The Truth Comes Out

66 12 8
                                    

"Kak?" Elka memasuki kamar yang ditempati Zeta sementara si pemilik kamar tampak tengah berbaring memunggungi pintu. Entah apakah dia sedang terlelap atau tidak. Tapi Elka yakin kakaknya tidak sedang tidur. Jadi tanpa menunggu persetujuan, puan itu masuk dan duduk di tepian kasur. Tangannya menyentuh pinggang sang kakak, berharap mendapat respon.

"Kak? Turun, lo belum makan dari kemarin malam. Mama khawatir." Zeta tak bergeming. Ia masih dalam posisinya. Elka menghela napas melihat kondisi kakaknya tersebut.

"Kak? Lo kenapa? Mau cerita? Lo aneh sejak pulang liburan." Sejujurnya, Zeta tak tahu jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Atau sebenarnya, bagaimana. Ia ingin bercerita, tentu saja selain pada Satrio. Ia ingin seseorang di keluarganya tahu hal apa yang memberatkan pikirannya beberapa minggu belakangan ini. Satu-satunya yang mungkin ia bisa bagi rahasianya di dalam rumah ini hanya Elka yang jarak usianya hanya beda dua tahun dengan Zeta dan yang pasti tidak akan membocorkan ini pada mama papanya. Hanya saja, ia tak tahu caranya. Jadi menjawab pertanyaan itu, ia menggeleng lemah.

"Kak. Ayo turun, lo butuh makan kalau ga mau mati membusuk dan jadi mayat di sini." Elka mengerti, kakaknya tidak butuh dipaksa untuk memberitahukan rahasianya. Ia akan berbicara ketika siap, dan mungkin sekarang kakaknya belum siap.

"Di bawah ada kak Kean sama kak Ala mampir. Lo mau turun atau mereka aja gue suruh naik?" Demi mendengar kedua nama orang yang paling ia hindari itu, Zeta meringkuk. Merapatkan tubuh, mencoba menghalau gelisah yang kembali muncul. Kali ini ia akhirnya menoleh dan menatap Elka seakan memohon.

"Gue lagi ga enak badan, Ka. Bilang aja gue lagi istirahat dan ga mau ketemu siapa-siapa." Elka mengernyit, tapi hanya sesaat sebelum menganggukkan kepalanya mengerti.

"Apa pun masalah lo sama mereka, cepat atau lambat lo harus ketemu sih, kak. Selesaiin masalah lo, jangan kabur kayak anak kecil. Lo udah mau kepala tiga kalau lo lupa. Udah ga jamannya berantem gaya anak abg begitu." Elka keluar dari ruangan Zeta, menutup pintu di belakangnya. Zeta merapatkan selimut menutupi tubuhnya. Lagi-lagi ia merasakan sakit yang aneh di ulu hatinya. Sesuatu yang ia sendiri sulit untuk jelaskan.

Ponselnya berdenting, dengan malas tangannya meraih demi mendapati sebuah pesan dari Ala.

Ponselnya berdenting, dengan malas tangannya meraih demi mendapati sebuah pesan dari Ala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dan untuk yang kesekian kalinya dalam sebulan terakhir, Zeta kembali menangis. Tangisan tertahan yang sudah menjadi keahliannya beberapa waktu ini.

****
Menilik kembali semua hal yang terjadi selama beberapa minggu ini, Zeta mencoba mencari-cari dimana letak 'turning point' yang membuat hidup dan perasaannya kacau dan pikirannya hampir gila. Dan konklusinya kembali ke malam pesta lajang Kean diadakan. Seandainya saja ia tidak mengiyakan untuk datang dan mengantarkan Kean pulang, atau seandainya ia tidak mengakui perasaannya saat ia pikir Kean sedang terlelap karena teler, atau seandainya ia segera pulang setelah mengantarkan pria itu sampai depan pintu apartemennya tanpa perlu repot-repot mengurusi laki-laki mabuk itu. Atau mungkin bila ia tidak terbawa perasaan dan menolak atau mungkin menampar Kean saat bibir lembut pria itu menyentuh bibirnya dan mereka terlibat pergumulan yang hanya bertahan semalam, tentu semua kesedihan dan sakit yang ia rasakan ini tidak akan terjadi. Tapi apa gunanya sih berandai-andai seperti ini, toh waktu tidak dapat diputar kembali dan semua hal yang sudah terjadi hanya bisa ia sesali.

2 Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang