9

563 150 33
                                    

             

9Tahun kemudian.

"AKU INGIN melihat laporan keuangan bulan ini, bisa?" kataku sambil mengembalikan dokumen laporan penjualan kepada Juri, staff finance Perusahan.

Juri menganggukan kepala. "Segera setelah kami menyelesaikannya."

"Baik," kuanggukan kepala. "Kau boleh pulang." Kataku kepadanya.

Setelah Juri pamit keluar, aku bersandar pada kursi yang kududuki dan memijat keningku pelan. Jujur saja aku sudah pusing sekali perkara hal-hal semacam ini dan aku ingin sekali liburan keluar negeri, tapi aku tidak punya waktu. Bukan karena aku ikut bekerja—ayolah aku bosikan kalengan sekarang—tapi karena aku sepertinya sudah mendedikasikan sebagian dari hidupku pada perusahaan ini. Jujur saja, aku bahkan tidak percaya kalau aku berakhir di sini bahkan sebelum aku menemukan cita-cita baruku—menjadi ibu-ibu sosialita masih menjadi tujuanku saat itu—namun keadaan memaksaku untuk mengubur dalam-dalam impianku.

Aku dipaksa untuk menjadi Suzy yang lain oleh dunia. Aku dipaksa tumbuh lebih cepat dengan mengurus perusahaan peninggalan keluargaku yang kini sudah semakin pesat. Namaku masuk di forbes 30 under 30, aku berhasil memecahkan rekor dunia, menjadi kover di majalah-majalah bisnis dan fashion dalam tiga bulan berturut-turut. Fotoku terpajang di New York Time Square sebagai salah satu orang paling berpengaruh termuda dengan pencapaianku sekarang. Aku mencetak sejarah yang bahkan tadinya, kupikir, kalau sahabat laki-lakiku itu yang akan melakukannya. Itu bayanganku kepada Myungsoo dulu, tapi malah aku yang ada di sini sekarang... hidup selucu itu.

Ibuku pensiun dini dari posisinya karena tumoryang ia derita, aku baru tahu kalau Ibu sakit ketika dia tiba-tiba pingsan dan di larikan ke rumah sakit. Asisten Ibu mengatakan kalau Ibu memang sudah mengidap penyakit itu sejak satu setengah tahun yang lalu, namun Ibu sengaja merahasiakannya kepadaku. Aku tidak sempat marah karena aku menangis sejadi-jadinya.

Ponselku berdering. Aku mengambilnya dan menemukan nama Hayang di layar. Kugeser ikon pada layar dan menggangkat.

"Ap—"

"Kau di mana?"

"Ruanganku laa, di mana lagi."

"Cepat turun sekarang. Aku menunggumu di lobi."

"Kau sudah pulang dari Jeju?" tanyaku heran. Hayang jelas tidak seperti biasanya.

"Sudah."

Aku menaikkan alis, tumben sekali diatidak sibuk minta di susul. Biasanya Hayang ini selalu merepotkanku, memintaku mengirim Personal Asistenku untuk menjemputnya di Bandara tiap kali dia pulang dari dinas di luar kota. Aku jelas tahu betul itu cuma akal-akalan Hayang saja karena si tulang lunak itu naksir berat dengan PA-ku. Hah!

Makanya aku sekarang jadi keheranan karena dia "tidak seperti biasanya".

Aku langsung memutuskan panggilan telepon kami, dan membereskan meja sebelum mengambil tas dan segera keluar menuju lift. Pandanganku ke atas menatap nomorator yang bergerak turun sesuai dengan nomor yang kupencet tadi. Aku menunggu hingga bunyi ding!! terdengar, lalu pintu lift dibuka. Kulangkahkan kaki keluar dan pendengaranku langsung dipenuhi dengan suara Hayang yang tidak merdu itu. Oh my god!

"SUZZ!" teriak Hayang seraya berlari kearahku dengan cara berlebihan.

Aku mengaduh ketika tubuhku sudah masuk kedalam pelukan eratnya. Bisa kulihat beberapa pegawaiku yang berada di sana nampak tersenyum kecil melihat pemandangan yang sudah biasa ini. Hayang ini membuatku jadi bos yang suka ditertawai oleh pegawainya. Kurang ajar memang!

BLUE JEANSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang