57 | KEPUTUSAN TERBAIK

13.5K 544 123
                                    

"Apa kamu mau maafin aku?"

Sharma menatap datar Benja yang memelas menatapnya. Lalu mendengus sinis. "Maafin lo? Dengan mudahnya lo minta maaf setelah apa yang lo lakuin ke gue?!"

Pria itu menunduk, mungkin malu. Tapi, Sharma tidak peduli.

"Maafin aku, aku nyesel," ujar pria itu lirih. Suaranya parau.

Sharma mengalihkan tatapannya, menguatkan dirinya sendiri. Ia tidak akan dengan mudah memaafkan Benja setelah apa yang pria itu lakukan padanya. Membuatnya perasaannya hancur lebur hanya karena alasan yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Lalu menghancurkan rencana pertunangannya dengan Regan. Membuat kondisinya drop hingga ia memiliki keinginan untuk bunuh diri.

Untung saja ia cepat diselamatkan, kalau tidak...

Mungkin apa yang dikatakan Bunda padanya benar. Jika ia akan menyesal telah mengambil keputusan itu. Mengakhiri hidupnya.

"Penyesalan lo gak mampu bikin gue maafin lo gitu aja," ujar Sharma dingin, kemudian berlalu meninggalkan Benja. Sejak saat itu mengetahui jika semua ini karena Regan.

Regan membatalkan pernikahan mereka. Orang tuanya telah tau jika anak yang dikandungnya bukan anak Regan, melainkan pria yang datang menemuinya saat itu. Yang tak lain saudara sepupu Regan.

Sharma cukup terkejut mengetahui fakta tersebut.

Apa Regan mengalah demi sepupunya?

Sangat tidak masuk akal!

Tapi, mengingat perkataan pria itu. Alasannya, karena Sharma yang tak lagi mencintai Regan ...

Sharma terpekur, semakin memeluk dirinya sendiri. Dalam kesunyian malam, ia sedang berada di gazebo tepat di area kolam renang. Sejak beberapa hari ini, ia mengurung diri di kamar. Enggan keluar. Membuat orang tuanya senantiasa mengecek keadaannya. Mungkin mereka khawatir jika ia akan mencoba mengakhiri hidup lagi. Pun Dokter Gita berkunjung untuk menemuinya. Sebanyak dua kali dalam seminggu.

Sharma tidak menolak, apalagi ia memang butuh kehadiran Dokter Gita agar kewarasannya tetap stabil. Apalagi kondisinya yang tengah hamil.

"Sharma, kenapa diluar?"

Sharma tersentak, ia menatap Ayah yang kini menghampirinya dengan ekspresi cemas yang tidak ditutupi sama sekali.

"Ayo masuk," ajak Ayah, tapi ia menggeleng.

"Aku bosen di kamar." Ayah pun tidak lagi mengajaknya masuk, tapi Ayah sendiri kembali masuk. Dan tidak berapa lama keluar dengan membawa selimut lalu melingkari di tubuhnya. Ayah pun menemaninya duduk di gazebo tersebut. Ikut diam hingga keadaan menjadi sangat hening.

Sharma menoleh menatap Ayah. Pria yang tak lagi muda tersebut. Rambut Ayah mulai memutih. "Rambut Ayah mulai putih semua," ujarnya pelan. Saat Ayah menoleh menatapnya dengan senyum geli, ia ikut tersenyum.

"Kan bentar lagi Ayah jadi kakek,"

Perasaan bersalah kembali hinggap pada Sharma. Tentu Ayah dan Bunda kecewa padanya dengan yang menimpa dirinya saat ini. Tapi, mereka sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan tersebut, pun tetap memperlakukan dirinya seperti biasa. Perhatian padanya dan mencurahkan kasih sayang.

Sharma masih ingat, saat Bundanya meninggal. Sharma merasa sendirian saat itu, tidak menghiraukan Ayahnya yang dirundung rasa bersalah dan mengurung diri, pun tidak menanyakan keadaannya, apa yang ia rasakan saat ini.

Sharma memeluk dirinya sendiri. Duduk di teras rumah, menatap hujan yang turun setelah Bunda dikebumikan.

Merasakan sesuatu menyelimuti dirinya, sebuah jaket orang dewasa hingga mampu menghangatkan dirinya.

I HATE PERFECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang