Seminggu sejak Satrio menerima undangan virtual dari Ala dan tak ada satu hari pun yang bisa ia lewati dengan tidur yang cukup. Setiap hari ia akan berbaring di kasurnya yang berukuran full size di sebuah unit apartemen miliknya di pinggiran kota Vienna, memutar tubuh sesekali ke kiri dan kanan untuk menemukan posisi ternyaman untuk terlelap, tapi mata dan kepalanya menolak untuk berhenti bekerja barang beberapa saat. Pikirannya jauh berkelana pada seseorang yang jaraknya ribuan kilometer jauhnya, Ala.
Bohong kalau Satrio bilang ia tidak terpengaruh oleh berita itu. Buktinya ia bahkan tidak tenang memejamkan mata di malam hari selama seminggu ini dan berdampak pada seberapa besar kantung mata yang bergelayut muram di wajahnya. Dan bahkan jikalau pria itu dapat terlelap barang beberapa waktu karena tubuhnya yang kelelahan dipaksa bekerja lebih ekstra dari biasanya, dalam mimpi pun ia masih dihantui sosok puan yang menjadi sumber semua rasa resah dan gelisahnya. Juga kegalauan yang melanda. Siapa lagi kalau bukan Ala.
Alana Tasha Jauhari. Sebuah nama yang terdiri dari 3 kata yang sudah Satrio hafal tanpa berpikir sejak setidaknya 1 dekade lamanya. Dalam angan-angan terjauhnya, ia berharap bisa mengganti nama Jauhari di belakang nama Ala dengan Gandaru, nama belakang miliknya. Coba bayangkan, Alana Tasha Gandaru. Terdengar keren, bukan? Tapi tentu saja, sekarang itu hanya tinggal angan-angan belaka.
Satrio melirik pada jam dinding di kamarnya. Pukul 3 pagi, itu berarti sekarang di tempat Ala berada kini tengah pukul 9. Satrio menyambar ponsel yang ia taruh di bawah bantal dan membuka sebuah aplikasi chat. Tanpa ragu ia menyentuh layar pada foto profil milik Ala, memandanginya beberapa saat.
Cantik dan manis. Dua kata yang tepat untuk mendeskripsikan seperti apa sosok Ala di mata Satrio. Dan juga salah satu dari ribuan alasan mengapa pria itu jatuh hati pada Ala. Menjadi seorang pengagum jarak jauh bersamaan dengan puluhan pria lainnya yang menyukai gadis itu. Hanya saja, pria beruntung yang berakhir di pelaminan dengan Ala bukan dirinya. Sangat disayangkan. Tak ada siapapun yang bisa disalahkan atas hal tersebut selain dirinya. Dirinya yang terlalu pengecut bahkan untuk mengungkapkan perasaannya.
Tanpa pikir panjang, Satrio memutuskan menelfon seseorang.
"Hure! Was brauscht du, Satrio. It's 3 in the morning!" Seseorang di seberang sana mengerang dan mengumpat dalam bahasa Jerman, jelas tak senang dengan panggilan terlalu pagi yang diinisiasi oleh Satrio.
"Es tut mir Leid, Lev. I know it's too early. But I need you to book me a flight to Jakarta for today. Can you do that?" Satrio bisa mendengar grasak-grusuk dari seberang sana, sebelum ia kembali mendengar Levi bersuara.
"Du bist verrückt. What is it about? Something happens at home? Emergency things?" Satrio menggeleng tapi buru-buru menjawab karena teringat Levi di seberang sana tentunya tak bisa melihatnya.
"Nein, nein. I have to attend a wedding."
"You really can't wait 5 more hours before calling me to book you a flight, don't you?" Satrio bisa mendengar sarkasme dari suara milik Levi yang aksen Austria-nya terdengar kental.
"Sorry, I have something else to do before attending that wedding. Need to go home asap."
"Alright, wait let me check." Hening sesaat dari seberang sana hanya ada suara-suara benda bergesekan, lalu sesuatu yang terdengar seperti bunyi mouse yang tengah diklik beberapa kali sebelum Levi kembali buka suara.
"I can't find first class flight for today. Is business class okay with you?" Satrio menggumam mengiyakan.
"Alright, done. Emirates at 5 pm. Hand me your passport later. You need anything else?"
"No, I'm good. Thanks."
"Yeah, please do me a favour, next time you need something, call me at appropriate time." Satrio terkekeh mendengar gerutuan Levi, sekali lagi mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf sebelum ia memutuskan sambungan telepon dan membiarkan kawannya yang malang itu melanjutkan tidurnya sebelum ia sendiri bangkit dari tempat tidur dan menyiapkan bawaan untuk penerbangannya nanti sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Broken Hearts
Fiksi PenggemarSiapa bilang di nikahan isinya hanya orang-orang yang berbahagia?