"Sepi, kalau kamu bisa membuatku setidaknya tenang. Iringilah dirimu padaku. Namun, jikalau kamu malah akhirnya menjatuhkan, mohon dirimu jauhlah dariku. Aku tidak mau berputus asa karena mu. Aku punya hangat akan adik juga orang yang peduli dengan ku."
-Awang
"Awang!!" Suara dari sisi lain memanggil dirinya.
Pandangan Awang teralihkan dan meneliti dari mana suara yang memanggil namanya. Setelah ia mencari-cari ada seseorang yang menghampiri dirinya.
"Pak Tikus dan Pak Wadu!!" Sambil segera menghampiri mereka berdua dan berniat untuk memeluk. Pelukan itu datang dan ini yang sebenarnya Awang benar-benar ia rindukan, tentang pelukan dari orang tua yang menyayangi anaknya.
"Hai nak, turut prihatin yah dengan Rara yang kembali harus dioperasi." Sambil mengusap rambutnya Pak Wadu begitu berempati kepada Awang dan Rara.
"Makasih yah pak, udah datang." Akhirnya Awang melepaskan pelukan dan mengusap air matanya yang kembali mengalir. "Udah jangan nangis lagi, kasian mata kamu tuh sembab begitu," Ujar Pak Tikus mencoba menghibur Awang.
"Haha, ini mah bangun tidur pak." Padahal Awang benar-benar menangis dan terus menangis meratapi hidupnya yang diselimuti ketakutan dan kesedihan tiada henti. Pak Tikus dan Pak Wadu membawa makan malam untuk Awang.
"Nih buat kamu, pasti belum makan ya kan?" Tanya Pak Wadu. Awang mengangguk sambil tersenyum, betapa perhatian kecil yang begitu berharga dari orang yang sama-sama mengalami kesedihan tentang orang tercinta jatuh sakit.
"Makasih banyak pak," Ucap Awang sekali lagi.
Mereka bertiga duduk di bangku ruang tunggu sembari mengobrol, bercanda, juga makan malam bersama. "Kamu gak ngabarin Arsen sama Ezra?" Tanya Pak Wadu. Awang hanya menggelengkan kepala, pertanda ia tak ingin terus menerus mengandalkan temannya. Lagi pula malam Minggu ini mereka berdua sedang menikmati kebahagiaan bersama keluarga.
"Eh, Awang siapa ini?" Tanya Kak Fida penasaran.
"Eh, Kak Fida. Kenalin kak, ini namanya Pak Wadu dan ini namanya Pak Tikus alias Tian Kusnandar." Sambil mencoba saling mengenalkan.
Akhirnya setelah saling mengenal, Kak Fida mengajak semuanya untuk menuju ruang rawat Rara yang masih dalam pengaruh obat bius pasca operasi. Mereka memasuki ruangan secara perlahan, tidak mau berisik karena tidak berani membangunkan Rara.
Saat mereka mendekat menuju ranjang Rara, sontak mereka pun terkejut dengan apa yang dilihat. Rara seperti dikelilingi banyak selang medis yang terpasang hampir di seluruh badannya. Bisa terbayangkan betapa sakitnya dan betapa sulitnya tim medis untuk membantu Rara melawan penyakit serius ini.
"Ra ..." Suaranya pelan dan lembut dari Awang yang mencoba berinteraksi dengannya.
"Ini Kakak Ra." Ucapannya perlahan tersendat karena tak tahan menahan sedih.
Awang memegang tangan Rara yang terlihat lemas juga terasa dingin, ia menggerakan ibu jarinya untuk menantikan respon balasan dari tangan Rara.
"Ra, sekarang kamu udah gak kesepian lagi. Tuh liat, ada Kak Fida, ada Pak Tikus yang selalu bikin kita ketawa, juga ada Pak Wadu yang perhatian ke kita Ra, kamu jangan pernah merasa kesepian ya. Kamu masih harus terus berharap dan kamu harus jadi harapan kakak terus."
Melihat Awang yang begitu sedihnya, suasana ruangan terasa emosional. Kak Fida, Pak Tikus dan Pak Wadu juga merasakan bagaimana rasanya sakit diiringi hati yang kesepian.
Karena waktu yang terbatas, juga banyak pasien yang akan segera dioperasi seorang perawat memerintahkan mereka untuk kembali ke ruang tunggu hingga Rara dipindahkan ke ruang rawat inap. Pada akhirnya mereka pun beranjak dari ruangan, saat sudah sampai kembali di ruang tunggu Pak Tikus dan Pak Wadu izin untuk pamit terlebih dahulu.
"Wang, kami berdua pamit yah. Saya mau menjaga istri saya dan Pak Tikus mau menjaga anaknya kembali." Sambil memegang pundak Awang untuk menenangkan rasa sedihnya.
"Iya pak, makasih banyak yah udah bela-belain malem ke sini. Salam buat istri bapak juga anak bapak." Awang memeluk keduanya sebagai ucapan terima kasih yang mendalam.
Tak lama mereka berdua pergi dan kembali menuju rumah singgah. Kini Awang juga ditinggalkan oleh Kak Fida yang sudah dijemput oleh suaminya. Rasa kesepian itu muncul lagi, namun karena sudah terlalu sering ia merasakannya, Awang memutuskan untuk berteman dengan sepi itu sendiri.
"Sepi, kalau kamu bisa membuatku setidaknya tenang. Iringilah dirimu padaku. Namun, jikalau kamu malah akhirnya menjatuhkan, mohon dirimu jauhlah dariku. Aku tidak mau berputus asa karena mu. Aku punya hangat akan adik juga orang yang peduli dengan ku." Sambil duduk di atas sofa ruang tunggu rumah sakit, dengan suasana sepi yang menghiasinya.
Hari semakin larut dan tubuh Awang sudah mulai kelelahan. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur dan merebahkan badannya yang terus menerus menanggung kesedihan. Ia berusaha memejamkan matanya perlahan, meskipun banyak nyamuk yang mengganggunya.
"Hei," Ucap seorang Ibu-ibu yang mencoba bicara padanya.
"Iya bu?" Tanya Awang penasaran.
"Nih." Sambil mengulurkan tangannya memberikan body lotion anti nyamuk.
Senyum simpul dari Awang muncul tiba-tiba kepada ibu itu. ia sangat membutuhkan lotion itu untuk dirinya bisa terhindar dari gangguan nyamuk. "Makasih banyak ya bu." Awang mengembalikan lotionnya kepada ibu itu.
"Sama-sama semoga tidurmu tenang ya."
Awang mulai berusaha tertidur, dia sekarang merasa tenang karena nyamuk sudah tak menganggunya lagi, terlelaplah ia untuk mengizinkan dirinya beristirahat.
Di kejauhan ibu itu justru belum tertidur, ia melihat Awang yang berada di sudut ruangan. Entah ia merasa sejak melihat Awang rasa empati itu mulai muncul, melihatnya tertunduk hingga menitihkan air mata juga tertidur karena terlihat dirinya begitu kelelahan.
"Entah kenapa nak, bahkan kamu mengingatkan aku pada anakku yang sepantaran denganmu."
Ibu itu akhirnya mencoba tertidur, ia juga sama seperti Awang yaitu menunggu. Ia menunggu anaknya yang terkena usus buntu hingga dirawat di ruang ICU. Sebenarnya ia sudah tak kuasa lagi untuk tinggal di ruang tunggu rumah sakit hampir tiga hari lebih. Namun, apa boleh buat, demi seorang anak juga suami yang telah tiada, ia rela melakukannya. Ibu itu pun terlelap sama seperti Awang.
***
"Hei bangun." Sambil menepuk pundak Awang."
Satpam itu mencoba membangunkan para pengunjung yang menginap. Awang terbangun dan kembali tersadar dari tidurnya. "Baik pak." Sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Awang segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menunggu Rara dipindahkan menuju ruang rawat inap. Saat ia berjalan, dirinya melihat ibu yang tadi malam masih mengantuk hingga dirinya bersandar pada tembok dan mencoba tidur kembali. "Itu ibu tadikan yah? Kasian banget, aku coba beliin susu sama roti ah biar ibu bisa sarapan." Niat Awang dalam hati ingin membantu ibu itu.
Selang beberapa lama, ia membelikan susu dan roti untuk ibu. "Ibu, nih ada makanan dan susu buat ibu." Sambil menjulurkan tangannya berniat untuk memberi.
"Wah terima kasih yah!"
"Sama-sama bu, makasih juga udah ngasih lotion anti nyamuk." Sambil membuka makanan dan berniat sarapan bersama.
Lalu ibu mulai terpikirkan masalah semalam. "Oh iya, ibu sebenarnya liat kamu dari kemarin. Kamu itu mengingatkan sama anak saya. Dia sepantaran sama kamu."
"Oh iya? Berarti ibu sedari kemarin liat aku menangis?"
"Iya."
"Oalah bu, aku malu ahaha..." Mereka berdua saling tertawa.
"Tidak apa-apa nak, menangiskan bukan selamanya kita lemah."
"Betul juga."
Awang menjadi terpikirkan dan berniat bertanya siapa namanya, meskipun ia hanya berniat ingin tahu saja. "Oh iya bu, kalau boleh tau anak ibu perempuan atau laki-laki? Terus namanya siapa ya?"
"Anak ibu laki-laki. Namanya Farrel Haris."
Sontak Awang terkejut mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Running After You (Revisi)
Novela JuvenilKetika jalan hidup memaksa dirimu untuk memilih salah satu yang kau cintai, dari dua yang berarti untuk dirimu. Maka korbankanlah salah satunya.