[9] the history

100 21 0
                                    

selepas jam pelajaran selesai, jayden menghubungi nomor ningning berkali-kali untuk memastikan keberadaan gadis itu. walaupun ia tak kunjung mendapat balasan.

hingga akhirnya, ia menemukan sosok ningning di ruang seni untuk kesekian kalinya.

“kamu nggak ke kantin, ning?”

ningning mendongakkan kepalanya begitu ia mendengar suara yang sangat familiar ditelinganya. “nggak dulu, je. ibu bawain gue bekal. seneng sih menghemat, tapi gue mager bawa balik tupperware nya.”

lelaki itu duduk dihadapan ningning tanpa dikomando.

“mau saya bantu bawakan pulang?”

“eh-- caranya?”

“saya antarkan kamu beserta tupperware nya pulang.” katanya sambil diiringi oleh tawa khas jayden.

“merepotkan diri banget jadi manusia, je. nggak lah, gue mau naik ojol aja-- anyway, lo nggak mau cicipin masakan ibu gue?” kata ningning sembari mengarahkan sesendok nasi goreng buatan sang Ibu.

“boleh?”

“sekali dua kali sih boleh, kalo berkali-kali sih ya maaf banget, minta aja bawain bekal ke ibu lo.”

“hahaha... saya bercanda, ning. oh iya, dulu pun, sewaktu mama saya masih ada dan kalau tidak salah, waktu itu saya baru saja pulang main. entah kenapa, saya senang sekali kalau mama bilang masakannya sudah matang.”

mendengar ucapan jayden, membuat ningning tanpa sengaja menaruh sesendok nasi goreng tadi ke dalam wadah makan.

“je, maaf... gue nggak tau kalo mama udah--”

“masakan beliau yang saya sukai itu lele dan-- ah! rendang!” kata jayden sembari tertawa pelan, bermaksud mengalihkan perhatian ningning agar tak terpaku pada matanya yang perlahan mulai berkaca-kaca.

“lo kangen mama ya? mau gue buatin lele atau rendang?” kata ningning, menawarkan diri.

“haha nggak perlu, ning. dan kalau ditanya kangen... iya, saya kangen mama. makanan yang terakhir beliau masak untuk saya pun rendang waktu itu, ning-- hiks.”

tanpa sadar hidung jayden mengeluarkan sinus, membuat ningning bisa mendengar suara jayden saat kembali menghirup cairan kental didalam hidungnya itu.

“j-je... lo nangis?”

“...”

tak mendapat sahutan dari sang lawan bicara.

perlahan, ningning memberanikan diri untuk memberikan hug of services nya untuk jayden yang.

“je... lo kalo mau nangis, boleh kok nangis. tapi lo nggak boleh merasa sendirian, ya? masih ada keluarga dan sahabat terdekat lo, teman-teman lo, dan juga gue disini-- hm?” katanya, sambil menepuk-nepuk punggung jayden.

jayden terdiam, tubuh lelaki itu bergetar dalam dekapan ningning.

jayden menangis.

dan baru kali ini jayden menangis dihadapan seorang wanita, selain kakak dan almarhumah mamanya.

rasanya ia malu bercampur risau saat menceritakan tentang kehidupannya. tapi, disaat yang bersamaan ia pun merasa lega, karena baru kali ini ia membagi pengalaman pahit dalam hidupnya, terutama deep talk dengan seseorang yang benar-benar dekat dengannya.

“je, lo boleh nangis kayak sekarang. tapi lo nggak seharusnya berlarut-larut dalam kesedihan. kita di ciptakan dari tanah, dan akan kembali ke tanah juga, kan? lo mungkin aja lupa kalo tugas kita di dunia cuma buat ibadah dan melakukan hal-hal baik-- jadi udah ya, mama juga pasti bakal ikut seneng kalo anaknya bahagia.”

[2] Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang