kata-kata, gadis itu pun menarik Hara ke dalam pelukannya.

Gue yakin, ada yang aneh sama lo.

🌀

Setelah memasuki kamar mandi, Saza mengeluarkan ponselnya, dan menyambungkan panggilan dengan Faiq.

"Apa, woy?"

"Lo tau dokter yang ahli dalam segala penyakit, gak?" tanya Saza langsung.

"Tau, sih. Kenapa emang?"

"Gue yakin cowok gue lagi sakit, Fa."

"Kenapa lo seyakin itu?"

"Begonya kebangetan, Fa! Dia gak mikirin keselametan dirinya sendiri!"

Hara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang