34. Melepaskan

417 47 8
                                    

Happy reading^^

.
.
.

Langit-langit ruangan itu putih bersih. Arabella menggeleng, tempat ini bukan kamarnya. Sekelebat ingatan kembali memenuhi kepalanya. Bagaimana keadaan Aaron? Terakhir kali saat itu ia menjerit berusaha membangunkan Aaron yang bersimbah darah di pangkuannya. Lalu semuanya gelap, Arabella tidak ingat apa-apa lagi.

Arabella mencoba bangkit, namun tubuhnya berkata lain. Bagian bahu kirinya terasa sakit saat digerakkan. Arabella meringis, ini bukan waktunya memikirkan diri sendiri. Ia harus bertemu Aaron, memastikan adiknya itu baik-baik saja.

Ayah yang baru saja datang segera menghampiri Arabella, mendekap putrinya itu agar kembali tenang.

"Ara jangan gerak dulu, bahunya pasti masih sakit kan?" Ucap ayah berusaha mencegah Arabella turun dari ranjang rumah sakit.

Arabella menggeleng keras," Aro mana ayah? Ara mau liat Aro! Aro luka, darahnya banyak banget. Bawa Ara ketemu Aro, ayah!"

Dengan susah payah ayah berusaha menenangkan Arabella yang mulai menangis histeris. Dipeluknya erat tubuh lemas Arabella, membisikkan kalimat-kalimat penenang.

"Ara mau ketemu Aro, ayah. Ara harus mastiin Aro baik-baik aja. Ara mohon ayah..."

Lambat laun pergerakan Arabella melemah. Anak itu terkulai di pelukan ayah sambil terisak hebat. Ayah mengelus pelan punggung putrinya, menghela napas panjang. Matanya terlihat berkaca-kaca, menyiratkan kesedihan yang mendalam.

"Sekarang Ara tenang dulu. Nanti ayah jelasin semuanya." Bisik ayah pelan disela-sela isakan Arabella.

***

"... Aro didiagnosa mati otak kemarin. Sejak tiga hari yang lalu keadaannya buruk. Saat dibawa ke rumah sakit, Aro mengalami pendarahan hebat di kepala dan semakin buruk karena hemofilianya. Waktu yang tersisa tinggal tiga hari lagi, kalo kondisi Aro sama sekali tidak membaik, dokter sepakat ngelepas semua alat penunjang hidup Aro. Dokter minta sama ayah buat bersiap-siap. Jika hari itu tiba kita harus merelakan Aro..."

Semua penjelasan ayah terdengar bagai angin lalu di telinga Arabella. Langkah kakinya terasa begitu berat untuk menghampiri sosok yang tengah tertidur dengan damai dipenuhi alat-alat medis. Arabella menyangkal semuanya, Aaron hanya tertidur dan akan kembali bangun seperti biasa. Adiknya tidak akan pergi kemana-mana.

Airmata Arabella kembali berjatuhan, menatap wajah Aaron yang memar di berbagai sisi tanpa berkedip. Buruk sekali keadaan kembarannya itu, alat-alat medis terpasang di sana-sini dan yang paling menganggu adalah ventilator di mulut Aaron. Wajah tampan adiknya jadi tertutupi. Bukankah malam itu Aaron baru saja meminta maskernya untuk perawatan agar terlihat lebih tampan di depan Naylazaara nanti. Kalau seperti ini, bagaimana Aaron bisa menemui Naylazaara.

Arabella menggenggam tangan kanan Aaron, menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun. Arabella bahkan tidak tahu harus berkata apa, ini semua salahnya. Ia gagal menjadi kakak yang baik, selalu saja Aaron yang melindunginya.

"Waktu kita umur tujuh tahun, pas lo jatuh dari tangga. Gue ngerasa bersalah, karena harusnya yang jatuh itu gue bukan lo. Saat itu lo tanpa pikir panjang malah nolongin gue, padahal lo tau konsekuensinya lo bisa aja jatuh. Itu pertama kali lo berhadapan dengan maut gara-gara gue. Seketika gue benci sama diri gue sendiri. Harusnya gue yang ngelindungin elo, bukan sebaliknya. Gue jahat, gue kakak yang buruk."

"Sekarang lagi-lagi lo celaka gara-gara gue. Maafin gue, lo boleh hukum gue nantinya asal jangan pergi. Gue... gue gak bisa bayangin hidup tanpa lo. Lo bagian dari diri gue, Ro. Gue bakal benci diri gue sendiri seumur hidup kalo sampe lo pergi. Cukup bunda yang tinggalin keluarga kita. Sekali lagi, kasih gue kesempatan buat nepatin janji untuk selalu sama lo."

When the Roses Fade ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang