✧ Now Playing ✧
Djogja - Amorisa
---
Ketika Adiva duduk di dalam kereta, suasana Kota Yogyakarta terlihat damai dan sederhana. Adiva menatap keluar jendela, melihat pemandangan yang melintas dengan cepat. Kota Yogyakarta, dengan keindahan arsitektur bangunan tua yang masih berdiri kokoh.
Tidak sedikit pula andong dan becak yang melintas di jalanan. Suara gemerincing dan langkah kuda yang perkasa memberikan sentuhan nostalgia yang khas bagi kota istimewa ini, layaknya masa lalu yang masih hidup di tengah modernitas.
Adiva memutuskan pindah ke Kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Gumelar sebagai mahasiswa baru program studi Psikologi. Meskipun di Bandung Adiva akan tinggal bersama keluarga pakdenya, tetapi banyak sekali kekhawatiran ia pikirkan.
Nada dering handphone memecah keheningan, menampilkan nama 'Ibu' serta foto keluarga yang menjadi sampul. Sang ibu, Ganis, seakan terkoneksi dengan suasana hati putrinya.
"Assalamualaikum, Nduk." Suara hangat Ganis terdengar di ujung telepon.
"Waalaikumsalam, Bu. Adiva kangen," jawab Adiva dengan suara penuh kerinduan.
"Halah, kamu ini, Nduk! Ibu saja belum pergi dari stasiun kamu sudah bilang kangen," omel Ganis yang hanya dibalas cengiran oleh Adiva.
"Gimana? Nyaman enggak keretanya, Nduk?" tanya Ganis selanjutnya.
"Nyaman, Bu. Ayah mana?" jawab Adiva, lalu bertanya keberadaan Randu, ayah Adiva, yang tidak terlihat di layar.
Ganis terlihat celingukan di seberang layar mencari keberadaan sang suami. "Aduh! Ayah kamu ini langsung lari ke mobil. Dia nangis sehabis kamu masuk kereta, masa katanya kita harus tengok kamu seminggu sekali. Ada-ada saja."
Adiva tertawa mendengar pernyataan dari Ganis. Sedari rumah memang sang ayah sudah tampak khawatir. Bahkan, Randu mengenakan kacamata hitam untuk menutupi mata sembabnya.
Bukan tanpa alasan Randu berperilaku demikian. Adiva adalah putri tunggal. Butuh waktu lama untuk Adiva mendapatkan izin kuliah di luar kota. Hingga pada akhirnya diberi izin, tetapi dengan catatan Adiva harus tinggal bersama keluarga Galuh, yaitu kakak dari Ganis, yang berarti adalah pakdenya.
"Ingat perkataan Ibu, Nduk. Jangan jadikan Bandung sebagai tempat pelarian dari kenanganmu dengan Sadam. Tinggalkan semua yang ada di sini. Kamu harus mengejar mimpimu dan memulai hidup baru. Ibu yakin kamu pasti bisa beradaptasi. Salam untuk pakdemu dan keluarganya."
Itu adalah pesan terakhir dari Ganis sebelum telepon video berakhir. Sang ibu benar, memang melupakan Sadam adalah hal yang tidak mungkin, tetapi Adiva harus berdamai dengan kenyataan dan melanjutkan hidupnya.
Kota Yogyakarta memang kota istimewa. Terima kasih karena sudah menjadi tempat pertemuan sekaligus perpisahan Adiva dengan Sadam. Adiva akan selalu merindukan dan mencintai Sadam.
•••
Adiva menghela nafasnya saat melangkah keluar dari gerbong kereta yang baru saja berhenti di stasiun. Di ujung stasiun, pria tua dengan tubuh yang terlihat masih gagah berdiri mengenakan seragam loreng khas TNI AD.
Letnan Kolonel Galuh Sudrajat, beliau pemuda asli Yogyakarta yang mengemban tugas di Bandung dan menikahi gadis tanah Pasundan bernama Rumini.
Galuh menjemput Adiva bersama kedua putranya. Anjar Sudrajat, mahasiswa semester tiga program studi Teknik Sipil di Universitas Gumelar, kakak sepupu Adiva sekaligus akan menjadi kakak tingkatnya di kampus. Anjar mempunyai adik bernama Andre Sudrajat, putra bungsu berusia lima tahun yang kini berlari dengan antusias ke arah Adiva.
"Mbak Adiva!" panggil Andre seraya memeluk tubuh Adiva untuk melampiaskan rasa rindunya.
Sambutan hangat dari Andre mengundang senyum di wajah Adiva. "Andre, apa kabar?" tanyanya dengan senyum lembut, mencoba mencairkan kekakuan yang ada.
"Andre baik, Mbak." Andre melompat untuk memeluk tubuh Adiva, tangannya yang mungil merangkul dengan penuh kehangatan
Sesampainya di hadapan Galuh, Adiva segera memberi salam. "Selamat datang di Bandung, Adiva," sapa Galuh dengan senyuman hangat, layaknya senyuman seorang ayah kepada putrinya.
"Terima kasih, Pakde," jawab Adiva dengan tulus. "Maaf, Pakde, Adiva jadi ganggu jam kerja, Pakde."
Belum Galuh menjawab ucapan Adiva, Anjar segera mengambil alih koper merah muda yang masih Adiva genggam. "Alah, Div. Lo ini kaya enggak tahu Papah aja, Papah kayanya lebih sayang sama lo daripada anak-anaknya," sahut Anjar dengan nada bercanda.
Ucapan Anjar memang benar adanya. Sedari kecil Adiva adalah putri kesayangan Galuh, bukan hanya karena Adiva adalah ponakan satu-satunya, tetapi kata sang ibu kehadiran Adiva adalah obat bagi Galuh dan Rumini yang sangat menginginkan anak perempuan.
Setelah percakapan kecil tersebut Adiva dibawa menuju ke rumah mereka. Saat tiba di rumah keluarga Galuh, Adiva merasa sedikit kagum dengan kehangatan dan keramahan yang ditunjukkan oleh keluarga Galuh. Rumah yang terletak di sebuah lingkungan tenang, dengan halaman yang luas di depannya.
"Selamat datang di rumah kami, Adiva," ujar Rumini, menyambut dengan senyuman hangat, seraya menggandeng lengan Adiva.
Seluruh sudut rumah di perkenalkan oleh Rumini, termasuk kamar yang akan ditempati oleh Adiva. Kamar dengan cat merah muda yang persis bersampingan dengan kamar Anjar. "Ini kamarmu, Div. Bude sudah tata seperti kamar gadis pada umumnya. Suka tidak?" tanya Rumini.
Lantas Adiva langsung mengangguk. "Suka sekali, Bude. Terima kasih."
Rumini tersenyum lega. "Syukurlah kalau kamu suka. Simpan saja dulu kopermu di sini. Ayo kita makan malam, pasti kamu laper, kan."
Kedatangan Adiva disambut dengan makan malam keluarga. Adiva yang awalnya canggung, kini merasa lega karena diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga Galuh.
"Gue enggak sabar, deh, ajak lo jalan-jalan keliling Bandung," ucap Anjar dengan antusias, senyum lebarnya tak tertahankan ditengah makan malam mereka.
"Awas saja kalau kamu ajak Adiva bergaul dengan gang begajulan mu itu," ancam Galuh.
Anjar menatap malas ke arah sang ayah. "Udah berapa kali Anjar bilang, Pah. Itu bukan gang, tapi komunitas. Mereka enggak begajulan. Mereka sering ngadain bakti sosial ke masyarakat juga, kok," jelasnya.
"Tapi, Mas, rambut mereka gondrong. Andre takut." Kini giliran Andre yang menyahuti.
"Namanya anak teknik, Cil. Kamu enggak akan ngerti," jawab Anjar.
Rumini tertawa kecil. "Terus kenapa kamu enggak gondrong, Mas?" tanyanya pada Anjar.
Anjar menjawab dengan tangan yang masih sibuk menyendok nasi. "Pengen, sih, tapi gamau, ah. Takut dibotakin Letkol."
Mereka semua tertawa mendengar jawaban dari Anjar. Layaknya seorang ayah pada umumnya, Galuh adalah kepala keluarga yang cukup keras mendidik putra-putranya. Makan malam terasa sangat nikmat dengan sisipan candaan dari Anjar dan Andre.
Hingga sebelum makan malam berakhir Galuh berpesan pada Adiva. "Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Div. Jangan lagi panggil kami Pakde dan Bude, panggil saja Papah dan Mamah seperti Anjar dan Andre memanggil kami. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuatmu nyaman tinggal di sini."
Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Adiva merasakan kehangatan saat mendengar kata-kata tersebut. Ia tersentuh oleh keramahan dan kehangatan keluarga Galuh. Merasakan getaran kebahagiaan di dalam dada, ia membalas dengan anggukan yang penuh makna. Semoga ini menjadi awal baik dari petualangan barunya.
---
Terima kasih, sudah membaca. Tunggu part berikutnya, ya.
See u, love!
KAMU SEDANG MEMBACA
Healing Bonds [On Going]
Fiksi RemajaDitinggal sang kekasih untuk selama-lamanya membuat Adiva merasa terjebak dalam kegelapan yang tak berujung. Setiap sudut Kota Yogyakarta dihiasi oleh kenangan manis bersama sang kekasih. Hingga suatu hari, Adiva memutuskan untuk melanjutkan pendi...