Chapter 04: Pernah... Runtuh

41 10 0
                                    

Aku takkan pernah melupakan malam itu, malam dimana kita pertama kali bertemu. Malam itu, kamu baru saja melalui hari yang melelahkan ditambah terjebak dalam sebuah kemacetan. Di sisi lain, aku pun baru saja melalui hari yang berat. Tak hanya hari itu, mungkin berbulan-bulan penuh kulalui dengan kepala yang berat dan emosi yang tak stabil karena aku terlalu sibuk dengan rasa takut akan masa depanku.

Itu adalah patah hati pertamaku yang disebabkan bukan oleh laki-laki. Perguruan tinggi menolakku, masa depanku abu-abu, dan hal itu membuatku sangat sedih.

Kamu pasti ingat ketika malam itu kamu bertanya apa yang membuatku patah hati. Aku bilang bahwa penyebab patahnya hatiku ini bukan karena laki-laki. Kamu bisa menebaknya dengan baik malam itu.

Aku tak mau menjelaskan panjang lebar mengenai bagaimana aku sangat penasaran mengenai segala hal tentang dirimu malam itu, tapi yang pasti, aku sangat menikmati tiap detik yang kuhabiskan ketika berbicara denganmu. Meskipun kita tak membahas hal yang penting, aku sangat menghargaimu sebagai lawan bicaraku, malam itu. Aku benar-benar merasa senang aku bisa bertemu dan berkenalan denganmu. Senang sekali.

Semuanya menjadi berat karena perasaanku tak stabil. Aku sering marah dan egois karena isi kepalaku sedang penuh. Namun, kamu selalu mencoba mengerti akan hal itu. Padahal, pada malam kita pertama kali berbicara, kamu bilang kamu tak punya waktu untuk pacaran ala anak-anak. Kamu sudah dewasa dan kamu perlu seseorang yang serius.

Pernah satu kali, ada masalah di antara kita. Aku yang salah. Saat itu pun, aku berpikir, kamu tak seharusnya ada di masalah ini karena kamu tak seharusnya menuruti ego dari seorang anak perempuan delapan belas tahun yang keras kepala. Kamu bahkan sudah pernah bilang sebelumnya, bahwa kamu tak punya waktu untuk menjalin hubungan kekanakan seperti ini, tapi aku malah menyeretmu ke sesuatu yang ingin kamu hindari.

Aku bilang, lebih baik kamu pikirkan baik-baik, apakah kita harus melanjutkan hubungan ini atau tidak. Aku merasa tak enak padamu karena kamu harus menuruti sifat kekanakanku sedangkan pemikiranmu, usiamu, tak cocok lagi dengan hal semacam itu. Namun, kamu bertanya padaku mengenai kenapa aku merisaukan hal semacam itu jika memang kamu ingin dekat denganku. Kubilang, aku hanya tak ingin membuatmu menghabiskan waktu untuk menuruti sifat kekanakanku, tapi kamu bilang, kamu tak masalah akan hal itu.

Waktu itu, kamu adalah orang yang sabar. Aku tak ingin terus-terusan menuntutmu untuk sabar seperti itu dengan sifat anehku, tapi aku suka hal mengenaimu yang satu itu.

Saat itu, semuanya sangat berat. Kamu pun mengakui bahwa menjalin hubungan dengan orang yang memiliki usia jauh di bawahmu itu sangat berat. Kita berkali-kali saling marah hanya karena hal kecil yang dibesarkan. Aku pun waktu itu tak terlalu paham mengenai sifatmu yang sensitif dan cemburuan, sampai aku melakukan satu kebodohan yang menyakiti perasaanmu. Kamu berusaha untuk tak marah, tapi kamu tak pernah ahli dalam menyembunyikan sesuatu.

Akhirnya, dengan segala ego yang kupunya, aku mendorongmu untuk menjauh dariku. Bukan karena aku tak sayang padamu, aku memang orang bodoh yang menggampangkan segala sesuatu. Ketimbang membereskan masalah, dengan bodohnya aku justru memutuskan hubungan itu. Kamu pun menyetujui hal itu dan akhirnya kita hilang kontak, lalu berpisah.

Aku benar-benar merasa bersalah. Tak seharusnya aku seegois itu dan melempar kesalahanku kepadamu. Aku tak tau apa yang ada di pikiranku, tapi yang pasti, aku merindukanmu dan ingin kamu kembali padaku. Aku pun sempat berpikir, sepertinya, yang dikatakan Ben benar. Aku adalah perempuan dengan sifat buruk yang membuat laki-laki tak tahan dengan sifatku. Aku tak pernah pantas untuk dicintai.

Meskipun kita sering saling marah, tapi kamu juga seringkali menghiburku dan membuatku merasa amat disayangi. Terkadang, perasaanku yang tak stabil, pikiranku yang kacau, dan diriku yang lelah, seketika menghangat jika kamu ada di dekatku. Aku bersyukur, kamu datang di saat aku membutuhkan seseorang untuk menyalurkan kehangatan dan kasih sayangnya untukku.

Kehadiranmu benar-benar membuatku bahagia. Kehadiranmu sangat baik untuk kesehatan mentalku. Kamu adalah orang baik yang Tuhan berikan untukku ketika aku sedang runtuh. Mas Abi, terima kasih karena sudah datang padaku dan menyayangiku.

Jalan Pulang ke RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang