Her Karma

60 12 7
                                    

Sudah seminggu Zeta kabur dari Indonesia dan menetap di apartemen milik Satrio, ribuan kilometer jaraknya dari rumah. Seminggu pula ia memutus kontak dengan orang-orang terdekatnya. Pada hari keberangkatannya, ia sempat mengirim pesan singkat pada sang ibu yang berisikan kalau ia sengaja pergi dari rumah dan tidak ingin dicari untuk beberapa waktu. Ia tidak menjelaskan alasan pastinya, tapi itu pun cukup untuk membuat semua orang mencoba mencari dimana keberadaannya saat ini. Gadis itu bahkan sengaja menonaktifkan nomor Indonesianya agar ia tak bisa dihubungi. Kabar-kabar terkini dari seminggu terakhir ia dapatkan dari Satrio yang tanpa diminta terus-menerus memberikannya update.

Baru hari ini, setelah seminggu lamanya ia mengaktifkan kembali nomornya dan sungguh ia segera menyesali keputusan itu saat ia membaca nama kontak pengirim pesan paling atas pada aplikasi WhatsApp-nya. Kean.

Perutnya melilit mual membaca pesan itu, dan ada rasa seperti ditonjok di ulu hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perutnya melilit mual membaca pesan itu, dan ada rasa seperti ditonjok di ulu hati. Zeta terdiam di tempat. Ia keluar dari room chat, tidak berniat untuk membalas pesan Kean. Di bawahnya kemudian ada pesan dari mama, papa, Elka, dan teman-temannya yang lain. Tak ada satu pun yang ia balas kecuali pesan untuk ibunya yang berisikan kabar terkininya dan berharap keluarganya tak perlu mengkhawatirkannya.

"Zee, lo ga mau balik aja? Orang-orang pada nyariin lo. Kalau mau aborsi lo ga perlu jauh-jauh ke Vienna, Zee. Di Indo juga banyak." Satrio yang sedang berada di dapur sedikit berteriak pada Zeta yang sedang berbaring di kasurnya di kamar tamu, gadis itu bahkan tak merasa perlu menjawab. Tapi Satrio tahu Zeta mendengarkan.

"Lo tau gue ga bisa bohong. Dan bohongin orang-orang tentang keberadaan lo benar-benar bikin gue ga enak sama semuanya." Satrio kembali berteriak dari arah dapur, terdengar seperti ia sedang mengunyah sesuatu.

"Lo ga bohong, lo cuman ga bilang kalau lo tau gue dimana." Zeta balas berteriak, tangannya asik men-scroll sosial media.

"Sama aja!" Terdengar Satrio yang agaknya sedikit kesal.

"Klinik yang bisa ngelayanin aborsinya belum nemu? Makin cepat urusan gue kelar, makin cepat lo bebas dari gue." Zeta beranjak dari kasur, berjalan ke dapur ke tempat Satrio kini tengah berdiam sambil menyantap semangkuk sereal. Gadis itu ikut duduk pada salah satu kursi yang tersedia.

"Like I said, it will take time. Klinik aborsi mah banyak, dimana-mana ada. Masalahnya lo warga negara asing, ga punya insurance apalagi stay permit, ribet ngurusnya tau ga?" Satrio mendengus, kembali menyendokkan sereal ke dalam mulut setelah menelan yang sebelumnya.

"Butuh berapa lama?"

"I'll make it quick. Tenang aja." Zeta mengambil sendok dan menyendok sereal dari mangkuk Satrio, pria itu mendelik kesal padanya.

"Bikin sendiri sana!"

"Pelit, gue minta dikit doang."

"Ya bikin sendiri apa susahnya sih?"

"Ga bakal habis, gue paling cuman bisa makan 3-4 sendok doang sebelum mual-mual lagi." Satrio berhenti makan, menyodorkan mangkuknya ke arah Zeta yang disambut gadis itu dengan riang. Ditatapinya Zeta yang makan dengan pelan-pelan dan hati-hati agar tidak mual itu dengan pandangan intens. Bukan, bukan karena ia jatuh cinta atau alasan romantis lainnya, tapi karena ia ingin bertanya tapi ragu mengutarakan.

2 Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang