Mungkin sekarang, kamu jauh lebih tenang. Kamu mengobati lukamu sendirian, kamu tak perlu bantuan siapapun. Kamu membasuhnya dengan baik, lalu memperbannya dengan benar. Aku tau, kamu bisa melakukan semuanya sendiri.
Terkadang, ketika aku berbaring di tempat tidurku dan baru saja melewati hari yang melelahkan, aku bertanya-tanya, apa yang sedang kamu lakukan? Apakah kamu sudah tidur? Apakah kerjaanmu baik-baik saja? Apa yang terjadi dengan rencanamu waktu itu? Apakah kamu jadi resign dan mencari tempat kerja yang baru? Apakah kotamu baik-baik saja? Apakah disana hujan terus? Jika memang hujan terus, kuharap kamu tak apa-apa.
Aku masih menjadi orang yang selalu mengkhawatirkanmu.
Aku juga bertanya-tanya, apakah langkah yang sudah kamu ambil untuk menyembuhkan lukamu itu? Apakah masih jalan di tempat atau kamu sudah berjalan jauh? Jika saja kamu sudah mengambil langkah baru dan berjalan jauh, aku benar-benar bangga padamu. Itulah yang memang seharusnya kamu lakukan.
Apakah dalam perjalananmu itu, kamu pernah beristirahat di sebuah rest area dan memikirkanku? Apakah kamu juga penasaran dengan segala tentangku?
Aku tak pernah ingin kamu memaksakan diri untuk kembali dengan hati yang rumpang itu. Berikanlah dirimu sendiri waktu untuk menggilas semua kepahitan yang ada. Jika kakimu masih penuh luka, jangan dengarkan sekelebat yang terkadang menggodamu untuk kembali datang kepadaku. Pergilah obati lukamu terlebih dahulu, lalu temukan sepasang sepatu yang akan menuntunmu kembali padaku.
Temukanlah sepatu yang terbuat dari kulit yang kuat dan tahan, bukan sepasang sepatu yang terbuat dari jerami. Datanglah kepadaku lagi di saat hatimu sudah benar-benar siap dan tak goyah lagi sedikitpun, sampai saat itu tiba, aku akan menunggumu.
Kamu tau? Tak hanya kamu yang tengah berjuang menenangkan diri. Aku juga berusaha di sini untuk menahan perasaanku, melupakanmu. Semakin aku tahan perasaan itu, semakin dia menusuk diriku. Bahkan, sampai aku menulis chapter ini, jika bisa memilih, aku tak pernah berharap kamu pergi. Semuanya tak mudah bagiku. Maka dari itu, datanglah kepadaku lagi nanti dan sampai saat itu tiba, jangan pernah tinggalkan aku lagi.
Aku tau, Tuhan menyayangimu. Aku tau, Dia Maha Baik dan Maha Mendengar. Dia pasti mendengar semua ceritaku mengenai kebaikanmu, betapa aku ingin bersamamu, dan betapa aku ingin Dia melindungimu. Seluruh traumamu hanya segelintir debu bagi-Nya dan mudah bagi-Nya untuk menjagamu dan memelukmu erat, jika memang kamu sudah tak sanggup lagi.
Aku tak ingin meminta banyak hal. Aku hanya ingin hatimu bisa memaafkan dirimu sendiri, mencintai dirimu sendiri, dan mengikhlaskan seluruh kesalahan yang pernah kamu perbuat yang menjelma menjadi trauma bagi dirimu. Semua ini hanya tergantung kapan kamu bisa memaafkan dirimu sendiri.
Ingin sekali aku tampar dirimu dan membentakmu dengan keras bahwa yang kamu butuhkan bukanlah maaf dari semua wanita itu, tapi maaf dari dirimu sendiri. Berhentilah marah dan menyalahkan dirimu sendiri. Maafkanlah dirimu sendiri, berilah dirimu rasa kasihan sedikit.
Kuharap, waktu bisa menyembuhkan lukamu dengan baik, berhenti menyiksamu dan membuatmu menutup diri. Semoga kamu tetap berjalan, meninggalkan semua negativity yang menempel di sekujur tubuhmu. Aku berharap, ketika tubuhmu sudah bersih dari duri dan luka, kamu menemukan serpihan-serpihan hatiku di tengah jalan yang mampu menuntunmu pulang, kembali kepadaku.
Sampai saat itu tiba, semoga semua masa depan yang pernah kita rencanakan bersama bisa sabar menunggu dan jika memang kamu berhasil menemukan jalan pulang, kuharap kita masih memiliki waktu untuk melanjutkan rencana itu.
Berjalanlah pelan-pelan saja, tak usah terburu-buru. Semuanya akan baik-baik saja, aku tau kamu bisa. Kamu bisa melewati ini semua. Aku akan menunggumu di depan pintu. Sampai saat itu tiba, buatlah aku bangga dengan segala usahamu untuk melawan semua rasa sakit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Pulang ke Rumah
RandomSebuah jalan yang menuntun kembali ke rumah yang kosong. p.s • Jalan Pulang ke Rumah ditulis pada 2021 • Cerita sudah tamat, chapter lengkap