8. Keyakinan Jendra

143 41 4
                                    

"Lah Kala? ngapain disini?" suara berat tersebut membuyarkan lamunan sang gadis yang tengah duduk di salah satu bangku di ruang tamu. Matanya membulat terkejut dengan penampakkan yang ada di depannya, "Jendra?" pekik nya. Ekspresi nya cukup menjelaskan ia sedang berteriak "Hah?" dalam hatinya. "Aku nganter kue pesanan kesini...bentar, jangan bilang kamu kenal Mas Dimas juga?" Kala segera menembak asumsi nya kepada Jendra, mengingat bagaimana ia dan Jendra selalu dikelilingi hal - hal tidak terduga. Jendra menggeleng, "Kok tau Dimas?" bukannya menjawab, Jendra malah bertanya balik. Ia cukup terkejut mendengar Kala menyebut nama kakak nya itu. Kala menjelaskan secara singkat bagaimana pertemuannya dengan Dimas di stasiun hingga bagaimana ia bisa berakhir di rumah ini. "Dimas kakak gue, La" begitu ujarnya ketika Kala selesai dengan short story telling nya. Kala akhirnya mengangguk, ia akhirnya dapat menyimpulkan seluruh kebetulan yang ia alami hari ini.


Hari ini cukup unik dan mengejutkan untuk Kala. Pertama, ia tidak menyangka akan bertemu dengan Dimas yang ternyata adalah kakak Jendra. Kedua, ia juga tidak menyangka kalau pemesan kue Ibu adalah Bunda dari Dimas yang 'kebetulan' menabrak dirinya di stasiun, lucunya, ternyata ia adalah kakak dari Jendra. Ketiga, ia baru mengenal Jendra beberapa minggu namun banyak kesempatan tidak terduga yang mempertemukan mereka. Seperti hari ini.

"Neng maaf ya lama, abis nyuci piring dulu tanggung," ucap seseorang tiba - tiba, sosok itu pun muncul dari belakang Jendra seraya mengusap kedua tangannya dengan sebuah tissue. Kala tersenyum kepada sosok yang ia yakini adalah Ibu Pemesan Kue, atau bunda dari Dimas dan Jendra. "Gak apa apa Bu," balasnya ramah. "Duduk neng. Abang kok tamu nya gak disuruh duduk sih?" sang bunda memukul kecil lengan anaknya yang menyebabkan sang anak mengaduh. Kala yang melihat hal tersebut hanya terkekeh, ia jadi kangen Ibu. "Oh iya, td bang Dimas bunda suruh ambil jus kok gak balik - balik ya? Jangan - jangan ketiduran, coba samperin ke dapur Jen," ujar bunda nya dan Jendra pun segera berlalu. 


"Neng anak pertama nya Bu Sarah ya?" pertanyaan bunda hanya dijawab dengan sebuah anggukan dari Kala, "Aduh..meni geulis pisan. Sarah cantik anaknya ganteng dan cantik juga," Kala sedikit paham mengapa kedua anaknya sangat baik, Bunda nya pun ternyata sehangat ini. "Siapa namanya neng?" "Kala, Bu.." sang bunda tersenyum seraya membelai rambut Kala lembut, "Panggil Bunda aja. Kayaknya Kala udah kenal sama anak - anak bunda ya?" Kala dapat melihat senyuman jahil bunda dalam senyumnya, "Jendra ternyata kakak tingkat Kala waktu kuliah bun, tapi beda jurusan. Kalo sama Mas Dimas baru ketemu hari ini" jawab Kala malu - malu. "Dua dua nya masih jomblo, Kala mau pilih yang mana?" pertanyaan yang diajukan bunda berhasil membuat seluruh muka Kala merah dan terasa panas. Sang bunda hanya terkekeh jahil. Untungnya, Dimas hadir dengan membawa 2 gelas Jus Mangga di tangannya. Setidaknya kehadirannya bisa memecah kecanggungan dari pertanyaan jahil sang bunda.

"Nih La, minum. Buatan gue loh enak banget" ujar Dimas seraya memberikan Kala sebuah gelas berisi jus mangga. Namun, sebelum Kala sempat menerima gelasnya, tangan Jendra lebih dahulu menyambar dan jus tersebut segera diminumnya, "Kok lo minum?" pekik Dimas kepada adiknya. Jendra menghiraukan suara Dimas. Ia meneguk jus tersebut hingga habis dan meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut di meja, "Kala gak suka manis. Jus lo manis banget, Bang" ujarnya dan kemudian berlalu entah dia kemana. Kalimat Jendra tersebut berhasil menghasilkan senyum jahil dari Bunda, decakan dari Dimas, dan pipi yang merah merona dari Kala.


***

Sekitar jam 2 siang, setelah (dipaksa) untuk makan siang bersama oleh Bunda, Kala akhirnya pamit untuk pulang. "Aku anter ya La," belum sempat Kala menjawab, Jendra sudah pergi dulu dari duduknya. "Modus lu ya" timpal Dimas dari meja makan, ia masih duduk disana dengan Kala duduk di seberang nya. "La pulang nya sama gue aja, Jendra galak gitu lo gak takut sepanjang jalan digigit?" sang bunda yang mendengar pun ikut terkekeh mendengar ucapan Dimas. "Udah biarin aja Kala dianter Jendra, bang Dimas anter Bunda arisan aja" keduanya pun beranjak dari duduknya meninggalkan Kala sendirian di meja makan yang cukup luas tersebut. Sedikit bosan, ia pun memutuskan untuk melihat - lihat beberapa pigura foto yang dipajang di meja dekat ruang makan. Walau Dimas dan Jendra terlihat sangat mirip, namun foto masa kecil mereka terlihat cukup berbeda. Bahkan Kala bisa membedakan persis mana Jendra mana Dimas kecil. Tanpa sadar sesimpul senyum terukir di bibir manis Kala. Menggemaskan, batinnya. Satu hal lagi yang Kala dapatkan ketika melihat foto - foto tersebut, Dimas hobby nyanyi, kalau Jendra hobby motret. Sangat berbeda ya.


"Kenapa senyum - senyum?" suara Jendra mengagetkan Kala yang tengah memandangi foto Dimas dan Jendra, seperti ketahuan habis melakukan sesuatu, Kala pun gelagapan seraya menaruh kembali pigura foto tersebut ke meja. "Ah, ehm...liat foto kamu..? hehe" sebuah jawaban yang sangat jujur sekali, Kala. Jendra tertawa kecil, melihat ekspresi panik Kala sangat lucu, menggemaskan. 


Jendra menarik lengan Kala, "We still have so many times left to spend La, I'll tell you anything about these photos, my childhood memories, and all things you wanted to know," ia tersenyum penuh makna, sambil memandangi wajah Kala yang sudah terasa panas, hehe Kala malu. Ia menarik Kala untuk berjalan di belakangnya menuju ke garasi tempat mobilnya terparkir. "Yakin banget bakal ketemu lagi Jen?" canda nya, Jendra menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menghadap Kala, "We should. If we're not, I'll make sure to find you La. Kita harus ketemu, LAGI." balasnya. Lagi lagi, Kala merasa wajahnya semakin terasa panas. Kok bisa - bisa nya Jendra mengatakan hal seperti itu tanpa merasa malu? 

***

Pemandangan dua manusia tersebut disaksikan oleh dua orang yang lain yang sebenarnya ada juga di ruangan tersebut. 

"Wah bang, akhirnya Jendra luluh juga sama cewek"

"Iya sih Bun, tapi abang juga masih penasaran sama Kala. Gimana dong?"

"Abaaang...."

Filosofi HiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang