Kalian bisa saja bertanya-tanya, siapakah orang yang berusaha kulupakan ini? Apakah dia orang baik? Apakah dia orang jahat?
Lelaki kali ini sangat berbeda dengan semua masa laluku. Laki-laki yang terakhir ini adalah orang baik, tau cara memperlakukanku dengan baik, dan dia adalah segala dari yang kuinginkan. Kita harus berpisah bukan karena pengkhianatan, perbedaan prinsip, perbedaan agama, atau apapun. Kita harus berpisah karena keadaan yang tak memungkinkan bagi kita untuk saat ini tetap bersama.
Kita berpisah secara baik-baik. Terserah kalau orang bilang tak ada yang namanya perpisahan baik-baik, tapi di kamus kehidupanku, berpisah secara baik-baik itu nyata dan bisa lebih menyusahkan daripada berpisah karena pengkhianatan atau apapun.
Kenapa lebih menyusahkan? Karena aku tak tau harus bagaimana. Aku merasa sedang berdiri di atas jembatan yang di bawahnya ada sebuah jurang. Kakiku gemetaran dan mudah sekali bagiku untuk terjun bebas ke bawah andaikata aku tak berpegangan erat. Namun, aku harus memilih apakah aku harus terus berjalan meskipun dengan rasa takut yang menyebar luas di dada atau menyerah dan cepat atau lambat akan jatuh ke bawah.
Aku tak tau harus bagaimana. Entah aku harus tetap berjalan dan melupakannya meskipun aku tau semuanya takkan mudah bagiku, atau aku harus tetap larut dalam rasa sayang, kenangan, dan terus-terusan hidup dalam harapan yang tak pernah pasti. Kedua-duanya tak mudah untuk dijalani, tak akan pernah mudah.
Sebelumnya, aku ingin menceritakan patah hati terberatku dan ini bukanlah laki-laki yang terakhir. Tulisan pada chapter ini mengenai mantan pacarku saat aku SMA. Aku akan menceritakan apa yang terjadi padaku dan bagaimana caraku perlahan bisa sembuh, saat itu.
Selama delapan belas tahun aku hidup di dunia ini, berkali-kali aku merasakan patah hati, entah dengan mantan pacarku atau hanya laki-laki yang bahkan belum sempat merajut hubungan denganku. Selama delapan belas tahun itu, munafik kalau aku bilang aku tak pernah berpikir untuk berhenti jatuh cinta.
Puncaknya adalah ketika aku putus dengan mantan pacarku saat aku duduk di bangku SMA. Dia pintar sekali dalam urusan manipulatif. Ketika dia memutuskan hubungan kita, aku benar-benar hancur dan aku merasa bahwa semuanya terjadi karena kesalahanku. Aku yang menjadikan hubungan ini tak berjalan, aku yang membuat dia pergi, aku yang aneh, aku yang punya sikap tak baik. Bahkan aku sampai di satu pikiran, yaitu aku tak pantas untuk dicintai dengan sikapku yang seperti ini.
Sejak aku putus dengannya, aku selalu menyalahkan diriku sendiri dan aku mendengarkan apa yang mantan pacarku katakan, yaitu aku terlalu sensitif, aku punya sikap yang tak baik, dan sikapku itu membuatnya lelah, itulah kenapa dia ingin putus. Akhirnya, aku selalu menahan perasaanku sendiri. Bahkan, kalaupun orang menyakitiku, aku akan tetap diam dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Kupikir, tak apa-apa jika aku disakiti karena aku bisa handle ini. Jika aku yang menyakiti orang lain, belum tentu aku bisa handle perasaan mereka dan bagaimana jika mereka meninggalkanku karena itu?
Mungkin, aku punya pemikiran seperti itu selama kurang lebih setahun. Namun, semuanya membaik ketika covid-19 membuatku tak lagi bertemu dengannya dan membuatku belajar untuk memahami diriku sendiri selama di rumah. Sampai aku menemukan satu quotes, yaitu every pain is valid. Semua orang punya kadar sensitivitas yang berbeda dan jika kamu merasa sakit karena suatu hal, itu wajar. Tinggalkan semua hal yang membuatmu merasa bahwa kamu tak cukup baik untuk mereka.
Aku akan sangat berterima kasih jika saja aku tau siapa yang menulis quotes yang seindah itu. Quotes itu mendobrak sesuatu di dalam diriku dan membuatku berpikir, membuatku keluar dari lingkaran bodoh yang diciptakan oleh mantan pacarku itu. Aku hidup dalam ketakutan bahwa semua orang akan meninggalkanku seperti yang dia lakukan.
Namun, selama itu, aku tak sempat berpikir bahwa tak semua orang memiliki sisi bodoh dan jahat seperti dirinya dan tega meninggalkanku hanya karena sifatku yang tak sesuai ekspektasi mereka. Aku tak ingin menjelek-jelekkan mantan pacarku itu, akupun menulis ini bukan atas dasar kebencianku padanya. Hanya saja, inilah adanya dan bagiku, dia memang pernah menjadi pemeran antagonis dalam kehidupanku.
Namun, perlahan-lahan, aku akhirnya mengerti. Untuk apa aku berubah demi orang lain? Orang yang benar-benar mencintaiku takkan meninggalkanku. Orang yang benar-benar mencintaiku akan menerimaku apa adanya dan membawaku ke hal yang benar jika aku memang ada salahnya, bukannya meninggalkanku.
Aku tak harus menahan perasaanku jika aku disakiti hanya karena aku takut kehilangan mereka. Aku adalah aku dan aku akan berperilaku seperti diriku sendiri, apa adanya. Kau tak menyukaiku? Kau bisa pergi dan cari orang lain yang sesuai dengan ekspektasimu. Kau tak menemukan yang sepertiku? Kau takkan menemukan jalanmu untuk kembali kepadaku.
Aku bahkan enggan untuk menulis mengenai dirinya. Aku hanya menulis satu cerita mengenainya padahal dia adalah mantan pacar yang paling lama bersamaku. Orang-orang terdekatku pun tau betapa aku tak pernah mau membahas banyak tentang dirinya. Bukan karena aku membencinya, tapi karena dia pernah membuatku kehilangan dua orang, yaitu dia dan diriku sendiri.
Aku bisa saja menuliskan lebih banyak hal yang tak kusukai mengenai dirinya di sini, tapi sudahlah, lagipula semuanya sudah berakhir.
Tak ada gunanya mempertahankan orang yang seperti itu di kehidupanmu. Jika kau tak ingin dia mengacaukan hatimu, maka kau harus berpikir dengan benar dan melarikan diri, meskipun dengan kaki yang penuh darah.
Ingatlah bahwa jika kau ditinggalkan oleh seseorang yang sudah membuat hatimu hancur, pikiranmu kacau, dan dirimu sendiri lelah, maka kau takkan pernah harus merasa rugi. Itu adalah keberuntungan. Kemasi barangmu, ambil kopermu, pergi darinya, dan carilah seseorang yang jauh lebih paham caranya memperlakukanmu dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Pulang ke Rumah
عشوائيSebuah jalan yang menuntun kembali ke rumah yang kosong. p.s • Jalan Pulang ke Rumah ditulis pada 2021 • Cerita sudah tamat, chapter lengkap