Us: Answer

53 17 17
                                    


Sepertinya aku akan mudah terbiasa untuk menyaksikan Kak Adnan yang duduk di depan pos satpam setiap kali pulang sekolah. Namun, kali ini dia tidak hanya sendirian, melainkan terdapat empat orang lainnya di sana. Orang-orang yang sama yang selalu bersama dia ketika datang ke kantin.

Aku mau menyapanya pun merasa sungkan, akhirnya kuputuskan untuk melengos pergi begitu saja. Namun, sebelum hal itu terjadi, Kak Adnan memanggilku duluan. Dirinya mengahampiriku, meninggalkan teman-temannya dengan kedua alis yang naik. Sedangkan, lelaki yang sekarang sudah berdiri tepat di depanku menyunggingkan senyumannya. Nampak bersinar seperti langit sore hari ini.

"Sepulang sekolah kosong, gak?" tanyanya sambil membenarkan letak tas di kedua pundaknya.

"Kosong."

"Sudah mulai lapar belum?" tanyanya, lagi.

"Belum sampai lapar keroncongan, sih, Kak. Kenapa?"

"Kebetulan, mau ikut aku? Kita bakalan makan mie ayam sore ini," ajaknya, "aku jamin mie ayamnya bakalan enak!"

Aku menyetujui ajakannya, lagi pula aku memiliki urusan yang harus dibahas dengannya.

Untuk sampai ke tujuan, informasi dari Kak Adnan, kita perlu memasuki pemukiman yang dekat dengan sekolah. Menyusuri beberapa blok dulu agar kami dapat makan mie ayam langganan anak-anak sekolah kami. Kami jalan berdampingan dan setiap langkah kami diisi oleh banyak kalimat dari setiap obrolan yang ada. Aku merasa nyaman dengannya dan Kak Adnan selalu memiliki topik yang dapat kami bahas.

"Mata Kakak, tuh, minus berapa?" tanyaku.

Selama beberapa kali pertemuan kami, aku selalu dibuat penasaran dengan ukuran lensa kacamatanya. Lihatlah ketebalannya, kadang aku dibuat ngeri.

"Terakhir kali diperiksa itu ada di minus tiga, untuk kedua lensanya," jawabnya. Jari tengah dan ibu jarinya membenarkan posisi kacamata yang sedikit berseluncur di hidung mancungnya.

"Cukup besar, ya."

Dalam beberapa langkah, kami sudah sampai di sebuah bangunan yang menyerupai sebuah rumah. Di depan rumah itu terdapat sebuah gerobak yang bertuliskan "BAKSO DAN MIE AYAM MAS KADIR". Ketika kami masuk, suasana di dalam sudah ramai. Saat kami memesan pun, banyak mangkuk berjajar di dalam gerobak.

Kami pun mencari tempat kosong di dalam dan menemukannya di dekat jendela yang terbuka. Netraku berpendar ke segala arah, memperhatikan tiap sudut dari rumah yang disulap sebagai tempat makan bakso dan mie ayam.

"Tempatnya nyaman, ya, Kak," pujiku pada tempat ini.

Kak Adnan yang sedang menuangkan teh hangat pada gelas pun tersenyum. Satu gelas yang lebih dulu terisi digeser ke arahku.

"Makasih."

"No biggie...."

"Aku baru tahu ada yang jual mie ayam di sini."

"Kurang jauh mainnya kamu," balasnya sambil tersenyum. Setiap kata yang dia ucapkan menghasilkan lesung di pipinya.

Tak lama, pesanan kami tiba di atas meja. Dua mangkuk mie ayam dengan pesanan Kak Adnan ditambah bakso-bakso kecil di dalamnya.

"Mangga, ditampi, A, Teh," ucap pelayan tersebut.

Kak Adnan menjawabnya dengan kedua ibu jari yang diacungkan, dari gerak-gerik keduanya, nampaknya terdapat kedekatan di antara mereka. Lelaki berkacamata di hadapanku menyerahkan sendok dan garpu setelah mengelapnya dengan tisu. Aku berterima kasih sembari menerimanya, selalu merasa tersentuh dengan manner yang dimilikinya.

"Kemarin Fisikanya apa kabar?" tanya kak Adnan saat kami sudah menghabiskan isi dari mangkuk di hadapan kami. Dirinya menuangkan kembali teh hangat dari teko yang disediakan di setiap meja.

Kertas Buram Penuh WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang