chapter enam

109 4 0
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


****

6. Devfan berantem.

"Mau kemana?"

"Cakep lo begitu?"

"Papi perasaan engga miskin-miskin amat, bisa kali beliin lo satu toko baju sepabrik pabriknya juga bisa." Devfan menyilangkan tangannya didepan dada. Tubuhnya menyandar di pintu utama Ananthara. Sengaja menghalangi Vanya yang udah janjian sama Tiara buat lawan kembali Alifa. Keliatan banget Vanya buru-buru. Makanya cuma pake kaos crop top sama hot pans. "Ganti baju sana, kalau bajunya gamau gua robek."

Vanya memijat hidung bangirnya. Merasa pening, sekaligus menahan kesal.

"Denger, ya? Gua cuma mau keluar bentar. Selsain satu pertandingan. Abis ini balik lagi," negonya masih enggan menurut. Mendengarkan Devfan. Maunya ngebantah.

"Gua tanya! Lo mau keluar balapan, apa jual diri?"

Kesabaran Devfan udah menipis.
Apalagi liat Vanya yang malah berusaha menepis tubuhnya. Dari pintu yang ia halangi. "Urusan gua lah, mau gua jual diri atau balapan juga bukan urusan lo."

"Urusan gua–"

"Karena Mami Papi nitip ke gua! Iyakan? Lo mau ngomong itu??"

Gadis itu berbicara dengan intonasi tinggi. Tepat dihadapan wajah Devfan. Sehingga tatapan keduanya terkunci. Saling menatap tajam satu sama lain.

"Ngertiin gua. Gua cape."

Vanya terkekeh sambil menahan. Menahan sesuatu dipelupuk matanya yang ingin terjatuh. "Terus gua engga? Mikir coba, Dev! Meskipun iya, gua goblok, gua bloon, gua dongo! Engga pernah belajar cuma beban. Buat lo, yang selalu ngerasa terbebani kan jaga gua? Gua juga engga minta dijagain! Lo jadi cowok jangan cupu-cupu amat, tolak apa yang Mami Papi omongin! Lo berhak nolak, lo berhak nolak cewek gila kayak gua buat jadi pendamping lo."

"Dari awal. Gua bilang, kan? Gua engga maksa lo buat ada. Lo mau ikut ninggalin gua, mau ikut engga peduli sama gua juga sana! Biar sekalian, Dev!"

"Biar sekalian gua sakitnya, biar sekalian gua ngerasa sendiri." Dengan dada yang naik turun. Menahan sesak di rongga dadanya. Vanya berusaha mengeluarkan unek-uneknya. "Lo enak, ngomong Papi bisa beliin satu pabrik baju buat gua, ini inu itu, apalah itu. Iya tau, bokap gua mampu. Tapi apa itu yang gua butuhin, engga kan? Gua butuh cuma kasih SAYANGG!"

"Ada gua. Lo gausah ngerasa sendiri."

Vanya menundukkan kepalanya. Meredam segala rasa sakit. Ia tahan air matanya. Agar tak terjatuh. "Gua mau keluar, izinin gua! Gua pusing dirumah, kesepian."

Gadis itu naik ke lantai tiga tempat kamar tidurnya. Sepuluh menit setelah naik, gadis itu turun lagi sudah dengan jaket racing. Komunitasnya. Sekalian menenteng helm fullface barunya.

Doubell SintingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang