Setelah perpisahan itu, aku pun mulai menyibukkan diri agar aku tak teringat padamu. Ketika biasanya aku mendambakan waktu luang, kali ini aku jadi takut dengan waktu luang. Sebenarnya, tak ada yang masalah dengan waktu luang. Aku saja yang terlalu parno dan takut larut akan lamunanku tentangmu.
Aku pun mulai menyibukkan diri, mengisi waktu luangku dengan berbagai macam cara. Aku mencari tontonan baru, lagu baru, bahkan aku pernah bermain game seharian penuh, pada suatu weekend. Kuakui, menyibukkan diri memang ampuh untuk terhindar dari rasa rindu dan segala lamunan mengenaimu.
Namun, munafik jika aku bilang aku tak merindukanmu, meskipun aku sudah menyibukkan diri sedemikian rupa. Tentu saja, aku tetap merindukanmu. Bahkan sepadat apa rencana 'penyibukan diri' yang sudah kulakukan tak membuat kamu absen datang ke kepalaku setiap malam. Aku paling kesal jika kamu sudah datang ke kepalaku saat aku hendak tidur.
Hal terburuk adalah ketika suatu hari aku tak sengaja membuka chat lama kita. Meskipun chat itu kini hanya menyisakan obrolan lama dengan akunmu yang sudah mati, tapi aku tetap tak menghapusnya. Aku ingin tetap menyimpannya sampai aku benar-benar bisa melupakanmu karena barangkali, obrolan itu yang bisa mengobati lukaku ketika aku merindukanmu. Tenang saja, aku pasti akan menghapusnya suatu saat nanti.
Aku tak sengaja membuka obrolan itu. Aku membacanya sekilas, tapi malah keterusan membacanya dari atas. Lalu, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah perasaan rindu yang selama ini kukubur menyeruak, mengamuk keluar. Aku benar-benar tak bisa menahan perasaan ini. Padahal, kupikir, aku sudah baik-baik saja karena aku hanya menangis sekali sejak kamu pergi. Faktanya, perasaan itu masih ada di dalam hatiku, meronta-ronta ingin keluar, tapi aku malah membungkamnya.
Perasaan itu pun membuatku merilis satu cerpen yang berjudul What Can I Say? di salah satu tulisanku.
Aku pun berpikir, kenapa aku tak kunjung berhasil melupakanmu? Ini adalah akhir tahun, tak lucu jika aku tetap merasa sedih pada tahun baru. Maksudku, bukankah segala keadaan dan putus-nyambung yang kita lewati sebenarnya sudah cukup untuk membuat perasaanku ini terbunuh mampus dan minggat karena kapok? Apakah perasaanku ini tak lelah untuk terus-terusan seperti itu?
Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri seperti itu, sampai aku tiba di satu pertanyaan, apakah usahaku ini tak kunjung berhasil karena aku terlalu memaksakan diri untuk melupakanmu? Apakah karena aku selalu menikam perasaan ini dengan paksa sehingga mereka melawan kepada majikan mereka dan tetap memilih untuk bangkit kembali?
Namun, kalau saja aku tak berusaha menyibukkan diri untuk melupakanmu, semuanya akan lebih sulit bagiku. Aku tak mau kepalaku menjadi ajang pencarian bakat dengan kamu yang menari-nari mengisi kepalaku. Aku tak mau hatiku menjadi sebuah bioskop yang memutar kaset dan memori lama yang memenuhi rongga dadaku. Aku pun tak mau mataku mendadak diterpa musim hujan, sebab aku harus mengikuti kelas di pagi harinya, lol.
Aku tau, semuanya terdengar berat. Percayalah, semuanya tak seberat itu. Mungkin, aku hanya terlalu bereaksi berlebihan. Belum tentu juga jika aku luang aku akan memikirkanmu. Lagipula, bukan salahmu karena datang ke pikiranku. Kamu bisa datang dan duduk di sana kapanpun yang kamu mau, tapi bisakah kuminta jangan sekarang? Sebab hatiku masih diterpa badai yang membuat sekujur perasaanku sensitif.
Namun, kini, aku sudah tak menyibukkan diriku lagi. Aku berusaha untuk berdamai dengan diriku sendiri dan berdamai dengan perasaanku yang belum usai mengenai kamu. Tak mudah, tapi setidaknya aku mencoba. Aku mencoba untuk menikmati setiap waktu yang kurasakan tiap kali merindukanmu, berusaha melupakanmu, dan rasa sakit karena kehilanganmu.
Lagipula, aku tau, rasa sakit itu tak permanen. Aku hanya sedang berada di fase ini. Aku tak sabar melihat diriku yang kembali jatuh cinta, mendambakan waktu luang, dan tak lagi terjebak dalam kerinduan. Untuk sekarang, biarkanlah aku memelukmu erat, ya, sampai kamu benar-benar menghilang dari pelukanku dan aku merasa baik-baik saja akan hal itu.
Aku tau, tak ada yang tau akan garis takdir dan kita bisa saja bertemu lagi. Entah kita bisa bertemu lagi dengan semua masalah yang sudah tersapu rapi. Namun, sampai waktu itu tiba, biarkanlah aku mencoba untuk melupakanmu agar perasaan ini tak terus-terusan menyiksa diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Pulang ke Rumah
DiversosSebuah jalan yang menuntun kembali ke rumah yang kosong. p.s • Jalan Pulang ke Rumah ditulis pada 2021 • Cerita sudah tamat, chapter lengkap