54 | MULAI MEMBAIK

2.6K 327 23
                                    

Sharma diam, mengamati Regan yang mengganti pakaiannya. Seperti biasa, pria itu hanya diam. Telaten memakaikan baju piyama ke badannya. Memasang kancing satu per satu hingga ke atas.

Orang tua Sharma tidak lagi menginap untuk menemaninya atas permintaan Sharma sendiri karena tidak ingin membuat mereka yang nantinya terserang sakit. Akhirnya hanya Regan saja yang menemaninya.

"Mas Re ambil cuti berapa hari?"

"Seminggu," kini Regan beralih menyisir rambutnya.

"Aku kapan pulang?" Regan menatapnya setelah rambutnya rapi.

"Dua hari lagi. Besok kamu periksa kandunganmu lagi," ujar Regan, ia menyentuh dada Sharma. "Kamu gak ngerasa sesak lagi?"

Sharma menggeleng pelan. Membuat Regan menghela nafas pelan.
Regan pun merapikan pakaian kotor Sharma, memasukkan ke dalam tas laundry.

"Orang tua kita udah diskusi." Regan kini duduk di kursi, ia meraih tangan Sharma untuk digenggam. "Kita langsung nikah aja."

Sharma terdiam sejenak menatap lamat Regan. "Mereka gak tau kalau aku hamil bukan anakmu?"

"Itu anakku." Regan mengukir senyum tipis seraya mengusap perut Sharma.

Sharma tertegun, menatap Regan yang mengusap perutnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Regan. Pria itu sekilas meliriknya, tapi kemudian fokus menatap perutnya.

Regan berdiri, kini menatapnya. "Kenapa?" tanyanya karena Regan hanya diam. Pria itu menggeleng pelan, kemudian menariknya untuk memeluknya.

Regan mengusap pelan kepala Sharma. Tatapannya tidak sengaja tertuju pada pintu. Matanya memicing menatap siluet seseorang yang mengintip. Tapi, kemudian pintu kembali tertutup rapat dengan pelan.

•••

Tatapan Sharma lurus menatap layar yang menampilkan apa yang ada di dalam perutnya. Janin yang telah berusia tiga belas minggu. Ukurannya masih kecil, juga karena kulit perut Sharma yang tebal jadi perutnya tidak nampak jika ia sedang hamil, membuat orang disekitarnya tidak pernah menduga.

Sharma diam menjelaskan apapun yang dikatakan dokter kandungan tersebut, sekaligus tantenya Regan.

Ia menoleh menatap Regan yang tanpa ekspresi ikut menyimak apa yang dikatakan Tante Bunga.

Seharusnya bukan Regan kan yang berada di sampingnya?

Sharma menggeleng pelan mengenyahkan pikiran tersebut. Seharusnya ia bersyukur karena Regan senantiasa di sampingnya.

Setelah pemeriksaan, Sharma dibawa kembali ke ruangannya. "Aku bosan tau, gak?" Regan membantunya untuk naik ke brankar, padahal ia sudah tidak apa-apa.

"Kamu mau apa?" Sharma menatap Regan. "Maksudku, mau makan apa?"

Sharma berpikir sejenak. "Mau ceker ayam yang pedes."

"Yang lain!"

"Tapi aku maunya itu!" Sharma merengek.

"Gak boleh makan pedes. Tadi kamu gak denger apa yang Tante Bunga bilang?"

Sharma cemberut, ia membuang muka. Bahkan kini beringsut duduk dan tidur membelakangi Regan. Menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Sama sekali Regan tidak membujuknya membuatnya berdecak pelan. Hingga tak sadar ia ketiduran.

Membuka matanya secara perlahan, ia membalik badannya, tidak menemukan Regan, tapi menemukan satu orang suster yang sedang fokus pada layar ponselnya. Saat suster itu menyadari dirinya bangun, suster itu tersenyum kemudian beranjak mendekati dirinya.

"Butuh sesuatu?" Suster itu membantunya untuk duduk.

"Mas Re mana?"

"Dokter Shaquille pulang ke rumah sebentar," jawab suster itu, lalu kemudian mengambil sesuatu. "Tadi Dokter Shquille ngomong ke saya, ini ceker ayam buat Mbak. Gak terlalu pedes. Tapi ada rasa pedesnya dikit kok."

Sharma diam menatap wadah berisi ceker ayam tersebut.

"Mau dimakan, Mbak?" Sharma mengangguk pelan. Suster itu pun menyiapkannya untuk ia makan. Sharma mengulum senyum di sela makannya. Menikmati ceker ayam tersebut. Tidak terlalu pedas, tapi tetap memenuhi keinginannya.

"Suster, saya boleh keluar jalan-jalan, gak?" tanyanya setelah makan. Suster itu menatapnya lalu mengangguk.

"Jalan-jalan ke taman, ya?"

Sharma akhirnya di bawa keluar dari ruang perawatannya. Tadi ditawarkan menggunakan kursi roda, tapi Sharma menolaknya. Sharma merasa tidak sakit keras. Tidak perlu menggunakan benda tersebut karena kedua kakinya masih sanggup untuk berjalan.

Memilih duduk di kursi taman. Menikmati angin yang tertiup pelan sehingga membuat rambutnya bergerak pelan. Ia meminta suster meninggalkannya sendiri. Ingin duduk sendirian, meski ada beberapa orang di taman itu juga.

Sharma mulai melamun. Hingga tidak menyadari ada yang mengamati dirinya. Apalagi setengah tubuh sosok itu bersembunyi di balik tiang pilar yang ada di koridor.

Sosok itu tersentak saat ada yang berdiri di sebelahnya. Menoleh menatap orang itu yang ikut mengamati Sharma.

"Keadaannya mulai membaik," ujar Regan. Seperti biasa datar. Apalagi sosok yang berdiri di sebelahnya tidaklah akrab dengannya.

"Kamu yang akan menikah dengan Ruri?" tanya Sabian pada pria muda di sebelahnya tersebut. Teringat jika pernah bertemu dengan pria itu di makam Randa, yang menenangkan Sharma saat histeris menatapnya.

Pria itu menoleh menatapnya kemudian mengangguk. "Saya calon suaminya."

Sabian mengangguk pelan. Menilik pria muda itu. Bisa menebak jika pria itu tidak seperti dirinya.

"Saya titip Ruri," ujar Sabian dan mengukir senyum tipis. Tidak menyangka jika putri kecilnya yang dulunya selalu merengek padanya sebentar lagi akan dipersunting. Ruri bukan putri kecilnya lagi.

Ia tidak diundang, Sabian cukup tau diri. Tidak akan memaksa Ruri menerima dan memaafkan dirinya. Karena ia pantas mendapatkan hal ini. Penyesalan yang tak kunjung usai. Bahkan, mungkin jika ia telah tiada, penyesalan itu tetap akan tertanam di dalam dirinya. Dalam jiwanya. Membawanya sampai ia mati.

Sebelum pergi dari sana, Sabian menatap Ruri yang kini sedang mengamati kucing liar, memanggilnya dengan tangannya. Tidak lupa tersenyum seakan ingin menarik atensi kucing tersebut.

Setelahnya Sabian pamit pada pria yang akan bersama dengan anaknya nanti.

Regan menatap kepergian ayah Sharma dalam diam. Langkah pria tua itu terseok-seok karena pincang. Pun tubuhnya yang begitu kurus serta rambutnya yang telah berubah berwarna putih.

Regan kemudian kembali menatap ke arah Sharma yang kini berhasil menarik perhatian kucing tersebut. Kucing itu telah duduk di sebelah Sharma sehingga Sharma dapat mengelus kepalanya.

Perhatian Regan tertuju pada sosok yang berada di ujung koridor sedang berdiri mengamati Sharma.

Regan tertegun melihatnya.

______________________


Siapa tuh?👀

Jan 12 2022

I HATE PERFECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang