Bang Raka (2)

2.1K 151 3
                                    


" Sepuluh menit lagi belum kelar, Abang sama ayah berangkat duluan "

" Iya iya bentaaar Abang "
Kali ini narendra benar benar berlari saat nada bicara taraka sudah mencapai nada tertinggi, dan benar saja taraka sudah berkacak pinggang di depan pintu mobil lengkap dengan tatapan mautnya.

" Ka, udah masuk. Liat tuh si adek jadi takut liat muka galak lu " ejek Galendra saat melihat narendra yang mematung lima langkah di hadapan kembarannya itu. Galendra tahu persis bagaimana perasaan sang adik, ia tahu betapa mengerikannya taraka mode maung.

" Pake sabuk pengaman nya, tas nya sini taruh belakang aja "
Narendra tersenyum lebar kepada kakak keduanya itu, berbeda dengan saudara kembarnya nampaknya galendra sedang bersuasana hati baik kali ini. Apalagi jika dilihat bagaimana tindakan nya yang dengan sigap memasangkan sabuk pengaman untuk si bungsu.

" Boys, transferan ayah dua hari yang lalu masih ada? "

Hari ini Joan menumpang mobil yang biasa di gunakan anak anak ke sekolah karna mobilnya sendiri sedang di servis. Membuat narendra, galendra serta taraka mau tidak mau berdesak desakan duduk di kursi penumpang dibagian tengah, karna narendra bersikeras tak mau duduk di belakang sendirian.

" Masih ada yah "

" Punya adek bulan lalu juga masih ada yah "

" Ya itu karna kamu morotin abang terus "

" Ya itu gunanya jadi anak bungsu " taraka memutar bola matanya malas meladeni sibungsu yang jika di turuti akan berbuntut panjang.

Setelah melewati keheningan panjang karna narendra yang tadinya ingin memperpanjang amarah taraka namun mulai terkecoh dengan pemandangan luar dan sibuk memotret hal yang menurutnya indah. Namun itu tak berselang lama saat ia mulai menyadari taraka yang tak melepaskan pandangannya dari setumpuk kertas.

" Belajar mulu " ucap narendra saat melihat taraka yang sedari tadi sibuk membolak-balik kertas dihadapan nya, yang narendra yakini adalah uji soal untuk olimpiade matematika sang kakak.

Tubuhnya membeku saat taraka Lagi dan lagi menatap tajam kearah nya, entah apa yang membuat narendra berani untuk menutup kertas kertas yang sedari tadi menyibukkan kakak sulungnya.

" Tu...tutup dulu abang "
Galendra yang melihat kejadian itu turut bergidik ngeri saat melihat tatapan saudara kembarnya.

" Kalo liat soal di mobil kan goyang goyang ntar Abang pusing terus kalo pusing entar abang sakit entar kalo Abang sakit... "

Kata katanya terhenti saat menyadari tak ada respon yang keluar dari taraka, jujur saja narendra lebih memilih di omeli habis habisan dari pada di tatap setajam itu, apalagi taraka memang bawaannya marah marah sejak di meja makan semalam.

" Udah sampai boys "
Kali ini sepertinya narendra benar benar harus bersujud syukur berterima kasih kepada sang ayah yang membuyarkan amarah taraka dan membuatnya bergegas keluar dari mobil karna bel masuk hampir berbunyi.

" Ayahanda terima kasih atas belas kasih mu.. huhuhu "
Joan yang tak mengerti dengan tingkah laku anak bungsunya berusaha menemukan jawaban dengan melirik ke arah anak nomer duanya yang sibuk memegangi perutnya yang keram akibat tertawa terbahak-bahak melihat tingkah sang adik.

" Ada apa sih ini " tanya nya heran.

" Gak papa ayah, Abang duluan ya, hati hati ke kantornya jangan lupa istirahat abang cuma punya ayah "
Galendra tak tahu apa yang membuatnya berbicara begitu dalam di pagi yang cerah ini, mungkin garis hitam di bawah kelopak mata ayah nya itu penyebabnya.

Joan menjawabnya dengan usapan kecil di pucuk kepala anaknya itu, ia mengerti sekali apa yang ditakutkan galendra mungkin ini terlalu tiba tiba namun menurut Joan itu hanyalah unek unek yang sudah lama sang anak pendam.

Sayap patahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang