Biru Pastel

212 14 9
                                    

Zeta memandangi selembar undangan berwarna biru pastel di depannya termenung. Telunjuknya menyusur pada nama calon pengantin yang dicetak timbul dengan tinta warna emas dan huruf bersambung. Pikirannya melayang pada kejadian tadi sore saat Ala dan Kean duduk berdampingan di hadapan Zeta sambil tersenyum dan menyerahkan amplop berwarna senada dengan undangan yang telah dibukanya. Ia tidak punya pikiran kalau pada pertemuan itu ia akan menerima kabar pernikahan kedua sahabatnya. Ia pikir, ini hanya pertemuan biasa seperti pertemuan-pertemuan mereka yang lainnya sebelum ini.

"Ze, kita mau ngasih tau lo sesuatu." Zeta masih ingat betapa ia menatap kedua pasangan kekasih itu dengan raut bingung. Lalu Ala meraih sesuatu dari dalam tas tangannya. Amplop.  Dan kemudian mengangsurkan amplop itu ke arah Zeta. Zeta masih dengan kebingungan meraih amplop yang disodorkan dan membuka isinya demi menemukan sebuah undangan dengan nama Ala dan Kean tertera di sana sebagai calon pengantin. Matanya kemudian dengan cepat kembali menatap Ala dan Kean yang kini tengah tersenyum, duduk bersisian dengan lengan mereka yang saling bersentuhan. Lalu menatap amplop lagi dan lalu kedua pasangan itu, begitu beberapa kali sebelum Zeta menutup mulut tanda tak percaya.

Untuk sesaat tak ada suara atau pun kata yang terucap dari kedua bilah bibirnya. Ada yang lebih dulu bereaksi sebelum mulutnya mampu mengucapkan sesuatu. Ada sesuatu yang retak dan pecah jauh di dalam dirinya. Sesuatu yang ia kira sudah lama rusak dan hancur tapi ternyata masih bisa lebih hancur.

"Zee? You okay?" Itu Ala yang buka suara, keningnya kini berkerut khawatir. Tapi kemudian Zeta mencoba tersenyum dan tertawa.

"I-I'm okay. Kaget banget anjir kalian udah mau nikah. Ini serius?!?!!!" Zeta mencoba terlihat senang walau ya Tuhan ternyata susah sekali berpura-pura saat hatimu pecah berkeping.

"Gue ikut senang aaaaa, congrats ya guys! Asli kalau kalian butuh bantuan apa pun, gue siap bantu!" Shit. Zeta kini tertawa miris mengingat betapa hipokritnya ia beberapa saat lalu.

Sekarang, saat Ala dan Kean tidak ada, ia baru bisa merasakan perih yang sedari tadi ditahannya. Seolah hatinya tengah terluka dan darahnya merembes melalui setiap inchi pori-pori di kulitnya, sempurna menyelimutinya dengan rasa sakit dan sedih yang memaksanya untuk mengeluarkan air mata. Tapi nyatanya ia bahkan tidak menangis. Ia sudah banyak kehilangan air mata untuk Kean, dan mungkin kelenjar-kelenjar air matanya pun sudah letih harus bekerja ekstra untuk sekali lagi.

25 Oktober. Sebulan menuju tanggal pernikahan Ala dan Kean. Dalam sebulan itu mustahil ia bisa membuat Kean jatuh cinta padanya dan meninggalkan Ala. Katakan ia jahat dan berengsek kalau ia menginginkan pernikahan Ala dan Kean tidak pernah terjadi. Biar saja, setelah sekian lama menjadi orang baik ternyata Zeta masih saja tidak bisa menipu diri sendiri kalau ia menginginkan Kean. Lebih tepatnya berharap pria itu meliriknya setidaknya sekali saja.

Zeta mengusap wajah gusar sembari menghembuskan napas kasar. Bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Zeta awalnya hanya menatap benda persegi panjang itu sebelum akhirnya meraihnya karena bunyi notifikasi yang beruntun dan kemudian membaca sebuah pesan dari grup chat yang berisikan dirinya, Ala, Kean, Satrio, Sachi, dan Nalar.

Tidak perlu menebak untuk tahu kehebohan apa yang sedang terjadi. Teman-temannya kini sibuk membahas pernikahan Ala dan Kean yang jaraknya sebulan lagi. Ucapan selamat dan juga pembahasan lain seputar pakaian atau pun kado. Zeta tak ambil pusing. Ia mungkin akan membaca pesan-pesan itu nanti, tidak sekarang. Ia butuh beberapa saat untuk menata kembali kepingan hatinya yang berserakan sebelum memasang perasaan palsu dan kembali menipu diri.

Tapi seolah tidak membiarkannya melakukan hal tersebut ponselnya berdering, kali ini sebuah panggilan telepon. Zeta mengintip nama penelfon dan dengan ogah-ogahan mengangkat panggilan tersebut.

2 Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang