15 | BERMAIN PERASAAN

3K 317 17
                                    

Dengan lahap Sharma memakan kepiting sambal balado di hadapannya. Meski restoran tersebut memiliki pendingin, tetap saja ia berkeringat karena begitu menikmati makanan di hadapannya. Tidak menghiraukan jika sekarang ia makan dengan Pak Rektor.

Kan Pak Rektor teman Ayah.

Itulah perkataan Pak Rektor ketika ia memberitahu nama kedua orang tuanya. Ya, tentu saja orang-orang mengenal orang tuanya. Seorang Diandra Angkasa Putra yang merupakan Founder SaN corp. Sementara Bunda merupakan wedding organazior terkenal.

Tapi, yang tidak ia sangka jika Pak Rektor bukan hanya sekedar mengenal Ayah, mereka benar-benar saling mengenal.

Jika Sharma asik melahap makanan di hadapannya, Gibran sendiri asik mengamati wanita muda tersebut.

Persis seperti Randa, pikirnya.

Mulai dari wajah bahkan makanan favorit. Hanya saja postur tubuh Sharma tidak seperti Randa. Sharma agak kurus dan tinggi.

Menyadari tatapan Pak Rektor padanya membuat Sharma berhenti sejenak, meneguk minumannya lalu menyengir. "Maaf Pak. Saya lagi laper jadinya fokus makan aja."

Gibran tersenyum tipis. "Kan Om udah bilang gak usah panggil 'Pak', Om temen ayahmu. Dan gak usah terlalu formal."

Sharma kembali menyengir kali ini mengangguk pelan.

"Em ... pantas aja Ayah pernah bilang, kalau dia kenal rektor di kampusku. Aku kira Ayah cuma mengada-ada," jelas Sharma mengingat perkataan Ayah tempo hari. Saat ia sama sekali tidak peduli, jadi hanya mendengarnya saja.

"Om sama Ayah kamu satu alumni sekolah dulu."

"Em ... Om seangkatan sama Aunty Via? Kenal kan adiknya Ayah yang galak itu?"

Gibran tertawa pelan. Pun sikap Sharma berbeda dari Randa. Dulu saat pertama kali bertemu Randa, wanita itu begitu kalem, sangat pendiam. Hanya bicara jika diajak bicara.

"Enggak. Dia kakak kelas Om. Beda satu tingkat."

Sharma mengangguk pelan, lalu Om Gibran menyuruhnya untuk menghabiskan makanannya. Tentu saja ia kembali melahap makanan favoritnya tersebut.

Sharma tersentak saat Om Gibran menyeka keringatnya menggunakan tisu membuatnya berhenti mengunyah. Menatap lamat pria tersebut.

"Kamu mirip banget sama Bundamu," gumam Gibran lirih. Lalu berdehem pelan seraya membuang pandangannya. Kemudian pamit ke toilet sebentar.

Sharma menatap Papa Benja tersebut lalu mengendikkan bahu tak acuh kemudian melanjutkan makanannya.

Usai makan, ia diantar pulang ke apartemen. Kata Om Gibran, mobilnya yang masih berada di kampus nanti diantar oleh supirnya.

"Makasih ya Om udah traktir aku makan."

"Sama-sama."

Keduanya melempar senyum tipis. Kemudian Sharma melepas sabuk pengaman dari tubuhnya. Lalu pamit untuk turun.

"Sharma ..."

Sharma menoleh, mengurungkan niatnya untuk turun dari mobil. Bukannya langsung bicara Om Gibran hanya diam menatapnya lamat membuatnya mengernyit heran.

"Kenapa Om?"

Gibran tersentak lalu tersenyum tipis. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Sharma. "Kalau ada apa-apa kamu hubungi Om aja, ya?"

"Minta ditraktir lagi, boleh?" Keduanya tertawa. Sharma sama sekali tidak merasa lancang bergurau dengan rektor kampusnya. Karena pria itu sendiri yang melarangnya bersikap formal. Jadi Sharma memposisikan menjadi anak dari teman Om Gibran .... juga kekasih anak dari Om Gibran.

I HATE PERFECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang