44 | JALAN-JALAN

2.2K 315 19
                                    

"Dek, ayo bangun. Hari ini kan kamu ada jadwal ketemu Dokter Gita," ujar Bunda seraya menyibak tirai jendela sehingga cahaya masuk kedalam kamar tersebut. Bunda menoleh dan menatap Sharma yang masih bergelung dibalik selimut, sama sekali tidak bergerak. "Dek," panggilnya pelan seraya mengguncang tubuh Sharma.

"Gak mau Bunda, ..." sahut Sharma pelan membuat Bunda mengernyitkan kening heran. Padahal selama beberapa minggu terakhir ini Sharma selalu rajin mengunjungi Dokter Gita. Pun setiap akhir pekan akan pulang ke Jakarta.

"Kamu kenapa, Nak?" ujar Bunda lembut, ia menyibak selimut Sharma yang memejamkan mata. Mengusap kening Sharma mengira Sharma sakit, tapi tidak.

"Aku bosan ketemu Dokter Gita ... lagian aku udah sembuh," gumam Sharma tanpa membuka matanya. Bunda pun diam, tidak lagi memaksa Sharma.

"Ya udah gak pa-pa. Kalau gitu kamu gak mau gitu ke rumah temenmu atau keluar jalan-jalan sama Bunda?" Bunda memberi tawaran. Semenjak kembali ke sini, Sharma terlihat murung dan menyendiri di kamar. Membuatnya merasa cemas. Apalagi Sharma sekarang tidak ingin bertemu Dokter Indah. "Kamu baik-baik saja?"

Kedua mata sayu itu terbuka dan membalas tatapan mata Bunda. Kemudian kepalanya mengangguk pelan. "Aku baik-baik aja kok." 

"Yah padahal di bawah ada Re yang nungguin kamu. Katanya mau nganter ke rumah sakit."

Sharma langsung beringsut duduk menatap Bunda. "Ih kok Bunda gak bilang kalau ada Mas Re!" protesnya. Segera turun dari ranjang.

"Jadi kamu mau ketemu Dokter Gita?"

"Gak." Sharma keluar dari kamar. Menuruni tangga hingga melangkah menuju ruang tamu. Tidak ada Regan di sana.

"Mbak Sharma nyariin Mas Re, ya?" sahut ART yang berpapasan dengannya.

"Iya Mbak. Mas Re mana?"

"Ada dibelakang sama Bapak." Sharma pun menuju ke belakang rumah. Tepatnya ke area penangkaran burung koleksi Ayah. Kedua pria berbeda usia tersebut sedang mengamati burung jenis beo yang sedang makan dengan lahap.

Sharma berhenti melangkah, mengamati mereka dari jarak cukup jauh. Tidak masuk ke dalam ruangan yang dikelilingi pagar besi tersebut.

"Kamu gak mau pelihara burung gitu?" ujar Ayah pada Regan.

"Aku udah punya burung Om."

Kedua pria itu saling bertatapan. Lalu Ayah tertawa seraya tangannya menepuk pelan pundak Regan yang sama sekali tidak bereskpresi.

"Re, kamu jangan kayak Daddy-mu. Bercanda, tapi ekspresinya tetep serius."

"Susah Om. Udah keturunan kayaknya." Ayah kembali tertawa. Regan sendiri mengusap tengkuknya salah tingkah. Tatapannya tidak sengaja bertemu dengan sengaja. Wanita itu pun masuk ke tempat tersebut. Ayah ikut menatap Sharma.

"Wah Mas Re punya burung juga? Aku mau lihat dong," seru Sharma. Ayah langsung melotot padanya membuatnya tertawa. Sementara Regan begitu datar.

"Gak boleh lihat!" sahut Ayah. Sharma mendekat ke arah Ayah. Kemudian memeluk pinggang Ayah.

"Kok belum siap? Bukannya mau ke rumah sakit?"

"Gak mau pergi," Sharma menggeleng malas.

"Lho kok ... Re ke sini mau anterin kamu lho." Ayah mengernyit heran, ia menatap Regan sejenak lalu menatap Sharma. "Kenapa lagi gak mau ketemu Dokter Gita?"

Ekspresi Ayah secemas Bunda tadi. Sharma langsung menenangkan Ayah. Memeluk erat Ayah. "Gak pa-pa. Aku mau keluar jalan-jalan bareng Mas Re, boleh kan?"

I HATE PERFECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang