Bab 8 : Si baik hati

51 1 0
                                    


"Kok sedih?Kalah main game ya?"

-Rara

Beradu dengan waktu, Awang terlalu takut dirinya kehilangan lagi orang yang tersayang. Ia masih mengenakan seragamnya yang belum sempat diganti dan menaiki kendaraan umum dengan perasaan cemas, dirinya tenggelam pada renungan soal adiknya. Sesampainya di pintu masuk rumah sakit, ia segera menuju ruang gawat darurat dan mencari di mana Rara berada.

"Hey jangan berlarian!" Tegur salah satu satpam disana.

"Maaf pak, adik saya katanya ada di sini," Ucap Awang dengan nafas yang berat.

"Sudah tunggu di ruang tunggu terlebih dahulu, di sini soalnya banyak pasien yang masih ditangani." Sambil membawa Awang menuju ruang tunggu.

Awang tidak perlu melawan karena semua ini juga demi kebaikan yang lainnya. Ia pun terduduk sambil memandangi suasana ruang tunggu yang juga dipenuhi para orang-orang yang sedang menunggu kepastian. Awang merasa ada satu ikatan di antara orang-orang yang sama menunggu. Setidaknya ia tidak sendirian untuk menanggung rasa cemas.

Kesedihan kembali datang pada dirinya, Awang perlahan menunduk untuk menyembunyikan kesedihannya kepada banyak orang. Dirinya sudah tidak mau merasa kesal pada dunia, dirinya hanya ingin satu yaitu kesembuhan Rara dan berharap Rara masih bisa hidup.

Entah mengapa tiba-tiba Awang rindu akan kehadiran rasa bahagia, akhir-akhir ini dunianya hanya tentang luka juga kesedihan. Namun, Awang menjadi teringat disaat dirinya sedih, pasti Rara selalu hadir menghiburnya. Tetapi, rasa sedih itu menjadi hal mutlak untuk saat ini.

Awang perlahan tertunduk dan hanya menciptakan pikiran-pikiran negatif tentang nasib Rara. "Apakah Rara akan mati? Atau apakah Rara akan tambah parah lagi" Begitulah sisi kejam dari hati yang tak kenal malu untuk menganggu pikirannya. Tapi yang perlu dilakukan saat ini adalah ketenangan, meskipun memang di-ambang ketidakpastian.

***

Sesaat Awang pulang, ia memilih untuk duduk terlebih dahulu dan berdiam diri di tangga teras depan rumah. Dirinya seperti memikirkan sesuatu yang begitu berat saat itu. Ia hanya termenung saat itu tanpa ada alasan yang jelas dari wajahnya. Ia memandang langit dan hanya diam yang sepi yang menyertai dirinya.

Rara yang sedang asik bermain di sekeliling rumah, seketika melihat Awang dari belakang. Ia merasa penasaran dengan apa yang terjadi pada kakaknya. Rara kecil mendekati Awang dengan cara mengendap-endap. Perlahan langkahnya mendekati Awang.

"DORRR!!!"

"MAMA!!!" Sambil mengangkat kedua tangannya secara spontan.

Awang terkejut bukan main, ia merasa dunia seakan berakhir seketika ketika ada hal yang tiba-tiba mengejutkannya. Rara tak bisa menahan tawa, ia benar-benar berhasil menjahili kakaknya yang sedang termenung sendirian. Awang sebenarnya ingin memarahi Rara segera. Namun, ia sadar bahwa Rara masih kecil dan belum tahu apa-apa.

"Kak? Kakak nangis ya?"

"Engga, sotau kamu!" Sambil mengusap air mata dengan cepat..

"Kata Ayah, kalau seorang laki-laki menyendiri dan memandang langit lalu termenung itu pertanda ia sedang sedih atau memikirkan masa depan."

Kata-kata Rara sungguh membuat Awang sedikit kagum. "Kakak kok bisa sedih? Kalah main game ya?" Sontak Awang terkejut dengan perkataan Rara yang benar-benar menebaknya. Awang baru saja dikalahkan teman rental Psnya dan diolok-olok secara terus meneurs, hingga pada akhirnya ia memilih meninggalkan mereka hingga menangis.

"Engga ah! Kamu ada-ada aja." Sambil berusaha berdiri dan berniat meninggalkan Rara.

"Kakak mau kemana?"

"Ke kamar! Males diganggu Rara terus!"

"Aku ikut!"

"Ngapain?"

"Mau loncat-loncat dikasur kakak!" Sambil berlari menuju kamar Awang dengan cepatnya

"RARA..." Awang begitu kesal dibuatnya.

Di saat Awang menyampaikan rasa kesalnya, ia merasa Rara adalah adiknya yang pengertian. Ia mencoba menghibur kakaknya yang sedang bersedih, meskipun dengan sikap menyebalkannya. Rara kecil seperti malaikat hatinya, ia terus mengikuti bagaimana alur kakanya berjalan.

Juga, Awang sempat berpikir bahwa adiknya bisa menjadi motivasi terbesarnya suatu masa nanti, ataupun teman curahan hatinya di saat dirinya kesepian. Awang berharap dirinya dan Rara bisa benar-benar saling menjaga dan berhenti bertengkar setiap harinya.

"Yeay!! Aku bisa loncat-loncat di kasur kakak!"

"Rara turun! Nanti kasurnya rusak!" Tegur Awang

"Ayo kak ikut! Kakak pasti mau juga." Rara begitu bahagia melompat-lompat di atas kasur kakaknya.

"Apaan, kakak udah gede yah! Bukan kaya kamu yang masih mau main terus! Udah cepet turun!"

"Aku mau turun kalau kakak ikut loncat sekali aja ..."

"Engga! Kalau kamu gamau turun, kakak gabakal jajanin es krim!"

Sontak Rara berhenti dan turun dari kasurnya Awang. "Huuh, mainnya curang! Es krim mana bisa Rara tolak!" Awang tersenyum dengan sikap menggemaskan Rara soal es krim. Ia akhirnya menyadari kelemahan Rara soal es krim kesukaannya, yaitu Cake and Cookies.

Masa-masa kebersamaan mereka benar-benar indah, meskipun banyak sekali pertengkarannya kakak adik tidak akan pernah berpisah. Semua hal yang pernah mereka lewati terasa singkat, hingga pada akhirnya bencana juga kesedihan mulai datang.

"Aduhh sakit!!" Teriakannya memenuhi seluruh ruangan dan mengejutkan seisi rumah.

Semua orang mendatangi kamar Rara dan menjumpai Rara sedang berusaha berdiri dari kasurnya, ia memegangi perutnya dengan dua tangan yang terdapat benjolan kecil di sekitaran pinggang. Wajahnya pucat dan seperti kekurangan darah. Semua orang panik dan berusaha membawanya menuju rumah sakit.

Saat dibawa menuju rumah sakit, dokter memvonis Rara mempunyai tumor jinak dan kanker wilms yang sudah tertanam sejak lama pada tubuhnya. Seketika suasana rumah saat itu benar-benar kacau. Di malam hari ayah dan mamah saat itu berdebat dengan hebatnya.

"Kamu sih ngurus anak ga becus! Kerja terus! Liat anak kita jadi begini!" Bentak Ayah dengan nada tingginya memarahi sang istri.

"Kok bisa-bisanya nyalahin aku?! Kamu tuh pendapatan ga cukup masih mau marahin aku yang kerja demi nambal semua keuangan!"

Awang hanya berdiam diri di kamarnya, ia hanya menangis dan menutup mulutnya agar tak menimbulkan suara. Dirinya benar-benar kehilangan semuanya saat itu. Rara dengan penyakit parahnya, mamah dengan kesibukannya hingga jarang sekali pulang, dan ayah yang mencoba membeli perkataan mamah dengan bekerja ke luar negeri.

Di saat itulah Awang menjadi pengganti ayah dan mamah untuk Rara yang kesepian dan merasakan sakit yang begitu hebatnya.

***

"Hei!" Suara samar seketika terdengar juga ditambah dengan guncangan yang membuat Awang bingung.

"Awang bangun!"

Awang terkejut, ternyata ia tertidur di ruang tunggu rumah sakit. "Eh Kak Fida!" Sambil mengusap wajahnya dari bekas tidur dan tangisan.

"Kamu ketiduran?"

"Iya kak!"

"Yasudah nih ganti baju dulu, terus cuci muka." Sambil memberikan baju dan memberikannya botol berisi air.

"Rara gimana?"

"Rara sedang dioperasi, tumor Rara tumbuh di sisi yang lain, jadi besar kemungkinan aman."

Nafas lega terlihat pada diri Awang, ia langsung berlari menuju kamar mandi rumah sakit untuk mengganti baju dan mencuci mukanya. Kak Fida yang menatap Awang sedang berlari merasa prihatin. "Awang, berat rasa sedihmu sampai kesedihan itu membuatmu tertidur. Saking lelahnya mungkin."

Saat selesai mengganti baju dan mencuci muka.

"Awang!" Suara yang begitu Awang kenal.

Running After You (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang