MeReKa || 18

139 18 0
                                    

"Tadi Dokter bilang, penyakit Devan udah stadium akhir. Dan, harapaan hidup dia udah gak lama."

Sesak. Itu yang Mereka rasakan, saat mendengar penuturan dari Doni. Mereka semua sangat menyayangi Devan, bahkan sudah menganggap sebagai Keluarga sendiri. Devan adalah orang yang paling dekat dengan Mereka, daripada yang lainnya. Meski Devan terlihat dingin, terlihat bodo amat, tapi sebenarnya Devan orang yang peduli. Bahkan sangat peduli.

Adam langsung meluruhkan badannya, dia tidak sanggup untuk berdiri, berita ini sungguh membuatnya lemas. "Keluarga dia, gimana?" tanya Adam.

Doni terdiam. Entahlah, sebenarnya dia ingin memberitahu ini pada Aqila, tapi dia tidak bisa karena permintaan Devan tadi.

"Don, gue mohon lo jangan kasih tau Aqila," ucap Devan, saat Mereka sedang berada di ruang tunggu.

Doni memandang sahabatnya itu dengan lesu. Lihatlah penampakan Devan sekarang, beberapa bintik merah terlihat di tubuh laki-laki itu, wajahnya juga sangat pucat, sangat memprihatinkan. "Sampai kapan? Sampai kapan lo bakal tutupin ini dari Adik lo?!" tanya Doni dengan nada yang sedikit ditinggikan.

Devan tersenyum tipis, dia tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah, seharusnya dia tidak menutupi ini dari Aqila. "Hey, gak usah emosi. Gue cuman pengen, dia ngerasain hidup yang bahagia dulu. Biarin ini jadi rahasia, sampai akhirnya dia tau pas gue udah gak ada," jawab Devan.

"Ngomong apa sih lo!" kesal Doni, dia tidak suka jika Devan sudah membahas tentang kepergian. Dia tidak bisa membayangkan, jika itu semua terjadi.

Devan menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya dia lipat di depan dada. Matanya dia pejamkan, senyuman tipisnya kini sedikit dia lebarkan. "Cepat atau lambat, itu pasti terjadi, Don. Bukannya gue putus asa, tapi penyakit gue emang udah separah itu." Satu tetes air mata Devan meluncur, tapi dengan cepat laki-laki itu hapus.

"Gue harap, lo bisa janji sama gue, buat gak ngasih tau tentang ini, ke Aqila."

"Assalamu'alaikum," suara wanita yang baru saja muncul itu, mengalihkan atensi Mereka semua. Di depan sana, ada Dela yang berjalan menuju tempat Mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab Mereka.

"Nih helm, gak tau punya siapa, tapi makasih!" ucap Dela, menyodorkan helm dihadapan para lelaki itu.

Hasan langsung menghampiri Dela dan merebut helm itu. "Helm gue! Kenapa lo bawa pergi?!" tanya Hasan dengan ketus. Sumpah ya, jika saja tadi tidak sedang buru-buru mau ke Rumah Sakit, dia pasti sudah mengamuk karena helmnya tiba-tiba hilang.

Dela menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Ya... Maaf. Tadi gue disuruh nganterin Adek Bang Vano, dan gue cuman bawa helm satu, hehe..." jawab Dela. "Enggak lagi-lagi deh, suer!" lanjutnya dengan mengangkat dua jari membentuk V.

Hasan mendengus kesal. Tapi tunggu.... Adik? "Vano punya adik?" tanya nya pada Dela.

Dela mengangguk. "Iya, perempuam masih kelas sebelas," jawab Dela.

Adam berdiri, apa jangan-jangan yang waktu itu dia lihat benar? "Namanya siapa Del?" tanya Adam ingin memastikan.

Saat Dela ingin menjawabnya, seorang Dokter keluar dari ruangan Devan alias Vano, memotong pembicaraan Dela.

"Dengan keluarga pasien?" tanya Dokter tersebut.

Doni berdiri dan maju ke hadapan Dokter tersebut. "Saya saudaranya, Dok," jawab Doni, dia memang sudah menganggap Devan sebagai saudara, bahkan Ibu dan Bapak Doni sudah menganggap Devan sebagai anak sendiri.

Dokter itu mengangguk. "Mari ikut saya keruangan, ada yang ingin Saya bicarakan." Dokter itu berjalan meninggalkan tempat tersebut diikuti oleh Doni di belakangnya.

Meraih Restu Kakak [TAMAT] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang