empat: dialog kecil dibawah baskara terik

35 5 3
                                    

"Nja, lo nggak dendam, kan, sama gue? Atau sama Tama, Rhea?"

Senja menghela napas, harus kembali menjawab pertanyaan Radit yang entah sudah ke berapa. "Dit, itu hak lo. Nggak papa."

Radit mendesah panjang, tak habis pikir Senja semudah ini melepas anggota mereka untuk keluar klub.

"Kalo klub ini benar-benar ditutup, gimana?"

Pertanyaan yang Senja hindari selama ini didengar langsung memasuki telinga gadis itu, ia tertelak bungkam sulit memikirkan jawaban. Sementara, Radit membuang napas, kembali melanjutkan perkataannya. "Nja', kenapa sih, lo bertahan sama ini klub?"

Senja mendesah berat. "Dit, lo keluar apa mau masuk lagi? Kok nanya-nanya kayak mau daftar?"

"Nja', gue serius." Radit membuang napas lagi, menahan kesabaran. "Sepenting itu klub Pencinta Alam?"

"Sepenting itu."

"Ck, gue gak ngerti." Radit berbalik badan, membantu Tama yang datang membawa meja untuk lapak pendaftaran klub mereka.

"Nja', biar aku yang keliling nyebar banner, ya?" Senja menoleh, mendapati Rhea membawa setumpuk banner promosi mereka. Gadis itu mengangguk memperbolehkan.

"Oke, Ayo, Tam-"

"Apa sih gue gak-"

"Ayoo!"

Senja tersenyum geli, melihat Tama dan Rhea sudah saling melempar umpatan satu sama lain. Namun, kembali berdekatan dan mengobrol biasa.

Kadang, Senja menginginkan hal itu terjadi padanya juga, lagi.

"Nja'! Bentar lagi mulai, nih! Semangat, ya!"

Seruan Alya beberapa meter dari meja membuat Senja tersenyum, mengangguk semangat. Iya yakin, ia bisa melakukannya.

***

Senja berjalan dengan bahu menurun di sepanjang koridor yang sepi. Gadis itu menarik napas, lalu mengembuskannya pelan mencoba menenangkan diri. Sampai langkahnya terhenti, punggungnya merapat pada dinding dan bersandar di sana dengan kepala kosong. Perlahan lututnya tertekuk hingga berjongkok. Ia melipat tangannya diatas kedua lutut dan menundukkan kepala, melamun menatap lantai koridor.

Satu pun tidak ada.

Gadis itu masih menatap nanar lantai koridor, pikirannya kacau hingga satu dialog dengan nada sarkas itu terulang dibenaknya.

"Klubmu sudah gak ada. Klub sialan itu seharusnya nggak berdiri! Saya kasih kamu kesempatan untuk memiliki anggota itu sebagai tanda maaf karena setahun lalu, tapi, kamu nggak berhasil."

"Surat resmi paksa penutupan klub bakal keluar besok."

Mata Senja berkaca-kaca. Perlahan isaknya terdengar sebab tak mampu lagi menahan desakan didadanya.

Senja tersentak, ketika langkah sepatu diujung koridor terdengar menghampirinya. Sepatu kets hitam yang terlihat dihadapan matanya, membuat gadis itu buru-buru menghapus sisa air dipipinya. Belum sempat mendongak, pemuda itu ikut berjongkok dan melipat kedua tangannya diatas lutut menyamai Senja.

Keduanya bertatapan cukup lama.

"Gue daftar klub lo," ucap Baskara memandangi gadis itu.

Senja tak merubah ekspresi, matanya menyendu mendengar itu.

"Jangan nangis. Lo jadi jelek."

Senja terbatuk kecil, tak mampu menahan bulir air matanya yang masih menuruni pipi.

"Gue ... bakal nemenin lo."


"Baskara..." Senja agak mengangkat kepala, matanya menatap lurus pemuda itu. Kini tanpa Tuan Cacing.

"Saya?"

"Kamu ini siapa, Baskara?"

***

notes:

italic itu ucapan batin ya, 。◕‿◕。
makasih yang masih mau baca ^_^

salam hangat,

jua.

Baskara Senja (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang