Bulir hujan yang turun beberapa jam lalu kini berhenti jatuh dan menggenang disetiap langkah Senja. Bahkan, masih menemaninya hingga gadis itu sampai di surga dunianya. Beberapa orang berlalu lalang, pulang dan pergi meninggalkan taman yang akan segera ditutup. Namun, seperti namanya, atau memang ini adalah kebiasaannya, Senja selalu datang di detik-detik terakhir. Kekosongan pada Taman Fluoresens selalu datang tatkala menjelang malam. Senja menyukai kekosongan itu khusunya setiap pulang sekolah.
Sebelum meninggalkan liburan semester yang akan berakhir dalam seminggu, Senja ingin berpetualang dulu dalam surganya. Sembari membawa buku favoritnya selama libur, The Geography Of Genius karya Eric Winner, Taman mendadak tak bersua kecuali napas-napas dari bibir Senja yang bergerak membaca.
Kesunyian itu cukup bertahan hampir sesuai perkiraan Senja, namun, menuju hampirnya itu- suara semak-semak yang bergerak menganggu atensinya beberapa detik. Mungkin kucing, angin, atau hanya halusinasinya saja, Senja berusaha tak terbawa-kembali melanjutkan paragraf yang tertinggal.
Bukan sekali, suara itu terdengar lagi. Kini, Senja tidak bisa seperti sebelumnya untuk berpikir secara logis. Tentu naluri manusianya bergerak secara perlahan. Rasa takut mendekatinya, menyelimuti sekujur tubuhnya dalam sekejap.
Lagi, terdengar lagi. Senja tak bisa duduk diam saja disamping semak-semak itu. Kakinya berdiri menopang tubuh, pelan-pelan memundurkan langkah diikuti pikirannya yang menjalar memikirkan harus melakukan apa. Namun agaknya, ketakutannya ini suka sekali mencela, memperlambat proses pemikirannya.
Semak-semak itu tidak bergerak lagi, Senja menimang-nimang. Sepertinya tidak salah untuk melanjutkan membaca cerita Eric tentang Galton seperti semula. Toh, Senja berpikir apa? Apa kata dunianya nanti? Anak SMA kelas XI yang berlari ketakutan karena semak-semak bergerak tertiup angin? Hahaha, itu lucu.
Ya, ia tidak seharusnya takut. Angin selepas hujan memang suka berhembus dari segala arah. Pada akhirnya semua hanya pemikiran Senja saja soal han-
"ADUH!"
"Hah!"
Terpaku, Senja tak mau beranjak sedikit pun dari tempatnya mendengar pekikan suara itu. Terlebih, suaranya berasal dari semak-semak bergerak yang sedari tadi Senja takuti. Namun, sepertinya memang begitu lucunya pemikiran Senja.
"Eh! Tolongin gue, dong!"
Senja diam sebentar, namun menyakinkan diri. Kakinya melangkah mendekat ke balik semak-semak, tertegun, melotot kecil melihat seseorang terduduk hampir jatuh ke selokan. Dengan hati-hati, gadis itu mendekat, mengulurkan tangannya ragu-ragu.
Melihat sambutan baik itu, laki-laki itu segera menerimanya, mengangkat tubuhnya yang hampir terperosok.
"Thanks."
Senja tertegun sejenak, mengangguk. Keheningan sempat ada, sebelum akhirnya gadis itu agak memekik dengan langkah yang memundur.
"Eh? Eh? Mbaknya kenapa?" Laki-laki tadi tampak tak berdosa menggenggam satu toples bening, wajahnya melongo melihat Senja memundurkan langkah dengan wajah jijik. Berpikir, laki-laki itu mengangguk-anggukan kepalanya kemudian. "Ah, phobia, ya?"
Senja meringis, tangannya terangkat saling memeluk lengan dan mengangguk. "Mas-nya kenapa bawa cacing sebanyak itu?" Tak bisa menampung banyak perkiraan lagi, ia pikir laki-laki dihadapannya ini kehabisan akal mengumpulkan banyak cacing tanah pada satu toples bening. Cacing-cacing itu saling meliuk memeluk cacing lain. Dan, itu sangat menggelikan dimata Senja.
"Buat mancing, Mbak."
"Ha...hah?"
Senja terperangah, "serius untuk mancing?"
"Iya. Kalo kucing saya mau, kadang saya kasih."
Senja menyetujui pemikirannya bahwa laki-laki dihadapannya ini kehabisan akal.
"Kalo si Mpus nggak mau, saya simpen. Buat mancing lagi." Laki-laki itu terus berkata tanpa ditanyai. Terlihat sangat membanggakan tentang 'cacingnya'.
Senja menganggukkan kepalanya saja, tak mau menanggapi banyak. Ia punya banyak kejadian tak mengenakan dengan cacing, yang membuat hewan itu menjadi salah satu phobianya. Sepertinya, Senja tak punya peluang lagi untuk melanjutkan bacaannya, gadis itu berpikir untuk pulang saja lebih awal.
"Mbaknya namanya siapa?"
Senja tertegun, berbalik bertanya. "Kenapa memangnya?"
"Buat rekomendasi nama cacing saya."
Jawaban itu sontak membuat tawa Senja menyembur. Keadaannya menjadi agak lebih baik, menangkap seperti apa sifat pemilik cacing ini.
"Senja."
"Wah, nggak jadi, deh."
Tawa Senja berhenti. Gadis itu menyerngit. "Loh..? Kenapa?"
"Nama mbaknya kebagusan untuk cacing saya." Laki-laki itu tersenyum lebar menjawab, sementara, Senja terkekeh agak menunduk. Orang-orang memang selalu bilang begitu. Nama yang tersemat dikata terdepan pada nama lengkapnya itu, kata orang, sangat puitis. Sangat menggambarkan Ibunya yang sangat suka dengan diksi, puisi, tulis-menulis.
"Ah, iya. Orang lain juga bilang gitu. Nama saya kebagusan."
"Yah, iya, sih." Laki-laki itu mengalihkan pandangan, keningnya berkerut tampak berpikir. "Namanya juga bagus kalo jadi nama pacar saya."
人*'∀`。*゚+
dari semak-semak
dekat air yang menggenang
izinkan aku
menyimpan cerita
dimatamu.人*'∀`。*゚+
notes:
gak usah berekspektasi banyak...
cerita ini kyknya cuman pelarian doang tapi akan tetap ku usahakan indah.salam hangat,
jua
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara Senja (end)
Teen FictionBaskara hadir untuk memberi kehangatan, untuk Senja yang ingin menyimpan kerlip cerita dibalik matanya, untuk selamanya, semoga. © 2021 all rights reserved by juazahra [cover by pinterest & phonto] mulai: 29-12-21 rampung: 15-1-22