Chapter 26

1.2K 152 1
                                    

Mark termenung menatap pedang di tangannya. Sepanjang usahanya menemukan Jaemin, Mark terus berdoa informasi yang didapatnya salah tetapi sekarang...
Mata Mark tidak lepas dari simbol yang terukir indah di pegangan pedang itu. Ia tidak mungkin salah mengenali simbol itu. Ia tidak mungkin melupakan simbol yang dilihatnya hampir setiap hari. Itu adalah simbol keluarga Soyoz. Itu adalah lambang keluarga sepupunya itu.
Mark termenung. Ia tidak dapat mempercayai semua ini. Mark juga tidak dapat mempercayai bukti yang ditemukannya di sisi tubuh Jaemin yang tergeletak dalam hujan deras.
Ia tidak percaya sepupunya yang penakut itu terlibat dalam usaha pembunuhan Jaemin! Mark dapat mempercayai dalang di balik semua ini adalah Mina tetapi Hyunjin... Tidak! Ia tidak dapat mempercayainya.
Siapakah yang dapat membawa keluar pedang ini bila bukan Hyunjin sendiri?
Apakah gunanya Mina membawa pedang ini bila ia telah menyewa segerombol penjahat untuk membunuh Jaemin?
Apakah Mina harus membawa pedang ini bila ia ingin menghabisi Jaemin dengan tangannya sendiri?
Mark benar-benar sukar mempercayai ini semua!
"Paduka," Jancer memecahkan lamunan Mark, "Apakah yang harus kami lakukan? Todd masih tidak mau membuka mulut. Ia tidak mau memberitahu kami hubungannya dengan Duke of Binkley. Mina juga masih belum tertangkap."
Mark diam termenung di kursinya.
Grand Duke memperhatikan Mark yang terus mengawasi pedang di tangannya itu lalu ia berpaling pada Jancer. "Jancer, apakah kau yakin mereka terlibat dalam masalah ini? Berhati-hatilah dengan kata-katamu. Ini bukan masalah sepele."
"Saya sangat yakin, Grand Duke," jawab Jancer, "Bukti sudah ada di tangan kita," Jancer merujuk pedang di tangan Mark, "Selain itu beberapa prajurit yakin mereka melihat Mina di antara penjahat yang kabur. Dan Paduka Ratu, seperti kata Paduka, pernah melihat Mina bersama Todd."
Grand Duke tidak melihat adanya celah untuk membantah dugaan itu. Ia melihat Mark yang kini meletakkan pedang itu di meja.
"Haruskah kami mengirim pasukan ke Arsten?" tanya Jancer pula, "Kami yakin Mina bersembunyi di sana. Perlukah kami meminta polisi Loudline dan Pittler membantu menangkap bawahan-bawahan Todd yang kabur?"
"Tidak, Jancer," akhirnya Mark membuka mulut, "Saat ini cukup awasi keadaan Arsten dengan diam-diam. Aku tidak ingin terjadi peristiwa apa pun yang mengguncang Viering."
Walaupun Jancer ingin membantah perintah itu, ia tetap berkata, "Saya mengerti, Paduka."
Jancer tidak ingin menambahi beban pemuda itu. Ia juga dapat memahami keinginan pemuda itu untuk merahasiakan peristiwa ini dari masyarakat luas.
Penduduk Pittler, di malam itu, telah diminta Mark untuk menutup mulut tentang peristiwa ini. Mark juga menyuruh setiap orang di Fyzool menutup mulut tentang keadaan Jaemin. Bila ada yang menanyakan Jaemin, Mark hanya memperbolehkan setiap orang berkata Jaemin demam. Semenjak hari itu pula Mark tidak pernah memanggil Duke of Binkley. Ia juga tidak memerintahkan polisi untuk menangkap bawahan Todd yang masih berkeliaran di Viering terutama Loudline dan Pittler. Satu-satunya pasukan yang bergerak sejak hari itu hanyalah sebagian kecil dari pasukan keamanan Istana.
Grand Duke pun tahu resikonya bila kabar ini tersiar luas. Kerajaan Viering pasti akan terguncang lagi - jauh lebih terguncang dari saat berita pernikahan Duke of Binkley ataupun pernikahan Raja. Peristiwa ini tentu akan memecahkan penduduk Viering. Peristiwa ini juga akan mempengaruhi pandangan kerajaan-kerajaan lain pada Viering. Yang paling parah, bila dugaan mereka salah, kepercayaan penduduk pada Raja akan hilang.
Duke of Binkley memang seorang duke yang dikenal Viering sebagai seorang pemuda tidak berguna yang suka bersenang-senang, berkebalikan dengan Raja. Namun ia tetaplah keluarga kerajaan dan seperti Mark, ia disegani sebagian penduduk Viering sebagai satu-satunya keturunan keluarga Soyoz.
Seperti Grand Duke, Duke of Binkley yang terdahulu adalah orang yang cukup berpengaruh di Viering. Grand Duke Taeil, Duke of Binkley terdahulu dan ayah Mark terkenal sebagai trio yang selalu berkerja sama mengatur Viering dengan Raja Jaehyun sebagai pemegang kuasa terbesar. Hubungan di antara ketiganya pun sangat erat seperti Mark dan Hyunjin ketika mereka masih kecil.
Taeil memperhatikan Mark.
Sejak malam ia membawa pulang Jaemin yang terluka parah, ia sering seperti ini: diam termenung dengan sinar mata yang tidak terbaca. Seringkali Grand Duke ingin menanyakan apa yang tengah dipikirkannya namun ia tidak berani. Keadaan Mark yang seperti ini jauh lebih menakutkan daripada ketika ia marah.
Sejak saat itu pula Grand Duke kembali sering meragukan keputusannya sendiri. Andaikan ia tidak memilih Jaemin, peristiwa ini tidak akan pernah terjadi.
Jaemin tampaknya bukan pilihan yang tepat. Sejak Jaemin memasuki Istana, selalu ada saja yang diperbuatnya untuk menyibukkan seisi Istana. Hampir tiap hari pula ia membuat Mark marah. Setiap saat ia selalu memberontak, membuat keributan dan mengacaukan suasana. Duke Taeil berpikir apakah yang semula membuatnya memilih Jaemin?
"Taeil," panggilan Mark membuat Duke of Krievickie terperanjat.
Duke Taeil sudah siap bila Mark mau memarahinya.
"Sekarang aku mengerti mengapa kau memilih dia." Mark tersenyum.
Grand Duke terpana.
"Kau tidak salah memilih. Kalau bukan gadis seperti Jaemin, pasti tidak ada yang sanggup menjadi Ratuku."
Grand Duke membalas senyum itu. Ia ingat awal dari keputusannya ini. "Dialah yang memberi saya ide ini," katanya.
"Oh ya?" Raja tertarik.
"Dia pernah berkata hanya kuda betina saja yang cocok untuk Anda. Menurut saya, ia benar. Butuh ketegasan dan keberanian untuk menjadi istri pilihan Anda."
Raja tersenyum.
Kalau bukan Jaemin, pasti tidak ada yang sanggup menghadapi keegoisannya.
Kalau bukan Jaemin, ia tidak akan menemukan pujaannya.
Kalau bukan Jaemin, ia tidak akan pernah menemukan warna dalam kehidupan monotonnya.
Semua ini karena Jaemin, karena dia hadir dalam hidupnya.
"Terima kasih, Taeil," lagi-lagi Mark membuat Duke terpanah dengan senyumannya, "Kau sudah memilih kuda liar untukku."
Untuk pertama kalinya Duke benar-benar berlega hati telah memilih Jaemin.
"Kalau ada keperluan panggil aku," Mark berdiri, "Aku ada di kamar Jaemin."
"Saya mengerti, Paduka." Grand Duke berpikir kapankah terakhir kali ia melihat senyum yang menawan itu.
Mark melangkahkan kaki ke kamar Jaemin.
Beberapa hari sudah berlalu namun Mark merasa peristiwa itu berlangsung bertahun-tahun lalu. Suasana di Fyzool terasa sangat sepi tanpa tawa ceria Jaemin. Ia merasa tidak bersemangat melewati hari-harinya yang tanpa amarah. Ia merasakan ada yang kurang dalam dirinya tanpa seruan-seruan kerasnya.
Mark membuka pintu kamar Jaemin dengan perlahan.
Earl of Hielfinberg, ayah Jaemin, duduk di kursi di sisi tempat tidur Jaemin. Earl telah berada di Istana sehari setelah peristiwa itu. Setiap saat ia selalu terlihat duduk di sisi putrinya yang masih belum sadar dengan wajah sedih.
"Jaemin...," Earl menggenggam tangan Jaemin dengan hati-hati.
Mark berdiam diri di pintu.
"Jaemin, jangan tinggalkan aku," desah Earl lagi.
"Dia akan sembuh."
Earl menoleh.
Raja masuk dan duduk di sebelah Earl. "Jaemin penuh gairah hidup. Ia tidak akan pergi semudah ini. Percayalah padaku."
Earl tidak menanggapi. Ia menggenggam erat tangan Jaemin dan menunduk dalam-dalam.
'Jaemin,' Mark melihat wajah tenang Jaemin, 'Aku yakin kau akan sadar lagi. Aku yakin!'
"Beristirahatlah, Earl," kata Mark, "Saya akan menjaga Jaemin."
"Tidak, Paduka," tolak Earl, "Saya ingin menemani Jaemin."
"Jaemin tidak akan senang melihat Anda seperti ini. Anda juga perlu menjaga kesehatan."
Earl hanya memperhatikan Jaemin tanpa suara.
"Beristirahatlah," Mark meletakkan tangannya di pundak yang lesu itu, "Saya masih membutuhkan Anda menjaga Jaemin selama saya sibuk."
Mata Earl beralih kepada pemuda yang beberapa hari ini disibukkan oleh urusan penculikan Jaemin. "Saya mengerti," ia mengalah.
Mark melihat Earl yang pergi dengan berat hati kemudian mengalihkan perhatiannya ke Jaemin yang masih belum sadar diri.
Tiga hari sudah berlalu sejak peristiwa itu. Tiga hari pula Jaemin terus tidak sadarkan diri.
Seperti yang dikhawatirkan Mrs. Brandrick, suhu tubuh Jaemin terus meninggi malam itu. Suhu tubuhnya terus meninggi hingga keesokan harinya.
Lawrence, dokter yang dipanggil pihak Fyzool, mengatakan Jaemin terserang demam. Selain itu suhu tubuhnya meninggi akibat perlawanan tubuhnya terhadap kuman-kuman di lukanya.
Mark mengambil tangan Jaemin dengan hati-hati. "Jaemin," ia mencium tangan yang masih terbalut perban itu. "Aku yakin kau mendengar suaraku," katanya lagi, "Bila kau mendengarku, segeralah sadar. Aku benar-benar kesepian. Aku tidak punya alasan untuk marah-marah." Mark meletakkan tangan dingin itu di pipinya. Matanya terpaku pada wajah Jaemin. "Jaemin," tangannya yang lain mengelus kepala Jaemin, "Segeralah sadar. Berjanjilah padaku kau tidak akan kalah. Berjanjilah kau akan segera bangun dari tidur panjangmu."
Seseorang mengetuk pintu.
Mark segera berdiri untuk membuka pintu.
"Dokter Lawrence datang untuk melihat keadaan Paduka Ratu," lapor Nicci.
"Selamat siang, Paduka," Dokter Lawrence menyapa, "Saya datang untuk memeriksa Paduka Ratu."
Mark mengikuti Dokter ke sisi pembaringan. Tanpa sedikit pun mengeluarkan suara, ia memperhatikan Dokter merawat luka-luka Jaemin yang masih belum kering dibantu Nicci. Kemudian, seperti yang selalu dilakukannya selama tiga hari ini, ia memeriksa kondisi Jaemin.
Nicci segera merapikan baju Jaemin dan membenahi selimut tebalnya.
"Keadaan Ratu sudah mulai stabil," Lawrence melaporkan hasil pemeriksaannya, "Sekarang yang perlu kita khawatirkan adalah demamnya. Saya harap dalam waktu dekat ini panas Ratu akan turun."
Mark diam.
Lawrence tersenyum melihat wajah cemas pemuda itu. Ia mendekati pemuda itu.
"Jangan khawatir, Paduka," Dokter Lawrence menepuk pundak Mark, "Saya dengar Ratu adalah seorang yang penuh semangat. Ia akan segera sadar. Percayalah pada saya."
Mata Mark terus terpaku pada Jaemin.
"Jagalah kesehatan Anda," sang dokter kemudian berpesan, "Saya lihat akhir-akhir ini Anda sangat lelah."
"Terima kasih, Lawrence. Aku tahu batas kemampuanku," kata Mark, "Bila kau punya waktu, bisakah kau memeriksa Earl pula."
"Earl?" Lawrence kebingungan.
"Jaemin tidak akan senang bila mendengar ayahnya sakit ketika ia sadar," Mark menerangkan, "Kulihat akhir-akhir ini Earl kurang sehat."
"Tentu, Paduka Raja."
Suara ketukan pintu kembali terdengar.
Nicci segera membuka pintu sesaat kemudian ia mendekati Mark.
"Grand Duke menginginkan kehadiran Anda di ruangan Anda, Paduka," ia melaporkan, "Ada seorang tamu yang ingin menemui Anda."
"Aku mengerti," lalu ia berpaling pada Lawrence, "Maaf aku tidak bisa mengantar kepergianmu, Lawrence."
"Saya memahaminya, Paduka."
"Jangan lupa periksa Earl," pesan Mark sebelum ia pergi dan kepada Nicci, ia berkata, "Jagalah Jaemin sampai aku kembali. Earl sedang beristirahat di ruangannya."
"Saya mengerti, Paduka."
Lawrence memperhatikan kepergian Mark dengan senyum. "Ia seorang pemuda yang mengagumkan."
Nicci mengangguk sependapat. "Tidak ada yang dapat memahami Paduka Ratu sebaik Paduka," tambahnya pula.
***
"Kau benar-benar sudah di luar batas, Mina!" untuk kesekian kalinya dalam lima hari belakangan ini Duke Binkley memarahi istrinya, "Apa yang harus kulakukan bila Mark marah?"
"Tidak akan! Lihatlah sampai sekarang ia belum melakukan apapun terhadapmu."
"Belum bukan berarti tidak!" seru Hyunjin gusar, "Kau tidak tahu siapa Mark. Kau tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Apa yang harus kulakukan. Apa??"
Mina mengacuhkan Hyunjin yang terus berjalan mondar-mandir dengan gusar.
"Kau benar-benar sinting! Mengapa kau membawa pedang keluargaku? Mark pasti tahu aku ada hubungannya dengan peristiwa ini. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau ia mengirimkan pasukan untuk menangkapku?"
"Tidak mungkin! Mark tidak pernah memanggilmu. Sampai sekarang juga masih tidak ada pergerakan dari Istana."
"Pedang keluarga Soyoz ada di tangannya. Apa masih ada jalan untuk memungkirinya!??"
"Katakan saja seseorang mencuri pedang itu," kata Mina tenang.
"Bagaimana kalau Jaemin mengatakan semuanya!? Jaemin melihatmu, bukan? Bagaimana kalau Mark percaya padanya?"
"CUKUP!" akhirnya Mina marah, "Kau benar-benar cerewet! Kalau memang takut, bunuh saja Mark dan Jaemin. Memangnya apa kelebihan Mark? Dia hanya seorang pemuda dengan gelar Raja! Tidak lebih dari itu!"
"Lebih dari itu!?" Hyunjin terperanjat, "Ia adalah seorang Raja! Ia bukan kebetulan menjadi seorang Raja! Apa yang harus kulakukan kalau ia menangkapmu!? Tidak! Mark pasti menangkapmu. Mark pasti akan melakukannya. Ia pasti akan menangkapku juga. Pedang Soyoz ada di tangannya bukan?"
Mina kesal melihat suami tidak bergunanya. Selama lima hari ini ia terus-terusan melihat suaminya seperti itu
Malam itu setelah ia dengan tidak mudahnya kabur dari kejaran para prajurit Istana, Hyunjin menyambut kepulangannya dengan amarah. Ia terus menanyakan keberadaan pedang keluarga Soyoz. Sedikitpun tidak mengkhawatirkannya. Setelah mengetahui ke mana perginya pedang pusakanya, Hyunjin menjadi gusar. Tiap hari ia terus meneliti isi koran-koran di seluruh Viering. Ia juga tiada hentinya mengomelinya.
Di mata Mina, Hyunjin benar-benar bodoh! Raja tidak mungkin mengambil tindakan gegabah. Hyunjin bukan hanya sepupunya tapi juga putra seorang Duke berpengaruh. Tidak ada yang perlu ditakutinya. Lihat saja buktinya. Hingga hari ini ia tidak mengambil tindakan apa pun bahkan ia menutup-nutupi kejadian itu. Pihak Istana juga hanya menjelaskan Jaemin demam. Hingga detik ini tidak ada yang mengungkit peristiwa sebenarnya yang menimpa Jaemin. Juga tidak ada yang mengungkit masalah pedang keluarga Soyoz. Kalau memang Mark bisa melakukan sesuatu pada mereka, mereka bisa mencegahnya.
"Hyunjin," Mina bergelayut manja pada suaminya. "Kau tidak ingin aku ditangkap mereka bukan?"
"Omong kosong!" hardik Hyunjin, "Tentu saja aku tidak menginginkannya!"
Mina tersenyum puas. "Kalau kau tidak ingin dinyatakan terlibat dalam masalah ini, mengapa kau tidak menutup mulut gadis ingusan itu? Gadis ingusan itu masih belum sadar, bukan?" tanya Mina, "Kau tahu kalau dia sadar dia pasti akan mengatakan semua yang terjadi padanya. Namun bila ia tidak pernah sadar, tidak akan ada yang tahu apa yang telah terjadi. Mark pasti tidak akan menghantuimu. Kau juga bisa dengan lega mengumumkan hilangnya pedang keluargamu. Tidak akan ada yang curiga. Semua akan berlanjut dengan normal kembali."
Duke Binkley itu terdiam.
***
"Apa yang kaulakukan, Jisung?" omel Renjun melihat adiknya masih membaca koran di ruang makan. "Mengapa engkau tidak segera bersiap-siap? Matahari sudah semakin tinggi."
"Aku belum selesai membaca koran hari ini."
"Apa kau tidak ingin melihat Jaemin?"
"Untuk apa kau terburu-buru?" tanya Jisung, "Jaemin tidak akan ke mana-mana. Bukankah Dokter juga mengatakan Jaemin tidak akan sadar dalam waktu dekat ini."
"Apa kau tidak mengkhawatirkan Jaemin?"
"Aku peduli pada Jaemin tapi adakah gunanya melihatnya setiap hari? Ia masih belum sadar. Pihak Istana juga sudah memanggil dokter untuk mengawasi perkembangan kondisi Jaemin. tidak ada yang perlu kucemaskan tentang itu. Sekarang yang lebih mengkhawatirkanku adalah desas desus yang berkembang di dalam Istana."
"Desas-desus apa?" tanya Renjun, "Bukankah Raja juga mengatakan Jaemin mengalami kecelakaan di Pittler?"
Jisung melihat wajah polos kakaknya dan mendesah. "Kau memang bukan Jaemin."
"Apa maksud perkataanmu itu1?" Renjun marah.
"Apa kau tidak curiga melihat luka-luka Jaemin? Apa kau tidak pernah bertanya mengapa Mark terlihat ingin menyembunyikan keadaan Jaemin yang sebenarnya?"
"Raja pasti tidak mau rakyat mengkhawatirkan Jaemin."
"Dasar wanita," keluh Jisung, "Percuma saja aku membicarakannya denganmu. Papa juga tidak mau membicarakannya denganku. Jaemin juga masih belum sadar."
"Mengapa kau tidak membicarakannya denganku?" bujuk Renjun.
"Tidak! Percuma saja! Kau tidak akan mengerti!"
"Karena kau tidak mengatakannya," bantah Renjun, "Kalau kau mengatakannya, aku pasti mengerti."
Jisung terdiam. Saat ini memang hanya kakaknya yang bisa diajaknya berbicara. Mengatakan pikirannya kepada orang lain mungkin akan membuat pikirannya terasa lebih ringan. Renjun mungkin juga mempunyai pendapat yang sama.
"Aku curiga kejadian yang menimpa Jaemin di Pittler bukan murni kecelakaan," Jisung mengutarakan kecurigaannya, "Luka-lukanya terlalu rapi untuk dikatakan sebagai akibat kecelakaan. Aku rasa ada yang coba membunuh Jaemin di Pittler."
Renjun terpekik kaget. "Jangan mengada-ada. Tidak akan ada yang ingin membunuh gadis semanis Jaemin."
"Aku tidak mengada-ada. Pikirkanlah baik-baik. Siapa yang paling diuntungkan bila Jaemin mati?"
Renjun langsung mengetahui jawabannya. "Itu... tidak mungkin."
"Mengapa tidak?" tanya Jisung.
"Hyunjin dapat dipastikan meneruskan tahta kalau Mark tidak mempunyai keturunan."
"Itu tidak mungkin! Kau tahu Hyunjin. Dia... dia..."
"Ya, dia adalah seorang pengecut tapi Mina?" serang Jisung, "Apakah kau pikir Mina juga seorang pengecut? Ingatlah dia adalah mantan kriminal. Membunuh bukanlah hal yang sulit baginya. Ia mengenal banyak penjahat yang mau melakukan pekerjaan itu untuknya."
Renjun benar-benar kehabisan kata-kata.
"Bagiku itu adalah alasan yang paling masuk akal atas diamnya phak Istana," Jisung mengakhiri perdebatannya, "Mark juga tahu apa yang akan terjadi bila ia langsung memerintahkan prajurit untuk menahan Mina ataupun Hyunjin."
"Tapi... itu tidak mungkin, bukan?"
"Ini hanya dugaanku. Ini masih dugaanku." Jisung ingat ia harus memperingati Renjun. "Jangan katakan pada siapa pun. Satu omongan yang salah bisa menyebabkan gejolak di Viering," ia memperingati kakaknya.
Renjun mengangguk.
Jisung memperhatikan Renjun. memberitahu Renjun tampaknya bukan tindakan bijaksana. Ia telah memperingati Renjun namun siapa tahu yang bisa mempercayai mulut seorang wanita? Jisung juga tidak bisa menahan dirinya. Ia pernah mencoba mengutarakan dugaannya pada ayahnya tapi sang Grand Duke marah. Jaemin, gadis yang sering diajaknya bertukar pendapat, masih terbaring tidak sadar diri. Jisung juga tidak mungkin mengatakannya pada Mark ataupun Earl.
"Mengapa engkau masih belum pergi?" tanya Jisung, "Bukannya kau ingin melihat Jaemin?"
Renjun langsung teringat tujuannya semula mencari Jisung. "Mengapa engkau tidak segera bersiap-siap?" ia memarahi Jisung lagi, "Apa kau tidak ingin melihat Jaemin?"
"Pergilah dulu," Jisung membuka kembali korannya, "Aku akan menyusul setelah aku menyelesaikan ini."
Renjun marah melihat adiknya. "Apakah engkau tidak bisa membacanya sepulang dari Fyzool!?"
"Tidak bisa," Jisung menjawab mantap, "Koran adalah bagian dari sarapan."
Renjun benar-benar marah dibuatnya. Tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan adiknya. Ia masih mengomel ketika ia sudah tiba di Istana.
Semua pria sama saja. Jisung hanya mengkhawatirkan Jaemin di mulutnya. Demikian pula Raja Mark. Walaupun tampaknya Mark mengkhawatirkan Jaemin, ia masih jarang melihat keadaan Jaemin. Selama kedatangannya ke Istana dalam tiga hari belakangan, Renjun sama sekali tidak pernah melihat Mark di kamar Jaemin. Dari Earl Hielfinberg, ia mengetahui Mark menghabiskan waktunya di ruang kerjanya.
Entah apa yang dipikirkan pemuda itu. Jaemin masih tidak sadarkan diri dan ia terus berkutat dengan masalah lain. Renjun merasa seperti ditipu. Ia sempat memuji ketegasan Mark dalam menangani kondisi Jaemin namun sekarang ia kembali meragukan pemuda itu.
Renjun terkejut melihat seorang pemuda di sisi tempat tidur. Pemuda itu membungkuk ke arah Jaemin. Tangannya yang terulur ke wajah Jaemin menghalanginya mengenali rupa pemuda itu. Renjun baru saja berpikir pemuda itu adalah Mark ketika ia menyadari sesuatu yang tidak beres. Tangan pemuda itu bukan memegang wajah Jaemin seperti dugaannya semula melainkan memegang leher Jaemin!
"Apa yang kaulakukan?" Renjun menjadi was-was.
Pemuda itu terperanjat.
"Duke Binkley!" Renjun terperanjat. Ia teringat kecurigaan Jisung.
"A-aku hanya memeriksanya," Hyunjin gugup, "Beberapa saat lalu ia tampak kesakitan, jadi aku memeriksanya."
"Tolong Anda jauhi Jaemin," kata Renjun memperingati, "Anda tidak perlu khawatir, saya akan memanggil dokter untuk memeriksa Jaemin."
"Saya lega mendengarnya. Tolong Anda periksa keadaannya. Maaf saya masih ada urusan," Hyunjin dengan gugup bergegas meninggalkan kamar Jaemin.
Renjun memperhatikan sikap gugup Hyunjin dengan curiga. Satu jam yang lalu ia masih menertawakan kecurigaan adiknya, sekarang ia mulai memikirkannya dengan serius.
Ia yakin beberapa saat lalu ia melihat Hyunjin sedang mencekik Jaemin. Ia berusaha membunuh Jaemin! Hyunjin tidak mungkin berniat membunuh Jaemin kecuali ia ingin menutup mulut Jaemin. Tapi mengapa? Apakah dugaan Jisung benar?
Renjun tidak mengerti. Namun ia segera sadar. Dibandingkan memikirkan hal ini, sekarang yang lebih penting adalah memastikan keadaan Jaemin.
Renjun benar-benar lega merasakan nafas Jaemin yang naik turun dengan teratur.
Pintu terbuka.
"Apalagi maumu!?" Renjun langsung bersiaga. "Bukankah aku sudah mengatakan aku akan memanggil dokter!?"
Nicci melihat Renjun dengan kaget. "M-maafkan saya, M'lady," kata Nicci gugup, "Apakah saya menganggu Anda?'
Renjun sadar siapa yang baru saja dibentaknya. "Tidak, Nicci. Engkau tidak mengangguku. Aku hanya pikir kau adalah seorang penganggu yang baru saja pergi."
"Apakah ada yang menganggu Paduka Ratu selama saya pergi?" Nicci langsung memeriksa keadaan Jaemin dengan cemas. "Maafkan saya. Saya tidak akan gegabah lagi. Saya hanya pergi untuk mengganti air kompres Paduka Ratu."
Renjun melihat baskom air di tangan Nicci. Kemudian ia menyadari kejanggalan lain di kamar itu. "Di mana Earl Hielfinberg?"
"Paduka meminta Earl beristirahat," jawab Nicci, "Kesehatan Earl menurun. Pagi ini Dokter Lawrence telah menyarankan Earl untuk beristirahat seharian."
"Tentu saja kesehatan Earl menurun!" Renjun marah teringat ketidakpedulian Jisung maupun Mark pada Jaemin, "Tiap hari ia menjaga Jaemin dari pagi sampai malam. Para pria itu mana mau peduli!"
"Siapa yang kaukatakan tidak peduli itu, Renjun?" Jisung memasuki kamar dengan kesal.
"Jisung! Aku baru saja."
'Engkau juga tahu apa yang akan terjadi kejadian ini bisa menyebabkan gejolak di Viering.' Renjun teringat peringatan Jisung pagi ini.
"Jisung," Renjun menarik tangan Jisung, "Kita harus segera mencari Paduka Raja."
Jisung bingung. "Bukannya kau ingin aku segera menjenguk Jaemin? Mengapa sekarang kau ingin mengajakku pergi?"
"Nicci," Renjun berbalik, "Jangan tinggalkan sisi Jaemin tak peduli siapa pun yang memanggilmu."
"Saya mengerti, M'lady."
"Ikut saja aku," Renjun menarik adiknya.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Jisung ketika mereka sudah meninggalkan Renjun.
"Aku melihat Hyunjin di kamar Jaemin," Renjun berbicara dengan suara kecil sehingga prajurit yang menjaga pintu kamar Jaemin tidak dapat mendengarnya.
Raut wajah Jisung langsung menjadi serius.
"Aku rasa kau benar. Hyunjin ingin menghabisi Jaemin. Aku melihat ia mencekik Jaemin."
"Apa kau sudah mengatakannya pada Nicci?" Jisung curiga.
"Apa kau pikir aku ini bodoh!?" Renjun kesal. "Aku tahu apa akibatnya kalau aku sembarangan bicara! Saat ini kita harus segera memberitahu Raja untuk memperkuat keamanan Jaemin."
Jisung mengangguk sependapat.
Sesaat kemudian mereka sudah berada di ruangan tempat Mark bekerja. Selain Mark, Duke Taeil juga ada di sana untuk mendengarkan kecurigaan Jisung.
"Jangan bicara sembarangan!" Duke Krievickie marah, "Apa kau sadar akibat apa yang bisa ditimbulkan perkataanmu itu, Jisung!"
"Jisung mungkin benar, Papa," Renjun membela adiknya, "Aku yakin aku melihat Hyunjin mencekik Jaemin."
Wajah Mark sama sekali tidak berubah mendengarnya.
"Jelaskan apa sebenarnya yang terjadi pada Jaemin, Mark!" desak Jisung.
"Jisung, apa kau sadar dengan siapa kau berbicara!?" Grand Duke dan putrinya melabrak Jisung secara bersamaan.
"Sudahlah, Taeil," Mark mendinginkan suasana lalu ia melihat Jisung, "Rasanya tidak ada gunanya aku menyembunyikan hal ini lebih lama lagi darimu, Jisung."
Mark mengeluarkan sesuatu dari dalam kolong meja kerjanya.
Mata Jisung membelalak melihat pedang panjang itu di meja kerja Mark.
Renjun juga ikut kaget melihat simbol yang terukir di gagang pedang itu. "P-paduka... ini...," Renjun tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
Tangan Mark bertumpu pada sikunya di atas meja. Jari-jari Mark bertautan di depan mulutnya yang dengan tenang berkata, "Ini ditemukan bersama Jaemin."
Mata kedua kakak beradik itu membelalak semakin lebar.
"Saat ini masih belum jelas apa keterlibatan Binkley dengan penculikan dan usaha pembunuhan Jaemin ini," Mark melanjutkan tetap dengan suara tenangnya, "Todd, sang pemimpin komplotan yang menculik Jaemin, masih tidak mau membuka mulut. Kami masih menyelidiki hubungan Mina dengan peristiwa ini."
"Bisa diyakinkan Hyunjin tidak mempunyai keberanian untuk melakukan ini," Jisung sependapat, "Tetapi kalau Mina. Tidak perlu diragukan lagi. Ia adalah jenis wanita yang akan melakukan apa saja untuk meraih ambisinya."
"Saat ini hanya beberapa orang saja yang mengetahui hal ini. Aku tidak ingin berita ini tersebar luas sebelum ada bukti tentang kelibatan Binkley."
"Kami mengerti, Paduka," Renjun langsung menanggapi, "Kami berjanji tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun."
"Aku punya permintaan," kata Jisung.
"Katakanlah."
"Aku ingin dilibatkan dalam masalah ini," Jisung berkata sungguh-sungguh, "Jaemin adalah adikku. Aku tidak bisa berdiam diri melihat orang lain ingin mencelakakan Jaemin. Walaupun ke ujung dunia, aku akan menangkap orang yang mencelakai Jaemin."
"Jisung, jangan gegabah!" hardik Duke Taeil, "Ini adalah masalah serius."
"Aku bukan anak kecil lagi, Papa!"
"Setuju," Mark menarik perhatian ayah dan anak yang sudah memulai pertengkaran mereka, "Taeil, jelaskan perkembangan penyelidikan kita pada Jisung. Dan kau, Jisung, mulai besok aku mengharapkan kedatanganmu di Fyzool." Mark berdiri. "Renjun, bisakah kau pergi denganku ke kamar Jaemin. Aku ingin mendengar secara terperinci apa yang sudah kaulihat di kamar Jaemin."
"Baik, Paduka," mereka menanggapi dengan tangkas.

TBC

RATU PILIHAN (REMAKE MARKMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang