Menjenguknya

50 20 13
                                    



Apa yang kalian lakukan ketika tiba-tiba guru mengadakan rapat di tengah-tengah pembelajaran menjelang istirahat? Tidur, pergi ke kantin, atau nobar?

Aku dan Sekar memutuskan untuk pergi ke kantin, membeli minuman botol untuk menyegarkan dahaga di siang hari yang cukup gerah ini. Suasana di lapangan pun ramai, terdapat siswa laki-laki yang sedang bermain basket dengan banyak siswa yang lainnya menonton di sisi lapangan dan depan kelasnya masing-masing. Sekar mengajakku untuk menonton sebentar permainan tersebut sepulang dari kantin nanti.

Suara desisan keluar dari botol soda yang aku buka, meneguknya dan merasakan sengatan kecil di otakku karena berhasil melepaskan kehausan. Aku dan teman sebangkuku duduk di sebuah panggung di depan lapangan, panggung ini biasanya digunakan untuk acara-acara sekolah. Ada beberapa orang juga yang duduk di sini, salah duanya ada di belakang kami. Aku tidak bermaksud untuk menguping, tetapi dapat aku dengarkan dua orang perempuan di belakang ini sedang membicarakan seorang lelaki yang sedang bermain di lapangan.

"Wih, Deriq tuh Deriq!" sahut yang ada di belakangku menahan diri untuk tidak memekik ketika memanggil nama tersebut.

Aku tidak tahu siapa Deriq yang mereka maksud. Apa yang sedang men-dribble bola? Atau yang sedang melakukan blocking? Sepertinya Sekar juga tertarik dengan siapa yang mereka ini maksud, kepalanya bergerak ke sana kemari dengan punggung yang ditegapkan. Dia sudah seperti seekor meerkat.

Ketika salah satu di antara pemain berhasil melempar bola masuk ke dalam ring dari luar garis three point, semua orang bersorak merayakan kemenangannya. Tak terkecuali dua gadis di belakangku seraya menyebutkan nama yang mereka elu-elukan.

Oh, dia yang bernama Deriq itu.

Permainan bola basket itu dimenangkan oleh tim Deriq, semua orang membubarkan diri meninggalkan pertandingan yang menyenangkan tadi. Sekar dan aku juga memutuskan untuk kembali ke kelas karena jam istirahat akan segera datang dan waktu kami untuk makan siang akan tiba. Belum juga kaki kami melewati setengah lapangan, bola basket menggelinding menghentikan langkahku. Aku meraih dan mengangkatnya dan melihat seseorang berlari untuk mengambil bola basket ini.

"Maaf, ya, Kak," ucapnya agak kesusahan karena pernapasannya yang tidak teratur akibar permainan tadi.

"Oh, iya. Gak apa-apa, ini."

Aku menyerahkan bola basket itu kepada seseorang yang menjadi topik utama di lapangan. Deriq mengambil bola itu dari tanganku, lalu tersenyum dan berterima kasih. Dapat aku lihat beberapa perempuan yang berbisik melihat interaksi kami.

"... wow," sahut Sekar pelan setelah Deriq meninggalkan kami.

"Ikut terpana juga kamu?" tanyaku menggodanya.

"Siapa yang gak terpana lihat adik kelas sekece itu, Han?"

Aku mengedikkan bahu kiri nyaris menyentuh telingaku. "Aku biasa saja, tuh!"

Sekar menatapku dengan seringaian dan kedua alis yang naik. Telunjuknya hendak mencolek daguku yang bisa aku gagalkan niatnya.

"Yang bisa buat kamu terpana, ya, cuma Kak Adnan, kan?"

"Hah?!"

Kedua kaki ini segera meninggalkannya karena dibuat kesal. Sedangkan, Sekar tertawa melihat perilakuku yang dia cap sebagai perilaku salah tingkah.

Aku? Salah tingkah? Yang benar saja.


***

Aku menatap sebuah rumah berlantai dua di hadapanku. Tinggi rumah ini bahkan menghalangi terik mentari di sore hari. Pagarnya yang mengkilap membatasiku dari setiap penghuni yang ada di dalamnya. Di tangan kananku tergantung sebuah kresek putih dengan merek sebuah minimarket, di dalamnya terdapat dua macam buah potong dalam mangkuk plastik dan minuman sari kacang hijau. Sedangkan, di tangan satunya aku remas tangan Sekar yang sudah merintih pelan di sampingku.

Kertas Buram Penuh WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang