dua: matahari

48 8 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








"Siapa sih yang bikin ide game beginian? Capek tahu, gue ditanya nama mulu. Keliatan banget gak terkenal." Keluhan itu datang terus menerus memasuki telinga Senja. Kali ini, Gita, anggota OSIS lainnya sekaligus temannya sejak kelas 10 yang beruntung masih mendapatkan kelas yang sama dikelas sebelas. Perkataannya yang tentu membicarakan soal game untuk para adik kelas hari ini hanya bisa ditertawai Senja. Bagaimana peraturan game itu mengharuskan para adik kelas mengetahui arti nama dari masing-masing anggota OSIS. Berbeda jauh dengan Senja yang namanya sudah tak asing lagi ditelinga siswa-siswi.

Melihat Senja tidak menanggapi selain kekehan kecil, Gita mengganti topik pembicaraannya. "Eh, Nja', lo ngeliat ada adik kelas ganteng nggak tadi? Gue nemu satu, tuh. Tapi, kayaknya udah punya pacar."

"Gimana bisa lo tahu?" tanya Senja menyambung obrolan Gita.

"Mukanya itu, loh. Matanya, hidungnya, bibirnya. Keliatan udah ada yang isi, yang ngincip."

Tawa Senja menyembur bersamaan dengan Gita yang terkekeh menyadari bahasa yang diucapkannya.

"Git, nanti kayaknya gue nggak bisa pulang bareng sama lo. Mau rapat club, nih. Buat besok."

"Hah? Besok? Demo ekskul?"

"Iya. Jadi, lo pulang duluan aja, ya."

"Aih, nggak papa sih, gue nungguin lo. Lama nggak?"

"Nggak tahu deh gue. Nggak papa, lo balik duluan. Gue bisa minta jemput."

Gita mengangguk mengiyakan saja pada akhirnya. "Yaudah kalo gitu. Padahal, gue mau bahas lanjutan cerita Kinan sama Aris. Tapi, nggak papa deh, itung-itung menunda emosi."

Senja tertawa, tau serial apa yang tengah dibahas Gita. "Balik sekolah, gue telfon."

"Okee sayangku!" pekik Gita sambil berlari menjauh, mendekati beberapa kerumunan adik kelas.

Senja kembali memandangi lapangan, tanpa sadar ada yang berjalan mendekat sembari memandanginya penuh kagum.

"Senja."

"Eh?" Senja berbalik, melotot kecil melihat siapa yang menghampirinya. "Kenapa?"

"Tugas gue udah selesai, nih, Nja—gue perlu manggil pake 'Kak' nggak, sih? Atau, Mbak aja kayak sebelumnya?" Tuan Cacing menyodorkan bukunya sambil bertanya hal yang sangat terlihat berbasa-basi.

Senja terkekeh kecil. "Terserah, apa aja."

"Senja aja, kali ya? Aneh pake Kak, masa nanti jadi adek kakak."

"Bukannya, emang adek kakak? Kan... Adik kelas sama kakak kelas? Tapi, ya nggak pa—"

"Gue nggak mau sekedar jadi adik kelas lo aja."

Kelopak mata Senja terbuka lebih lebar secara refleks, merasa tertembak sesuatu didadanya begitu saja. Namun, tersadar itu hanya candaan semata kala Tuan Cacing tertawa.

"Muka lo, syok amat."

Senja tertawa renyah. "Jadi ngumpulin tugasnya?"

"Eh, iya-iya, nih tugas gue." Senja menerima uluran buku tulis tanpa sampul itu, membaca tulisan tak beraturan itu dengan baik. Meski begitu, dia paham apa yang laki-laki ini tulis. Tak membohonginya bahwa hal se-sederhana ini saja terasa begitu lucu.

"Kenapa? Ada meme upin-ipin disitu? Kok ketawa?"

"Ha?" Senja mengangkat kepala, menutup buku itu dan tersenyum tipis. "Enggak, tulisan lo bagus—maksudnya, itu..." Gadis itu menggigit bibir melihat raut wajah adik kelasnya yang tersenyum nelangsa. "Bukan itu maksud gue.."

Laki-laki itu tertawa kecil. "Santai gue, mah, Nja'. Gue balik ke kelompok dulu, ya, Nja'. Aus," katanya tertawa lagi.

Senja mengerjap, mengangguk membiarkan laki-laki itu pergi. Gadis itu menunduk, melihat buku itu lagi. Namun sekarang tangannya membuka lembaran paling depan, membaca deretan kata yang selama seminggu ini menjadi ruang penasarannya.

Abimanyu Baskara.

"Matahari."

"Baskara itu... Matahari."


*˘˘*.。*


notes:

dibilangin cuman pelampiasan, jadi nulis sesuka w aja hdh ga tobat-tobat saya..

Baskara Senja (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang