7. Bukan Malam Pertama

4 0 0
                                    

Rayhan

Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 8 malam. Zafifa langsung masuk ke dalam rumah sesaat setelah keluargaku pulang. Thoriq yang tadi datang bersamaku terpaksa harus pulang dengan kedua orang tuaku dan juga sopir papa. Mama yang meminta agar mobilku tetap tinggal bersamaku disini.

Aku masih duduk di teras, memikirkan tentang apa yang harus ku lakukan setelah ini, banyak persoalan yang sedang berkumpul di kepalaku. Bergelar suami dalam kurun waktu sehari, bukan hal yang mudah mengemban amanah menjaga anak gadis orang hingga akhir hayatku, bahkan pertanggung jawabanku terhadapnya akan dipertanyakan di akhirat.

"Masuk ke dalam nak Rayhan, disini dingin." tegur abah membuyarkan lamunanku. "Eh, malah melamun. Mikirin apa?"

"Abah, nggak ada kok bah, masih nggak nyangka aja sekarang udah punya istri." jawabku sambil tersenyum, hal itu malah membuat abah terkekeh.

"Kamu ini. Senang nggak menikah dengan anak abah?"

"Nggak berhenti bersyukur bah saking senangnya, anak abah cantik." ucap ku saat tak sengaja melihat dari kejauhan Zafifa masuk ke dalam kamar.

"Masalah jodoh, rezeki, maut. Nggak perlu dirisaukan. Udah tertulis jelas pakai tinta hitam pekat di lauhul mahfudz sana. Kita sebagai manusia cuma bisa berdoa dan bersusaha. Ya inilah jawaban dari doa kalian meminta jodoh, usaha kalian ikut program ta'aruf."

Aku menganggukkan kepala mendengar nasihat abah.

"Nak Rayhan." ku tolehkan kepala ku saat abah yang berada di sampingku memanggil. "Kami titip Zafifa ya. Tolong jangan pernah buat dia meneteskan air mata kecuali air mata haru dan bahagia. Kamu tau kan apa konsekuensi nya kalau sampai Zafifa sedih? Bodyguard nya banyak." bisik abah di akhir kalimatnya yang membuatku terkekeh.

"Siap bah."

"Ya sudah sana masuk, kenalan sama anak abah." ucap abah sambil berdiri.  "Pelan-pelan ya, anak abah perawan ting-ting. Jangan lupa baca do'a biar abah dapat cucu yang sholeh dan sholeha." bisik abah sambil berlalu pergi, aku hanya mentapnya sambil tak percaya sefrontal itu ayah mertuaku.

***

Zafifa

Jantungku kian berdegup kencang saat melihatnya memasuki kamar dengan menggeret sebuah koper hitam. Parasnya yang tampan dan tubuh tinggi besar dengan kulit putih, lesung pipi dan mata coklatnya membuatku terpesona, aku bahkan tidak yakin bisa tidur nyenyak nanti malam.

"Fifa." panggilnya membuyarkan lamunanku, aku tidak sadar suamiku sudah di hadapanku. Suamiku? Ada gelenyar aneh saat aku menyebutnya suamiku dalam hati.

"Iya kak."

"Saya mau numpang mandi, tapi ternyata mama nggak bawain handuk, mungkin lupa."

"Oh, iya kak. Tunggu sebentar." aku berlalu menuju lemari pakaian untuk mengambil handuk bersih. Saat kembali, aku melihatnya sedang berkeliling mengamati seisi kamar.

"Ini kak."

"Terimakasih." ucapnya sopan sambil menerima handuk yang ku berikan.

"Bajunya mau Fifa pindahin ke lemari kak?"

"Nggak usah, biar di tetap di koper aja. Kita kan cuma lima hari disini, nanti begitu kita selesai ngurus berkas nikah di KUA, kita ke Jakarta. Mau kan ikut saya ke Jakarta?" ucapnya panjang lebar, mungkin mencoba akrab denganku.

"Iya kak Fifa mau, Fifa akan ikut kemanapun suami Fifa pergi."

"Ya sudah, kalau gitu saya mandi dulu ya."

Ia berlalu dari hadapanku setelah ku jawab dengan anggukan kepala. Setelahnya, aku berjalan menuju meja riasku untuk membuka kado yang tadi sempat teh Dian berikan sesaat setelah akad selesai. Dan betapa terkejutnya aku saat kotak kado terbuka. Aku mendapati dua dress tipis berwarna merah dan hitam sebagai hadiah pemberian kakak iparku. Ini bahkan tak layak disebut pakaian.

"Fifa." panggil kak Rayhan yang tak ku sadari sudah ada di depan pintu kamar mandu. Buru-buru aku berlari menuju lemari pakaian dan memasukkan baju terkutuk itu asal ke dalam lemari.

"Saya sudah lihat, nggak perlu di sembunyiin lagi." ucapannya membuat wajahku panas, aku yakin pipi ku sudah merah menahan malu.

"Kamu pasti cantik pakai itu."

Aku tak tahan lagi, segera saja aku berlari keluar menghindarinya, dapat ku dengar ia tertawa.

***

Rayhan

Baru saja menginjakkan kaki keluar dari kamar mandi, ku lihat istri ku memegang dua dress tipis di tangannya. Yang benar saja, apa dia sedang menggodaku? Apa dia sudah siap malam ini? Kami memang sudah sah menikah, tapi ini semua terlalu cepat.

Setelah ada sedikit drama dress tadi, tak lama ia masuk ke dalam kamar. Kami lalu melaksanakan sholat sunnah dua rakaat.

Selesai sholat, aku yang kala itu tengah duduk di pinggiran kasur sambil membaca beberapa pesan masuk di ponselku melihatnya seperti kebingungan.

"Ada apa Fifa?"

"Ehm.. Itu kak, duuuh gimana bilangnya ya."

"Bilang aja."

"Selamat tidur kak." ucap istri ku mengakhiri kecanggungan ini. Ia mengambil bantal dan meletakkannya di sofa yang berada di sudut kamar ini.

"Kamu mau ngapain disitu?" tanya ku sambil meletakkan ponsel ke atas nakas.

"Mau tidur kak."

"Kenapa tidur disitu? Sini tidur di kasur." aku menepuk kasur yang ku duduki. "Kalau kamu belum bisa nyaman dengan keberadaan saya disini, saya minta maaf. Biar saya yang tidur di sofa ruang tamu." ucap ku sambil berdiri dan membawa bantal.

"Kak jangan." cegah nya sambil menggenggam pergelangan tanganku, ada gelenyar aneh saat kulit tangan kami bersentuhan. "Bisa di marah abah nanti kalau tau Fifa biarin kakak tidur di luar."

"Jadi?"

"Kita tidur di kasur, jangan ada yang di soffa." jawabnya yang membuatku menarik sedikit kedua ujung bibirku.

Dan disinilah kami sekarang, merebahkan diri di ranjang kamar Zafifa dengan guling yang berada di tengah-tengah kami.

"Kamu tidur pakai kerudung?" tanyaku pelan. "Apa kamu nyaman begitu?"

"Apa boleh Fifa buka kerudung Fifa di depan kakak?" aku terkekeh mendengar pertanyaan konyol nya.

Aku memiringkan tubuh ke kiri, menghadap istri mungil ku yang baru ku sadari bahwa ia terlihat menggemaskan. "Kamu istri saya, saya suami kamu. Jangankan hanya kerudung yang menutupi rambut kamu, pakaian yang kamu pakai menutupi tubuhmu saja aku berhak membukanya jika aku mau." jawabku sambil menaik turunkan alis menggodanya. Aku suka pipinya yang semerah tomat kala ia tersipu malu, ingin rasanya ku gigit pipi itu. Ah ini hanya soal waktu, jika waktunya sudah tepat, bukan hanya pipi gadis itu yang bisa ku gigit, bagian lain juga akan sangat ku nikmati. Aku tak menyangka akan menjadi semesum ini.

"Kakak hadap sana, Fifa malu." ucapnya sambil duduk, aku mengikutinya duduk. Ia malah berdiri untuk mematikan lampu utama, kini hanya tersisa cahaya redup dari dua lampu tidur yang ada di kanan dan kiri ranjang.

"Sini Fa." ucapku menepuk tempat di sampingku, ia menurut.

Perlahan, ku buka kerudung yang menutupi kepalanya, tergerailah rambut panjang sepunggung milik istriku. Rambutnya indah, hitam, lurus dan panjang.

"Kamu cantik. Boleh saya menyentuh kamu lebih jauh?" ucapku sambil menatap tepat di kedua matanya, ia terkejut karena ucapanku. Tapi tak lama kemudian ia mengangguk ragu.

Ku usap lembut kedua pipinya, ia memejamkan mata. Sapuan tanganku beralih ke lehernya, ku tahan belakang kepalanya lembut lalu ku kecup lama keningnya. Aku merasakan tubuhnya sedikit bergetar, entah karena takut atau karena terhanyut, aku tak tau karena belum pernah menyentuh wanita sebelumnya.

"Selamat tidur juga Zafifa."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ditakdirkan Untukku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang