Jingga Gandaru

69 11 4
                                    

"Kenapa sih lo keukeuh banget pengen gue ga aborsi?" Di suatu malam di Vienna, di unit apartemen milik Satrio, Zeta yang sedang mengunyah jeruk bertanya. Sementara di sampingnya, Satrio yang baru saja selesai mandi setelah pulang dari kantor membantunya mengupas kulit jeruk dengan wajah terpaku pada pertanding bola di televisi.

"Gue takut lo nyesal aja sih, Zee. Lagipula, keputusan lo diambil tanpa melibatkan Kean, kan? Kalau dia tau, dia bakal kecewa ga sih?" Zeta mendengus saat mendengar nama lelaki itu disebut.

"Kean tau kok." Seketika fokus Satrio yang sedari hanya dibagi dengan televisi beralih menyorot Zeta, rautnya tampak penuh rasa ingin tahu.

"Lo udah ngasih tau, Kean?" Zee lelah menghindari pertanyaan tersebut, jadi ia sambil lalu menjawab dengan, "ya, gitulah." Jawaban yang ambigu. Sejujurnya saja, antara kau dan aku, gadis itu tak pernah benar-benar memberitahu Kean. Tapi percakapan via chat kala itu setidaknya sudah ia anggap sebagai pernyataan sikap dan jawaban atas pertanyaan yang tak pernah ia tanyakan secara langsung.

Satrio menatap sambil mengernyit, agaknya mungkin curiga pada puan tersebut, "jadi jawabannya?"

"Ya, ini jawabannya, Satrio. Gugurin kandungan gue."

"Beneran Kean ngomong gitu? Lo ga lagi bohongin gue kan, Zee?" Satrio mengernyit curiga, dan Zeta berusaha mati-matian meyakinkan pria itu dengan ekspresi wajahnya. Satrio mengalah, menghela napas. Sedikit kecewa dan menyayangkan pilihan keputusan Kean.

"Tapi situasinya sekarang beda, Zee? Lo udah ngasih tau perkembangannya ke Kean?" Zeta diam, enggan menjawab. Dibiarkannya Satrio berasumsi sendiri dengan pikirannya.

"Ga mau lo pertimbangin ulang? Tawaran gue yang kemarin masih berlaku lho, Zee." Satrio menyerahkan jeruk yang sudah dikupas pada Zeta, gadis itu memakannya satu per satu, terdiam agak lama memikirkan pertanyaan Satrio.

"Tawaran lo ga imbang, Yo." Zeta menjawab gamblang, sesekali mulutnya sibuk mengunyah.

"Maksudnya?" Satrio sudah mulai sibuk mengupas sebuah jeruk lagi, telinganya awas menyimak.

"Gue dapet benefit kalau nikah sama lo, nutupin rahasia gue. Kalau lo nikah sama gue, benefit yang lo dapat apa? Yang ada lo jadi nambah beban ga sih? Nafkahin gue sama anak gue, udah ga bisa main-main kayak pas lajang. Lo ga mikir ke sana? Gue ogah jadi beban lo seumur hidup. Itu hutang yang ga bakal bisa gue bayar. So, I pass it."

"Tapi ini kesempatan terakhir lo buat punya anak, Zee..." Suara Satrio melemah di ujung kalimat, dan demi itu Zeta tersenyum mencoba menenangkan dan memperlihatkan ia baik-baik saja.

"Siapa bilang?"

"Jelas--"

"Gue ga harus melahirkan buat punya anak kan, Yo? Ada yang namanya surrogate mother, atau gue bisa adopsi sekalian. Ga usah dibikin rumit mikirnya." Zeta mengibas kedua tangannya yang ditempeli serat-serat jeruk.

"Udah, gue ngantuk. Tidur duluan. Lo jangan kemalaman tidurnya, besok pagi ngantor, kan?" Zeta berlalu meninggalkan Satrio yang isi kepalanya masih berperang sibuk dengan segala sesuatunya.

***

Makam kecil tanpa nama di hadapan mereka mengundang sendu bagi para pelayat yang hanya terdiri dari tiga orang itu. Zeta, Satrio, dan Levi berdiri dalam balutan pakaian hitam menatapi nisan yang ukurannya terbilang kecil dibandingkan nisan-nisan lain yang ada di pemakaman tersebut. Angin musim dingin yang mulai menggantikan musim gugur terasa lebih dingin dan menusuk-nusuk tulang hari ini. Tidak ada yang bicara, ketiga orang dewasa itu hanya berdiri diam seperti patung sebelum Levi yang lebih dulu bergerak, menepuk pundak Satrio dan mengangguk samar lalu berjalan menjauh dari sana. Memberikan ruang dan waktu untuk kedua warga Indonesia itu berkabung.

2 Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang