Pagi sekali, pukul 4 pagi Satrio sudah bangun dan berkemas, pesawatnya berangkat pukul 8 tapi ia akan butuh waktu setidaknya 1 jam untuk mencapai bandara dan sudah harus di sana 90 menit untuk check in. Belum lagi pemeriksaan paspor dan visa, akan sangat memakan waktu, makanya ia bangun pagi sekali untuk berkemas.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya dan Satrio mempersilakan masuk masih sibuk dengan koper dan barang-barang lainnya yang butuh dipersiapkan. Maminya membuka pintu dan bersandar pada daun pintu demi mengamati anak bujangnya yang sudah akan berangkat lagi ke negeri yang mau meninggalkan kedua orang tuanya.
"Kamu janji ya abis ini sering pulang. Jangan kayak orang ga punya rumah gitu sampai ga pulang 6 tahun. Kamu ngejar apaan sih di sana, kalau mau cariin mami mantu mami maunya orang Indonesia, mami ga bisa bahasa Inggris apalagi wasweswos bahasa sana kayak kamu, nanti ga bisa ngomong sama mantu." Satrio terkekeh mendengar omelan maminya.
"Tahun depan janji balik deh. Tenang aja mami ga usah khawatir." Satrio tersenyum ke arah maminya sambil menutup retsleting kopernya.
"Kamu ga bisa resign aja terus pindah kerja ke Indo apa? Kenapa harus jauh dari mami papi sih?" Satrio lagi-lagi tersenyum, paham sekali ia perasaan maminya. Sebab, selama 6 tahun menghilang ia juga rindu keluarganya. Rasanya cutinya beberapa minggu ini belum cukup, tapi ia juga lelah harus mengangkat panggilan Levi setiap harinya memohon ia kembali karena beban pekerjaan temannya itu semakin menumpuk sejak Satrio cuti.
"Mami mau mantu yang kayak gimana? Nanti aku coba cariin." Satrio masih dengan senyumnya bertanya, pertanyaan basa-basi tentu saja. Bukan sesuatu yang akan ia seriusi.
"Mami cuman mau mantu yang bisa bikin kamu bahagia dan ngelupain Ala sepenuhnya, Iyo." Satrio yang sedang mengemas backpack yang akan dibawanya terhenti dari kegiatan, menoleh ke arah maminya yang memandang padanya sendu.
"Mam--"
"Kamu ga cerita pun, mami tau. Kamu kan anak mami, dari sebelum lahir udah sama mami. Mami mengerti." Satrio tergeragap, tidak menyangka akan hal ini. Ia bingung harus menjawab apa, tapi kemudian mulutnya terkatup, tak ada suara yang keluar, menyerah mencari alasan atau pun sanggahan.
"Lepasin ya, nak. Memang bukan jodohnya, tapi Mami yakin Tuhan bakal ngasih kamu yang lebih baik sebagai gantinya." Maminya melangkah mendekat, mengusap lengan Satrio penuh sayang dan lembut.
"Berhenti mengusahakan kebahagiaan buat orang lain, Satrio. Waktunya kamu meluangkan waktu buat dirimu." Maminya melanjutkan, semakin membuat Satrio tertegun. Bunyi bel pintu rumah Satrio sukses mengalihkan perhatian ibu dan anak itu.
"Zeta udah nyampe kayaknya. Aku ke bawah dulu bukain pintu." Satrio mencoba kabur dari situasi aneh itu, tapi bahkan sebelum ia melewati pintu ia bisa mendengar maminya dengan nadi jahil berkata, "kalau kamu sama Zeta, sebelum kamu minta mami bakal ngasih restu, lho." Satrio menggeleng-gelengkan kepala dengan sebuah senyum samar di wajah mendengar kelakar sang bunda.
****
"Lo ke sini naik apa?" Satrio melirik ke arah luar yang masih gelap gulita, tidak ada satu pun kendaraan di jalan depan rumahnya yang lewat. Ia jadi bertanya-tanya dengan apa Zeta berangkat ke rumahnya.
"Grab."
"Elka mana? Kenapa ga suruh dia nganter aja?" Elka itu adiknya Zeta, terpaut 2 tahun dengan wanita itu.
"Gue kabur dari rumah, kalau minta antar bukan kabur dong namanya?" Zeta menjawab santai. Satu tangannya mendorong koper ukuran besar sementara sebuah tas tangan tersandang di bahunya. Satrio mengerutkan dahi bingung.
"Lo ga ngomong sama bonyok lo mau ke Swiss bareng gue?"
"Ga bilang, bonyok gue kan kepoan, kalau gue bilang liburan yang ada mereka curiga kenapa gue mendadak pengen liburan. Gapapa, kalau udah di sana aja ntar gue kabarin ke rumah." Satrio memijat pelipisnya, pening. Zeta dan kenekatannya kadang-kadang bisa bikin sakit kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Broken Hearts
FanfictionSiapa bilang di nikahan isinya hanya orang-orang yang berbahagia?