56 | KEPUTUSAN

3.6K 374 21
                                    

"Mas Koko."

Regan menoleh saat pintu kamarnya terbuka. Mauri berdiri di sana.

"Di bawah ada Kak Sharma," ujar Mauri lagi.

Regan diam sejenak. Menunduk, kemudian kembali menatap Mauri. "Suruh pulang aja."

Mauri tidak langsung bergerak, diam menatapnya kemudian mengangguk pelan. Seraya menutup kembali pintu. Regan sendiri kini kembali menghadap ke arah meja belajarnya. Seraya menutup buku yang tadi dibacanya.

Pintu terbuka dengan kasar dan tanpa perlu menoleh, ia bisa menebak siapa yang membukanya.

"Kurang ajar kamu, Mas. Brengsek!" suara Sharma mengalun, terdengar sangat marah.

Regan masih di posisinya. Tangannya terkepal kuat. Memejamkan matanya sejenak.

"Mas, kenapa kamu lakuin ini?! Bukannya kamu mau nikahin aku?!" Kini Sharma berdiri di dekatnya, tapi ia tetap berada di posisinya. "Mas Re ..." Suara Sharma parau, tercekat.

Regan mendorong kursinya mundur, kemudian berdiri. Berhadapan dengan Sharma. Tidak ada ekspresi di wajahnya sama sekali.

Sharma tertegun menatap Regan. Sosok yang beberapa hari terakhir ini senantiasa menemaninya saat ia dirawat di rumah sakit. Menjanjikannya sebuah pernikahan, bahkan mau mengakui anak yang ada di dalam perutnya sebagai anaknya. Kenapa Regan tiba-tiba berubah? Bahkan Regan sekarang terlihat bagai orang yang tak berperasaan.

"Kenapa Mas gak mau nikahin aku? Kenapa Mas batalin pernikahan kita?!" desak Sharma, kini mengguncang tubuh Regan yang tetap diam. Merasa begitu sakit hati.

Regan yang tidak bisa dihubungi, bahkan tidak pernah datang lagi menemuinya. Juga tentang perkataan Ayah. Mengatakan jika Regan membatalkan pernikahan mereka. Apa maksud pria itu?

"Kamu gak cinta sama aku lagi ..." Sharma terhenyak, cengkeraman tangannya pada baju Regan melemah. Ia menatap Regan yang masih tanpa ekspresi.

"Mungkin awal pernikahan kita nanti berjalan baik, tapi kita gak tau akhirnya, kan?" ujar Regan layaknya pria bajingan membuat tangan Sharma melayang menampar pria itu.

"Fuck off! Bajingan kamu!" teriak Sharma nyalang.

Sharma kemudian melangkah, sebelum keluar dari kamar, ia menoleh menatap Regan. "Dan gak usah sok-sok'an perbaiki hubunganku dengan si bangsat itu!"

Mengingat jika kedatangan Benja saat itu semua karena Regan. Sharma tak ingin dikasihani. Terlanjur kecewa pada Regan yang ternyata membatalkan rencana pernikahan mereka demi memperbaiki hubungannya dengan Benja. Apa-apaan pria itu?!

Sharma keluar dari kamar itu, menutup pintu dengan kasar meninggalkan Regan yang terdiam membeku sendirian. Kedua tangan Regan semakin terkelap erat. Seakan menahan dirinya agar tak berlari mengejar Sharma.

"Waktu Daddy relain cinta pertama, rasanya sakit gak?"

Daddy tidak langsung menjawab pertanyaannya saat itu. Diam menatap dirinya. Lalu mendekat ke arahnya. "Kenapa kamu nanya seperti itu?"

Regan hanya diam. Daddy memegang pundaknya. Lalu mencengkeramnya dengan lembut. "Dulu Daddy relain, karena Daddy tau kebahagiaan dia bukan bersama Daddy. Rasanya sakit? Jelas sakit, sampai gak ada obatnya buat nyembuhin. Bahkan Daddy gak pernah nyangka bakal sembuh. Tapi, kita gak tau masa depan, Mas. Gak ada yang tau apa yang akan terjadi. Cukup yakin, kalau rasa sakit itu akan ada gantinya dengan kebahagiaan."

Sejak saat melihat Benja yang diam-diam mengamati Sharma saat itu membuat Regan yakin, jika tiap harinya orang yang selalu bertanya pada Suster yang ditugaskan merawat Sharma, adalah Benja. Juga tentang Sharma yang mencintai Benja.

I HATE PERFECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang