Di Depan Kantin

114 22 21
                                    


Juli 2016.

Kota yang masih asing bagiku, berbeda sekali dengan tempat asalku di Jakarta. Aku sendiri masih membiasakan diri di sini, beradaptasi dengan kebudayaannya yang berbeda, tetapi sebenarnya tidak begitu sulit. Para tetangga baru sangat ramah, saat kami memberikan kue sebagai perantara berkenalan, mereka menyambut kami dengan sangat baik. Jadi, tidak berat bagiku harus meninggalkan kota tempat di mana aku dibesarkan.

Tentu saja aku harus beradapatasi di sekolah yang baru dengan teman-teman baru juga. Sekarang, aku bersekolah di SMA negeri di daerah Nagrikaler, salah satu sekolah terdekat dari rumahku. Kenapa aku dipindahkan ke sini, ya? Walau tidak ada penyesalan yang berarti, selain karena jarak yang semakin jauh jika aku pulang sekolah, aku masih bertanya-tanya.

Teman sebangkuku adalah orang pertama yang aku kenal di sini. Tingginya sama denganku, wajahnya kecil, dan terdapat freckles di sekitar pipinya. Suaranya cempreng dan dirinya tidak bisa menahan diri untuk memelankan suaranya. Katanya, sih, karena sudah terbiasa di lingkungan rumahnya, membuatku penasaran bagaimana keadaan rumahnya hingga dia harus seperti ini.

Aku pikir, pindah saat kenaikan kelas sebelas akan membuatku canggung dan cukup kesulitan, tetapi nyatanya tidak. Selain Sekar (teman sebangkuku), teman sekelasku pun menerima diriku dengan baik. Tentu saja yang dekat hanya beberapa, tetapi bukan berarti aku diasingkan dengan yang lain. Teman-teman laki-laki juga sudah berani untuk mengobrol dan bercanda dan aku menikmati obrolan mereka yang sungguh random.

Meski aku masih sedih dan merindukan teman-temanku di Jakarta, tetapi aku bersyukur karena dipindahkan ke sekolah ini, ke kota ini, dan aku selalu berangan-angan, apakah kisah cintaku akan hadir di sini?

"Hana," panggil Sekar, membuyarkan lamunanku.

"Apa?" tanyaku.

"Kantin, yuk!" Sekar merangkul bahuku dan membawa diriku untuk keluar dari kelas.

Kelasku berada di paling pojok lantai 2—kelas 11 MIPA 4 dan aku sangat malas hanya untuk naik turun tangga ke kantin atau ruang KWU (kewirausahaan). Saking malasnya, terkadang aku selalu menggunakan jastip kepada teman-teman yang akan pergi ke salah satunya, meski aku harus mengeluarkan ongkos lagi untuk membayar jasa mereka. Namun, kali ini Sekar menarikku dan  tidak peduli dengan rengekanku karena tidak mau ikut. 

Kenapa sekarang dia begitu memaksa, ya? Apakah dia tidak merasa takut untuk melewati koridor sepanjang kelas sepuluh yang selalu ditongkrongi oleh pemilik kelas? Aku sampai tidak habis pikir kenapa mereka harus menutupi jalan dengan duduk lesehan di lantai, sangat mengganggu! Namun, Sekar bilang di sanalah ikatan pertemanan awal SMA terbentuk. Selain itu, bukan kami saja yang membeli makan di kantin, mungkin setengah dari siswa memenuhi kantin dan sisanya pergi ke ruang KWU.

Kantin di sekolah ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Tidak ada penjual bakso, soto, atau mie ayam. Kantin di sekolah ini dikelola oleh seorang guru, mungkin dibanding kantin, tempat ini lebih cocok dipanggil koperasi sekolah. Luas kantin yang hanya 3x2,5 meter dipenuhi oleh setengah penduduk sekolah, apa tidak buat sesak? 

Setengah dari kantin itu dibatasi oleh meja yang menghidangkan dagangan, ada nasi bungkus, kue-kue, dan gorengan. Di sisi kanan kantin, begitu masuk, para siswa sudah disambut dengan beraneka ragam snack yang dijual hanya dua ribu rupiah. Sayangnya, karena keadaan ini, pedagang kantin tidak dapat memantau tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab yang dengan seenaknya mengambil tanpa membayar. 

Jadi, aku biarkan saja Sekar yang berjuang desak-desakkan di dalam. Aku akan berdoa dari luar untuk keselamatannya. Terima kasih, Sekar, berkat pengorbananmu, aku tidak akan kelaparan siang ini. Aku tidak sendirian menunggu di sini, di depanku berdiri seorang siswa laki-laki—sepertinya kakak kelas—yang sejak tadi melirikku diam-diam.

Kertas Buram Penuh WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang