CHAPTER 30

1.2K 132 0
                                    

Mark merasakan Jaemin bergerak dalam tidurnya. Ia menutup buku yang sedang dibacanya dan meletakkannya di atas meja di sisi tempat tidur.
Sepasang mata biru jernih Jaemin menatap Mark dengan bingung dan heran.
“Kau sudah bangun?” Mark tersenyum lembut sambil merapikan rambut di kening Jaemin.
“Mengapa kau di sini?” tanya Jaemin. Matanya menjelajahi sekelilingnya dengan bingung, “Di mana aku?”
“Kita sudah berada di Istana dan sekarang kau tidur di atas tempat tidur kita.”
“Tempat tidur kita?” ulang Jaemin heran.
Mark tersenyum lembut. “Aku tidak bisa membiarkanmu terbangun di malam hari dan tidak seorang pun berada di sisimu.” Mark membaringkan diri di sisi Jaemin. “Aku ingin menjadi orang pertama yang kau lihat di saat kau membuka matamu yang indah itu.”
Jaemin teringat luka tusuk di punggung Mark. “Lukamu?”
“Sudah tidak apa-apa,” katanya, “Lawrence telah mengobatinya. Untung pedang itu tidak melukai daerah vital. Dalam beberapa hari ia akan sembuh.” Dan Mark tersenyum penuh kemenangan, “Lukaku masih lebih baik dari lukamu.”
Mata Jaemin menjadi sendu. Ini semua karena tindakannya yang gegabah.
“Aku tidak apa-apa,” Mark menarik Jaemin ke dalam pelukannya.
Sepasang tangan Jaemin menyentuh dada Mark. “Kau tidak boleh berada di dekatku,” katanya sambil menjauhkan diri, “Aku tidak mau membuatmu sakit.”
“Tidak apa,” Mark memeluk Jaemin erat-erat, “Aku tidak mudah sakit sepertimu,” senyum nakal tersungging di wajah tampannya, “Aku bahkan ingin menyerap penyakitmu itu. Melihatmu terbaring tidak berdaya di tempat tidur sungguh membuat hatiku sakit daripada melihat tingkah liarmu.”
“Aku dengan senang hati akan menularkannya padamu,” Jaemin mencari tempat yang nyaman di dalam pelukan Mark.
“Lawrence memintaku menyuruhmu minum obat begitu kau sadar.”
Senyum bahagia di wajah Jaemin langsung hilang.
“Aku tahu kau tidak menyukainya. Sejujurnya, sayangku,” Mark merangkum wajah Jaemin, “Aku ingin sekali menggantikanmu tetapi tidak untuk saat ini. Kau lebih membutuhkannya daripada aku.”
Jaemin memasang muka masamnya.
“Jangan membuat hatiku sakit dengan melihatmu terbaring tanpa daya di tempat tidur, sayangku,” bujuk Mark, “Jadilah gadis manis yang penurut hingga kau pulih.”
Jaemin melingkarkan tangan di leher Mark – menahannya beranjak dari tempat tidur. “Aku tidak mau kau tinggalkan,” rengek Jaemin manja.
“Jangan menggodaku, Jaemin,” Mark memperingatkan, “Kau tahu bagaimana ampuhnya godaanmu padaku hingga aku harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berubah menjadi seorang monster.”
“Jangan pergi,” mata biru Jaemin menatap Mark dengan sendu.
Mark mengeluh panjang. “Tuhan akan menghukumku karena ini,” keluhnya. Ia membaringkan Jaemin di tempat tidur, menindihnya dan membuainya dengan cara-cara manis yang ia ketahui.
Jaemin pasrah. Ia menyerahkan diri sepenuhnya pada Mark. Ia membiarkan Mark menuntunnya ke dunia yang belum pernah ia masuki.
***
Sinar mentari yang menyusup melalui tirai jendela menyilaukan mata Jaemin. Jaemin membuka matanya.
Mark bersandar di atas tumpukan bantal-bantal, sedang menatap Jaemin lekat-lekat.
Wajah Jaemin bersemu melihat dada telanjang Mark.
“Aku tidak dapat mempercayai diriku sendiri,” gumam Mark, “Aku telah bercinta sepanjang malam dengan orang sakit!” Mark tersenyum bahagia, “Aku benar-benar kalah darimu. Kau benar-benar…”
Mata Jaemin bersinar geli melihat Mark seperti kesulitan mengungkapkan pikirannya.
“Seorang penggoda,” akhirnya Mark menemukan kata yang tepat.
Alis mata Jaemin terangkat. “Kukira kau akan mengatakan pelacur.”
“Kukira, sayangku,” Mark menunduk, “Aku telah berjanji untuk tidak mengatakan hal itu. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali.”
“Apakah aku telah berhasil?” Jaemin merangkul leher Mark, “Apakah aku berhasil menggodamu?”
“Tentu, sayangku?” Mark mencumbu Jaemin lagi, “Kau sangat berhasil.”
Jaemin kembali luluh dalam cumbuan Mark.
“Kau begitu menggairahkan sehingga tidak ada hal lain yang terpikirkan olehku selain berada di sisi dan bercinta denganmu sepanjang hari,” bisik Mark tanpa menghentikan cumbuannya.
Jaemin tersenyum bahagia.
“Setelah semua ini selesai,” bisik Mark, “Aku harus membantumu mengenakan kembali pakaianmu dan membuatmu meminum obatmu atau Lawrence akan memenggalku.”
Jaemin tertawa geli mendengarnya.
“Kau berani menertawakanku?” ancam Mark sambil menatap Jaemin tajam.
“Mengapa tidak?” Jaemin mendekatkan wajahnya, “Aku yakin ia pasti akan menghukummu karena telah bercinta dengan pasiennya.”
“Aku akan mengatakan padanya bahwa kaulah yang memulainya.”
“Sekarang, mungkin,” Jaemin tersenyum penuh kemenangan, “Tetapi tidak selalu.”
“Kau ini,” geram Mark sambil menindih Jaemin.
Jaemin tertawa geli. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya.
Beberapa saat kemudian ketika Mark akhirnya muncul di ruangannya, matahari hampir mencapai tahta tertingginya di langit. Ia segera memanggil bawahan-bawahannya, sebuah tugas yang seharusnya telah ia lakukan pagi ini.
“Kami sudah mengamankan Arsten,” lapor Jancer, “Tidak seorang pun bisa meninggalkan Arsten tanpa seijin dari Anda.”
“Kami sudah mengirim seluruh awal kapal Duke ke kepolisian Loudline. Kepala kepolisian Loudline, Wayne berjanji akan segera memproses tindakan kejahatan mereka,” lapor Houghton pula. “Dan Duke Hyunjin sudah kami masukkan ke dalam penjara bawah tanah Fyzool.”
“Berkas-berkas Mina sudah kami tarik kembali dan sekarang kami sedang menyelesaikan pemeriksaan terhadap Hyunjin,” Jisung melaporkan perkembangan tugasnya, “Saat ini kami masih meminta keterangan dari Hyunjin. Kami yakin dalam waktu singkat ini kami akan segera menyelesaikan laporannya.”
“Jancer, kau bisa menyerahkan pengamanan Arsten kepada Geert. Suruh ia mengirim prajurit terbaiknya mengawasi tempat itu. Kita masih memerlukan kesaksian tiap orang di sana,” setelahnya Mark beralih pada Houghton, “Houghton, tugasmu dalam masalah ini sudah selesai. Dan untukmu, Jisung, aku ingin kau segera menyelesaikan laporanmu.”
“Kami mengerti,” sahut mereka bersamaan.
“Kalian bisa pergi sekarang,” kata Mark.
Sepeninggal mereka, Mark mengeluarkan pedang keluarga Soyoz yang masih ada di bawah mejanya. Matanya terpaku pada ukiran di pedang itu. Pikirannya kacau balau.
Mark tidak tahu dengan wajah apakah kelak ia harus bertemu ayah ibu Hyunjin. Ia tidak tahu lagi bagaimana ia harus bertanggung jawab pada keluarga Soyoz. Selama ini ia selalu berusaha mencegah Hyunjin melakukan perbuatan yang akan mengecewakan mendiang orang tuanya. Ia selalu memperingatkan Hyunjin ketika tindakannya menjadi bahan pembicaraan Viering. Hyunjin sudah mencoreng nama baik Binkley ketika ia menikahi Mina. Sekarang ia bukan hanya mencoreng wajah Binkley namun juga mempermalukan keluarga Soyoz.
Sudah dapat dipastikan Hyunjin tidak dapat menghindarkan diri dari hukuman mati. Ia bukan hanya telah mencoba membunuh Jaemin namun juga telah mencoba membunuhnya. Luka di punggungnya adalah bukti yang paling jelas. Mark juga tidak dapat mengingkari perbuatan Hyunjin lagi. Ia tidak dapat lagi menutup ebelah mata atas perbuatan Hyunjin ini.
Mark teringat masa-masa kecilnya bersama Hyunjin yang sangat dikaguminya. Saat itu tidak terpikirkan olehnya Hyunjin akan menjadi seperti apa ia hari ini. ia sama sekali tidak pernah menduga setelah kematian orang tua mereka, Hyunjin mulai berubah hingga menjadi, seperti kata Hyunjin sendiri, sampah. Ketika mereka bermain bersama, sedikitpun tidak pernah terlintas di pikiran Mark, suatu hari nanti ia akan menjadi orang yang mengirim Hyunjin ke ajalnya. Mungkin orang-orang akan menyuruhnya marah pada Hyunjin namun ia tidak dapat. Ia masih menyayangi kakak sepupunya itu. Ia bersedih atas kelemahan Hyunjin hingga ia terpengaruh oleh Mina.
Ketukan di pintu mengagetkan Mark.
Mark dengan cepat menyembunyikan pedang itu di bawah mejanya.
“Lady Renjun dan Earl Hielfinberg ingin bertemu,” lapor prajurit.
“Biarkan mereka masuk.”
Prajurit segera memberi jalan pada kedua tamunya.
“Selamat siang, Paduka,” sambut Renjun dengan wajah panik yang tidak dapat ditutupi oleh senyumannya.
“Jaemin baik-baik saja,” Mark langsung menjawab kecemasan Renjun itu.
“Di mana dia?” tanya Renjun, “Kami tidak dapat menemukan Jaemin di kamarnya. Nicci juga tidak ada.”
“Sejak kemarin malam Jaemin telah aku pindah ke Ivory Room,” Mark memberitahu.
“Ivory Room?” Renjun mengulangi. Ruangan itu adalah kamar terbesar dan termewah Fyzool. Seperti namanya, seluruh lantai hingga dinding ruangan itu terbuat dari marmer. Marmer itu pula yang membuat ruangan itu dingin dan sejuk di hari-hari panas. Namun di musim dingin seperti ini, tanpa pemanasan yang memadai, ruangan itu bukanlah pilhan yang bagus.
Sejauh yang Renjun ketahui, sudah lama ruangan itu kosong. Tidak ada raja-raja terdahulu Viering yang suka menempati ruangan itu. Entah apa tujuan ruangan itu dibangun. Mungkin raja yang memerintahkan pembangunan Istana Fyzool adalah satu-satunya orang yang pernah menempati ruangan itu.
“Nicci ada di sana,” lanjut Mark, “Ia bisa membukakan pintu untuk kalian.” Mark menatap Earl dan tersenyum, “Saya senang Anda mau datang lagi.”
“Renjun telah menyadarkan saya. Saya tidak bisa terus menghidari ketakutan saya. Semakin saya menghindari Jaemin, semakin ingin saya menemuinya dan semakin takut saya kehilangannya.”
“Anda bisa tinggal di sini selama yang Anda inginkan. Namun untuk kali ini, saya bersikeras mengundang Anda tinggal setidaknya hingga Jaemin sudah cukup sehat untuk mengunjungi Anda di Schewicvic.”
Earl Yuta tertawa. “Saya khawatir Anda perlu menyiapkan ruangan untuk Taeil.”
“Saya tidak keberatan. Istana mempunyai lebih dari cukup ruangan untuk menampung kalian. Bila kau menginginkannya, Renjun, kau juga bisa tinggal di sini.”
“Saya menerima tawaran Anda dengan senang hati, Paduka,” Renjun berterima kasih, “Namun saya khawatir saya tidak bisa meninggalkan Mangstone. Ayah dan adik saya masih memerlukan saya untuk mengurusi hal-hal kecil.”
“Kau bisa,” Mark bersikeras, “Mereka harus mulai terbiasa mengurusi diri mereka sendiri. Suatu hari nanti kau juga akan meninggalkan Mangstone ke sisi orang yang kaucintai.”
Wajah Renjun memerah mendengarnya. “Saya masih belum menemukan orang itu.”
“Tinggallah di sini. Jangan terus mengurung diri di Mangstone. Aku percaya kau akan segera menemukan orang itu.”
Renjun semakin tersipu mendengarnya.
“Mengenai tawaran Anda, Paduka,” kata Earl, “Saya akan memikirkannya dengan serius.”
“Jaemin pasti akan sangat senang bila Anda mau tinggal di sini,” Mark memahami keputusan Earl, “Segeralah temui Jaemin. Aku yakin saat ini ia sudah bangun.”
Mereka pun segera mengundurkan diri dari ruang kerja Mark dan segera menuju Ivory Room.
“Paduka benar, Renjun,” kata Earl, “Kau tidak boleh terus menghabiskan waktumu memikirkan Jaemin. Jaemin sudah bukan anak kecil. Ia sudah dewasa dan sudah menikah. Aku sangat berterima kasih atas semua yang telah kaulakukan untuknya.”
“Mengapa Anda tiba-tiba berkata seperti itu?” tanya Renjun, “Saya tidak pernah merasa terbebani oleh Jaemin. Saya menyayanginya seperti adik saya sendiri.”
“Aku tahu. Namun apakah kau pernah berpikir Taeil juga sangat ingin melihatmu menikah?”
“Saya masih belum memikirkannya,” Renjun membela diri.
“Engkau memang seorang gadis yang baik. Engkau lebih mementingkan Jaemin dan Jisung daripada dirimu sendiri. Aku dapat memahami mengapa Taeil begitu membanggakanmu. Tidakkah kau pikir Taeil akan semakin bahagia bila engkau menikah?”
Renjun segera mencari jalan untuk menghidari pembicaraan ini. Pernikahan bukanlah hal yang saat ini ada dalam pikirannya. Ia masih belum berpikir untuk menikah bukan saja karena ia masih belum menemukan pasangan yang cocok tetapi juga karena ia masih mencemaskan Jisung. “Saya yakin jalan tercepat ke Ivory Room adalah ini,” Renjun membelok tiba-tiba.
Dari arah yang berlawanan, muncul seorang pria yang juga tampak tergesa-gesa. Seperti Renjun, pria itu tidak melihat Renjun sampai mereka bertubrukan dengan keras. Begitu kerasnya tubrukan mereka hingga Renjun jatuh terpelanting.
“Renjun, kau tidak apa-apa?” Earl Hielfinberg dengan cemas membantunya berdiri.
“Renjun?” pria itu melihat Renjun lekat-lekat, “Apakah Anda adalah Renjun, putri Grand Duke Taeil yang terkenal itu?”
Mata Renjun bertemu sepasang mata biru yang dalam itu. Tanpa dapat dikendalikannya, jantungnya berdegup kencang melihat wajah menarik pria itu.
“Ah, maafkan ketidaksopanan saya,” pria itu segera berlutut, “Nama saya adalah Jeno, putra dari seorang bangsawan kecil Rusia,” pria itu mengambil tangan Renjun dan menciumnya, “Saya sungguh merasa beruntung dapat bertemu dengan Anda. Sudah lama saya mendengar kecantikan Anda.” Ia menatap Renjun lekat-lekat. “Saya minta maaf yang sedalam-dalam atas kecerobohan saya beberapa saat lalu. Saya tidak melihat Anda. Apakah Anda bersedia mengampuni saya, M’lady?”
“T-tentu saja,” wajah Renjun merah padam. Jantungnya sudah tidak dapat lagi dikontrolnya.
Renjun terperanjat. Ia sudah benar-benar melupakan tujuan mereka semula. “Maafkan saya, er…”
“Jeno, Jeno,” pria itu mengulang namanya.
“Maafkan saya, Tuan Jeno,” Renjun mengulang, “Saya ingin segera menemui Jaemin.”
“Apakah orang ingin Anda temui itu adalah Ratu Jaemin?” tanya Jeno.
“Benar,” Renjun membenarkan.
“Bagaimana keadaan Ratu?” tanya Jeno, “Apakah benar ia hampir dibunuh oleh Duke Hyunjin? Saya mendengar berbagai macam desas-desus tentangnya di Tognozzi.”
Walaupun mengetahui kebenarannya, Renjun memilih untuk bersikap hati-hati. “Maafkan saya. Saat ini saya tidak mempunyai wewenang untuk membicarakan hal tersebut. Namun saya dapat memberitahu Anda Jaemin baik-baik saja. Saat ini ia sedang beristirahat.”
“Dapatkah saya menjenguk Ratu Jaemin?”
“Saya khawatir Anda memerlukan ijin Yang Mulia Raja Mark.”
“Kau bisa mengantarnya meminta ijin Raja, Renjun,” Earl memotong pembicaraan mereka, “Aku bisa pergi sendiri ke Ivory Room.”
“Apakah Anda berkenan mengantar saya menemui Yang Mulia Raja Mark?” pria itu bertanya penuh harap.
“T-tentu,” lagi-lagi pandangan pria itu membuatnya kehilangan kontrol atas emosinya.
Earl Yuta tersenyum melihat Renjun menunjukkan jalan kepada pria itu dan meneruskan langkahnya ke kamar baru Jaemin.
Penjagaan di kamar baru Jaemin lebih ketat dari sebelumnya. Prajurit yang menjaga pintu Ivory Room sudah bertambah hingga 6 orang. Tiga berjejer di sisi kiri dan tiga berjejer di sisi kanan pintu putih besar yang berdaun dua itu.
Prajurit yang tepat berada di kanan kiri pintu Ivory Room langsung menyilangkan tombak mereka – menghadang jalannya.
“Aku adalah Earl of Hielfinberg, ayah Ratu Jaemin,” Earl memberitahu mereka.
Prajurit segera mengetuk daun pintu. Tanpa membuka pintu, ia melaporkan kedatangannya, “Seorang pria yang mengaku sebagai Earl of Hielfinberg, ayah Ratu Jaemin, ingin menemui Ratu.”
Earl Yuta dibuat kaget oleh kecurigaan mereka. Namun ia dapat memahaminya. Setelah kejadian demi kejadian yang menimpa Jaemin, Mark tentu tidak ingin kecurian lagi. Andai Jaemin masih di Schewicvic, ia pun akan melakukan hal yang sama. Bahkan mungkin ia akan melarang seorang pun menemui Jaemin.
Sebagai jawaban, Nicci muncul membuka pintu.
“Selamat siang, Yang Mulia,” sambut wanita itu ramah, “Paduka Ratu sangat senang mendengar kedatangan Anda.”
Baru setelah itulah prajurit menurunkan tombak mereka dan mempersilakan Earl masuk.
Ketika kakinya menginjak lantai marmer Ivory Room, Earl merasakan hawa dingin dari setiap sisi ruangan yang didominasi warna putih itu. Seperti namanya, seluruh bagian ruangan ini terbuat dari marmer putih. Meja kecil di sisi kanan kiri ranjang dan meja rias yang terletak tak jauh dari sisi tempat tidur terbuat dari marmer. Perapian besar yang berada di dinding seberang tempat tidur juga terbuat dari marmer. Hanya tempat tidur dan kursi-kursi yang tidak terbuat dari marmer.
Tempat tidur Jaemin melintang di tembok kiri, tepat di depan pintu kaca besar menuju serambi. Ranjang yang ukurannya hampir dua kali ranjang di kamar lama Jaemin itu berdiri kokoh di atas karpet putih tebal. Tiang-tiangnya yang berlapis emas putih dihiasi oleh ukiran artis terampil. Tali keemasan mengikat rapi kelambu putih yang menaungi tempat tidur di keempat tiang tempat tidur. Hanya kelambu pada sisi kepala tempat tidur yang bersandar pada tembok yang dibiarkan jatuh lembut.
Tirai pintu kaca menuju serambi dibiarkan terbuka sehingga sinar matahari bisa memasuki kamar. Demikian pula tirai jendela-jendela di sisi pintu serambi.
“Papa,” Jaemin yang bersandar di atas tumpukan bantal, mengulurkan tangannya.
Earl segera memeluk putrinya erat-erat.
“Aku merindukanmu, Papa,” kata Jaemin.
Ketika melihat sisi luar tempat tidur yang dekat pintu serambi kosong, Earl Hielfinberg mengerti mengapa Mark memilih kamar yang lebih dingin ini.
“Bagaimana keadaanmu?” Earl bertanya penuh perhatian.
“Aku sudah lebih baik.”
“Lebih baik apanya?” Nicci memprotes, “Demam Anda masih belum turun tetapi Anda sudah ingin turun tempat tidur. Tak heran Raja memilih kamar ini. Dari ruang kerjanya, Raja bisa terus mengawasi setiap gerakan Anda”
Mata Jaemin membelalak. “Ruang Kerja Mark ada di depan kamar ini?”
“Ruang Kerja Raja ada di seberang kamar,” Nicci membenarkan, “Anda bisa melihatnya dari serambi.” Tepat setelah Nicci menyelesaikan kalimat itu, ia menyadari kesalahannya. Jaemin sudah melompat dari tempat tidur sebelum ia bisa menyadarinya dan menuju serambi.
Jaemin tersenyum lebar melihat punggung Mark di jendela sisi lain gedung Istana yang berseberangan dengan serambi Ivory Room. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, “MARK!!!”
Di Ruang Kerjanya, Mark terkejut mendengar panggilan itu. Kepalanya langsung menoleh ke jendela di belakangnya. Ia melompat dari tempat duduknya ketika melihat Jaemin berdiri di serambi hanya dengan mengenakan gaun tidurnya.
“APA YANG KAU PIKIR SEDANG KAU LAKUKAN!!??” Mark membuka jendela lebar-lebar.
Renjun dan Jeno yang masih berada di ruangan itu terperanjat.
Jaemin melambai-lambaikan tangannya dengan gembira.
“MASUK KE DALAM SEKARANG JUGA!!”
Orang-orang yang berada di halaman juga terperanjat. Mereka menengadah melihat asal seruan marah itu.
“TIDAK!!” Jaemin berseru keras kepala, “Aku bosan!”
“Aku tidak peduli kau bosan atau tidak. MASUK SEKARANG JUGA ATAU…”
“ATAU APA!?” tantang Jaemin.
Semua orang menengadah melihat keduanya saling berseru dari kejauhan.
“Sudah lama kita tidak mendengarnya,” seseorang menceletuk.
“Benar. Rasanya sudah bertahun-tahun Istana tidak seramai ini,” yang lain tertawa geli.
Jeno benar-benar keheranan melihat Raja muda yang beberapa saat lalu terlihat penuh wibawa itu kini berteriak marah-marah tanpa kendali.
“Jaemin…,” Renjun tidak sanggup lagi mengutarakan keluhannya atas sikap Jaemin.
Earl terbengong melihat ulah Jaemin dan Mark.
“Mereka sering seperti ini,” Nicci memberitahu.
“Tidak ada bantahan! Kembali ke dalam sekarang juga!” Mark memperingatkan dengan tajam, “Jangan biarkan aku mengucapkannya untuk yang ketiga kalinya!”
“Aku tidak mau!” Jaemin membantah keras kepala, “Jangan biar…” Pandangan Jaemin mengabur.
“JAEMIN!!!!” Mark berteriak panik.
Tubuh Jaemin jatuh lemas di pagar pembatas serambinya.
Renjun pingsan.
Jeno dengan cepat menangkap Renjun.
Earl berdiri kaku karena kagetnya.
Nicci segera berlari menangkap tubuh Jaemin sebelum gadis itu jatuh bebas dari lantai tiga.
***
“Maafkan saya. Maafkan saya. Maafkan saya, Paduka,” Nicci menyatakan penyesalannya sedalam-dalamnya. “Maafkan saya.”
Mark duduk di sisi Jaemin dengan tangan menyangga kepalanya yang berat oleh beban pikiran akan Jaemin.
“Aku tidak sengaja,” Jaemin membela diri.
“TIDAK SENGAJA APANYA!!!!?” Mark menyahut marah, “Kurang sedikit saja kau sudah mati.”
“Jangan berteriak sekeras itu!” Jaemin memegang kepalanya, “Kau membuat kepalaku semakin sakit. Bagaimana pun juga, aku adalah orang sakit.”
“KALAU KAU MEMANG SADAR KAU MASIH SAKIT, MENGAPA KAU BERANI KE SERAMBI!!!!????”
Kepala Jaemin berdenyut semakin keras oleh teriakan itu.
Mark mendesah panjang. “Aku tidak tahu sampai kapan jantungku bisa bertahan. Aku ingin kau cepat sembuh dan berkeliaran seperti dulu daripada setiap saat membuat jantungku copot.”
“Maafkan kelalaian saya, Paduka.”
“Ini bukan salahmu, Nicci. Aku sudah tahu Jaemin akan membuat ulah.”
Jaemin sama sekali tidak senang mendengar tuduhan itu.
“Aku akan mengunci pintu serambi dan menambah orang untuk membantumu mengawasi Jaemin sampai ia benar-benar sembuh,” Mark memutuskan untuk mengambil tindakan tegas, “Aku juga akan menambah prajurit di setiap pintu kamar ini termasuk pintu serambi dan jendela-jendela.”
“Aku bukan penjahat!” Jaemin memprotes.
“Aku bisa meyakinkanmu. Engkau akan menjadi penjahat terbesar Viering dalam waktu dekat,” Mark memperingatkan dengan tidak senang.
“Kau tidak akan apa-apa. Kau adalah iblis!”
“Tutup mulutmu, Jaemin!”
Nada dalam suara Mark membuat Jaemin sadar pemuda itu tidak dalam suasana hati untuk berdebat.
Mark meletakkan kedua sikunya di atas paha. Jari-jarinya yang saling bertautan, menumpu dahi kepalanya yang tertunduk.
“Nicci,” dalam suaranya terdengar kelelahannya, “Katakan pada Taeil aku tidak akan muncul untuk sisa hari ini. Lalu katakan pada Jancer aku minta ia menambah pasukan untuk Jaemin. Beritahu Vicenzo pula aku ingin pelayan Jaemin ditambah. Pilihlah sendiri berapapun pelayan yang kau pikir bisa membantumu mengawasi Jaemin, Nicci.”
“Saya mengerti, Paduka.”
Tak lama setelah kepergian Nicci, Renjun membungkuk dalam-dalam. “Maafkan saya, Paduka. Saya tidak bisa mendidik Jaemin dengan benar.”
Mark sama sekali tidak bersuara.
“Maafkan kegagalan saya. Saya yakin Jaemin tidak bermaksud membuat keributan.”
“Benar. Dia hanya ingin mencabut nyawaku secepat mungkin,” Mark bergumam.
“Aku!” protes Jaemin terhenti oleh lirikan tajam Mark.
“Saya benar-benar tidak menyangka Ratu bisa berbuat seperti itu,” komentar Jeno.
“Aku juga tidak bisa menduga kapan dia akan membuat jantungku berhenti,” Mark sependapat lalu ia melihat keduanya, “Tinggalkan kami berdua. Hari ini aku sudah cukup lelah untuk melakukan yang lain. Maafkan aku, Jeno. Bisakah besok kita membicarakannya lagi?”
“Saya mengerti, Paduka,” Jeno dapat memahami kepenatan pemuda itu dan ia berpaling pada Jaemin, “Semoga Anda cepat sembuh, Paduka Ratu.”
Sesuai dengan perintah Mark, mereka bergegas meninggalkan tempat itu.
Jaemin tidak berani bergerak juga tidak berani mengeluarkan suara. Ia tidak pernah melihat Mark sedemikian murkanya. Jaemin tahu Mark tidak membutuhkan bantahan.
“Jaemin…,” Mark menjatuhkan diri di atas Jaemin dan menyusupkan kepalanya dalam-dalam di lekukan leher gadis itu. “Kumohon… kumohon padamu, Jaemin, jangan membuat sesuatu yang mengkhawatirkanku.”
Jaemin tidak pernah mendengar Mark begitu putus asa. Ia tidak pernah melihatnya begitu tidak bertenaga seperti ini.
“Berjanjilah padaku kau akan menurutiku. Berjanjilah kau akan beristirahat dengan tenang dan tidak membuat ulah apa pun sampai engkau benar-benar sembuh. Berjanjilah padaku, Jaemin.”
Jaemin terpaku.
“Aku tidak bisa hidup dengan ini. Aku tidak sanggup kehilanganmu. Aku tidak sanggup lagi menanggung beban pikiran akan kehilanganmu. Aku sungguh takut, Jaemin. Aku sungguh takut kehilanganmu. Setiap saat aku berpikir kegilaan apa yang tengah kau lakukan. Jangan biarkan aku hidup dalam ketakutan ini. Aku tidak sanggup.”
Sang Raja Viering yang ditakuti setiap orang di Viering, ketakutan. Mark yang penuh wibawa itu memohon padanya!
Bunga kegembiraan dalam hati Jaemin mekar. Ia dapat merasakan besarnya cinta Mark padanya. Jaemin menaikkan tangannya memeluk Mark. “Maafkan aku,” katanya bersungguh-sungguh. “Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku berjanji akan menuruti perintah dokter. Aku berjanji padamu aku akan berdiam diri di tempat tidur sampai aku pulih. Aku berjanji tidak akan membuat keonaran lagi.”
Mark mengangkat tubuhnya mendengar rentetan janji Jaemin. “Aku tidak sekedar membutuhkan janji.”
“Aku juga tidak sekedar berjanji,” Jaemin tersenyum melihat ketidakpuasan di mata Mark. Ia tahu Mark benar-benar mencemaskannya.
Mark hanya menatap ke dalam mata Jaemin. “Katakan, Jaemin.”
Jaemin memberikan senyumannya yang termanis dan mengatakannya, “Aku mencintaimu.”
Mark pun menyambutnya dengan ciuman yang panjang.
***
“Selamat pagi, Paduka.”
“Selamat pagi, Taeil,” balas Mark.
“Bagaimanakah keadaan Paduka Ratu?”
“Ia sudah membaik tetapi panasnya masih belum turun. Sekarang ia sedang tidur nyenyak.”
“Tidur nyenyak?” Grand Duke tidak percaya. Ia tahu benar bagaimana sulitnya membuat Jaemin bertahan di atas tempat tidur sepanjang hari. Hingga detik lalu ia yakin Mark pun tidak dapat apalagi setelah mendengar keributan yang dibuat Jaemin kemarin.
“Ia tidak mempunyai tenaga untuk berbuat apa pun selain tidur,” Mark tersenyum penuh arti.
Grand Duke menangkap arti yang tersembunyi dalam kalimat itu dan ia tersenyum pula. Sering ia merasa keputusannya tepat. Namun Jaemin juga sering membuatnya khawatir telah mengambil keputusan yang salah. Namun sekarang tiada lagi yang perlu ia khawatirkan tentang kedua orang ini. Hanya Mark yang bisa mengatasi Jaemin. Demikian pula Jaemin. Hanya ia yang bisa memberikan kebahagiaan pada Mark.
“Taeil,” Mark tiba-tiba berubah menjadi serius, “Sudah waktunya kita menyelesaikan masalah ini. Segera kumpulkan orang-orang yang terlibat. Secepatnya lusa besok aku tidak ingin mendengarnya lagi. Dan, Taeil, panggil Jeno menemuiku.”

RATU PILIHAN (REMAKE MARKMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang