17

615 133 21
                                    

              “JADI, kau berniat untuk mengabaikan pesannya?” tanya Hayang sambil duduk dan meminum es americano yang dia beli dalam perjalanannya ke sini begitu lah kata Hayang tadi. Dia sama sekali tidak membelikanku, katanya aku tidak boleh minum yang pahit-pahit karena aku sedang kesal. Hayang takut aku memukulnya, padahal kan aku tidak pernah memukul orang. Dasar saja dia itu pelit!

Aku mengangguk, menatap Hayang dari kursiku. Kami sedang di ruang kerjaku karena aku masih belum selesai bekerja. Well, ini baru jam tiga sore. Tapi, orang satu ini jelas punya aturannya sendiri, sepertinya Hayang merasa kalau perusahaan tempatnya bekerja itu tidak akan memecatnya meskipun dia pulang semaunya, hih, kalau Hayang adalah karyawanku aku pasti sudah memecatnya. Sayang sekali bukan.

“Memangnya kau sanggup?” tanya Hayang.

“Kenapa juga aku tak sanggup?” aku mengerut aneh menatapnya. Yang ada malah sebaliknya, Myungsoo yang tidak akan sanggup kudiami lama-lama.

Hayang meletakkan gelas americano-nya ke atas meja dan menatapku dengan pandangan super mesumnya. Aku sering melihat tatapan ini kalau dia sedang membayangkan yang tidak-tidak, atau kalau dia melihat ada celana dalam milik kekasihnya yang tertinggal di apartemennya—dulu sekali, sebelum akhirnya Hayang memilih mensterilkan apartemennya ketika tahu kalau ada keluarganya yang suka sembarangan masuk—yang sangat menjijikkan kalau aku ingat-ingat. Ew!

“Apa?” tanyaku kesal.

“Kalian kan tadi belum sempat menyelesaikannya...” Hayang menaik-turunkan kedua alisnya dengan hidung mengembang.

“Menyelesaikan apa?”

“Yang di dapur pagi tadi...” ucap Hayang kemudian tiba-tiba merubah posisi duduknya sambil menengadah ke atas. “Aah...aah...ahhh.”

Dasar gila!

Aku buru-buru melemparkan bolpoin yang kupegang sejak tadi dan tepat mengenai bahu Hayang. Si tulang lunak itu tertawa kencang—untung saja ruanganku kedap suara—seolah-olah puas karena berhasil menggodaku. Dia jelas membayangkan Myungsoo, bukan aku!

Sialan.

“Jangan membayangkan!” aku mengultimatum.

“Aku tidak membayangkanmu.”

“Aku tahu,” kuanggukan kepala, lalu mengoreksi. “Jangan membayangkan Myungsoo!”

“Aku tidak—“

“Yes, you are.” Aku mendengus.

Hayang tersenyum menyebalkan. “Dengan wajah dan tubuh seperti itu aku menyarankanmu agar kau lebih memerhatikan Myungsoo. Suz, siapapun jelas mengincar Myungsoo.”

“Itu tidak penting karena aku tahu dia menyukaiku.” Jawabku santai.

“Kau pikir cinta satu arah itu menyenangkan?”

Aku menatap Hayang. “Kami tidak cinta satu  arah.”

Hayang mengangguk-anggukkan kepala. “Benar. Biar kurubah kalimatku, “Kau pikir punya hubungan dengan wanita super cuek dan tidak perhatian itu menyenangkan?”” kata Hayang.

Sialan.

“Jadi, maksudmu aku cuek dan tidak perhatian?”

“Itu kau tahu.” Hayang mengangkat alis seraya tersenyum menyebalkan. Aku berani bersumpah ingin melemparkan bantal kalau saja bantal itu ada di dekatku bukan di sampingnya.

“Aku perhatian.”

“Masa?” Hayang bertanya dengan nada tidak percaya.

Kuanggukkan kepala.

BLUE JEANSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang