Bab 4: Usaha

57 2 2
                                    

"Kesepian adalah bentuk kegagalan seorang manusia yang ditakdirkan berjiwa sosial."

-Awang

Dengan berjalan menuju sebuah halaman yang luas, di sana ramai sekali anak-anak yang bermain dan ada beberapa orang dewasa yang merawatnya. Sepertinya ini adalah suasana keramaian yang ingin Awang persembahkan kepada Rara, karena sudah lama tak melihat dunia luar.

Seketika ada seorang anak lelaki terlihat sepantaran dengan Rara.

"Nama kamu siapa?" Tanya seorang anak kecil dan dengan polosnya bertanya kepada Rara.

"Tuh, jawab Ra." Rara merasa gugup dan canggung, karena jarang sekali ia berbicara dengan orang asing.

"Emm ... Ra... ra." Ucapannya yang terbata-bata, Rara sedikit mengumpat di balik badan Awang.

Lalu anak lelaki itu mengulurkan tangannya, "Aku Fahri." Uluran tangan itu disambut malu-malu oleh Rara, dengan perlahan akhirnya mereka berjabat tangan, Fahri menariknya menuju keramaian. Awang yang melihat itu merasa bahagia, karena Rara pada akhirnya menemukan teman senasib dengan dirinya dan Rara memunculkan senyum lebarnya setelah sekian lama tidak tersenyum.

Ternyata penyakit paling sakit itu bukan kanker yang ada pada diri Rara, namun kesepian adalah penyakit yang paling menyakitkan sebagai manusia berjiwa sosial. Awang merasa kasihan sekaligus haru pada kesempatan kali ini.

"Halo, ada keperluan apa disini?" Ucap salah satu pegawai disana.

"Oh, Halo mba, ini saya mau singgah di sini bisa? Aku bawa adikku namanya Rara. Dia sedang menjalani perawatan jalan soal kankernya." Awang seketika memberikan surat yang ditulis Fida saat itu, surat rekomendasi dari dirinya sendiri juga pesan-pesan yang ditulis untuk rumah singgah.

Setelah membaca surat tersebut, pegawai tersebut memahami apa yang ditulis Fida di dalam surat itu.

"Baiklah, sebelumnya perkenalkan saya Sarah, pemilik rumah singgah ini."

"Perkenalkan juga, saya Awang kakaknya Rara."

"Mari." Sambil menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh Awang dan Rara.

Saat masuk ke dalam, terlihat begitu hangat dan ramai anak-anak sedang bermain, mereka satu persatu melihat Awang dengan mata polosnya.

"Kak tampan!" Teriak salah satu anak perempuan yang berada disitu. Seketika seisi ruangan tertawa dan mengikuti langkah dari Awang.

"Maaf ya, anak-anak memang suka cari perhatian." Ucap Sarah.

"Gak apa-apa kok kak, saya suka anak kecil yang riang."

"Oh ya! Ngomong-ngomong kenapa gak di rumah sendiri saja?" Tanya Sarah penasaran, pasalnya ia tak melihat sosok orang tua yang mendampinginnya.

"Emm ... sebenarnya ada, tapi aku mau biarkan Rara beradaptasi dengan dunia luar. Karena Mamah selalu sibuk bekerja, dan Papah berada di luar negeri. Jadi, aku ingin Rara gak kesepian saat aku nanti sekolah. Tapi, aku udah izin mamah sama papah kok!"

Sarah pun mengerti mengapa Fida begitu ingin Awang dan Rara tinggal di rumah singgah miliknya, karena berlandaskan rasa kasihan juga mereka berdua sangat lucu dan mudah akrab dengan yang lain.

Akhirnya Awang dan Rara resmi tinggal di rumah singgah. Di dalamnya memiliki suasana baru dan hangat akan selalu mengelilingi mereka. Sebab pada pribadi masing-masing dari mereka tentunya dipenuhi harapan yang besar untuk bisa sama-sama bertahan dari penyakit yang ganas. Maka dari itu, mencari hal senasib kepada seseorang kesepian adalah pilihan tepat.

Senyum dari Rara sudah kembali dan membuat Awang menjadi lebih bahagia dari sebelumnya. Mengembalikan keceriaan pada seorang anak kecil tentunya membuat siapa saja yang berjuang memiliki harapan yang panjang.

***

"Kemana aja lu! Liburan gak main kerumah gua?" Tanya Ezra yang kesal dengan Awang, karena dirinya tak hadir kerumahnya untuk bermain bersama. "Gua ngurusin Rara Za." Dengan perkataan Awang yang lugas, Ezra sedikit meredam kesalnya.

"Emang dia kenapa lagi?" Tanya Arsen.

"Gua sama Rara pindah ke rumah singgah, buat rawat lebih lanjut soal kankernya."

"Kenapa gak dirumah?"

"Sepi."

"Bibi lu?"

"Gua suruh gak kerja."

"Terus yang ngurus rumah?"

"Ada paman gua sama mba, tenang aja."

"Terus Rania?"

"Ada dihati gua!!!" Ucap Awang dengan sedikit berteriak.

Seketika mereka tertawa mendengar pernyataan dari Awang. "Udah siap perang belum? Naklukin si batu?" Tanya Ezra mencoba memastikan tekad Awang. "Tekad si ada, tapi bahan-bahan belum. Terlalu sibuk sama Rara." Sepertinya Awang sudah mulai sedikit mundur dengan perkembangannya mendekati Rania.

Awang mesti memulai lagi untuk membuat hati Rania tertuju padanya. "Tapi Wang, emang lu ga cape? Rania kayaknya terlalu batu menurut gue," Ujar Ezra. Ucapan itu tak dibantah sedikit pun oleh Awang, karena hal yang dinyatakan temannya itu adalah fakta yang konkrit dan merupakan data tak terbantahkan.

"Emm ... besok bantu gua!" Ucap Awang.

Sontak Arsen dan Ezra terkejut dengan apa yang menjadi jawaban Awang. "Besok ngapain?" Dengan nada bingung, Arsen terkadang bingung dengan isi kepala Awang yang mendadak tidak bisa ditebak.

"Besok gua mau—"

Dengan menjelaskan secara rinci, Arsen dan Ezra agak terkejut dengan apa yang akan menjadi rencananya besok. Meskipun sedikit bingung, mereka berdua menyanggupi permintaan Awang.

***

Pelajaran terakhir telah berakhir, semua orang berniat untuk kembali pulang, Awang berniat untuk mengerjakan rencananya sekarang. Agar besok hari adalah pelaksanaanya.

"Lu gamau balik aja Wang? Udah sore banget nih," Ucap Arsen yang sudah agak tidak tenang jikalau ia pulang terlambat. "Kalau lu mau balik juga gapapa kok Sen, lu juga Zra, kalau mau balik gapapa." Awang sudah bertekad ingin menyelesaikan rencananya sekarang.

Akhirnya Ezra dan Arsen izin pamit pulang, Awang tidak mengapa akan hal itu. Pasalnya dirinya juga sudah agak tenang Rara berada ditempat yang ramai, yang dimana dia tidak akan kesepian lagi.

Dengan seriusnya Awang menumpahkan semua ketulusan hatinya pada Rania lewat apa yang ia kerjakan sekarang, nampak Awang menuliskan beberapa kata dalam tulisan dan membuka buku-buku soal sastra yang ia pinjam dari perpustakaan. Kejutannya ternyata soal sastra dan kata-kata.

Sore pun semakin nampak, kali ini sudah agak mulai menunjukkan sayup cahayanya.

"Yes!! Berhasil!!" Awang dengan girangnya merasa bahagia. Dengan menyeringai Bahagia.

Usahanya tidak sia-sia, ditambah lagi suasana kelas yang sepi membuatnya semakin mudah mengekspresikan perasaanya dengan meloncat-loncat kegirangan.

Semua pekerjaan yang akan diserahkan pada Rania besok, ia simpan pada kotak yang indah, sepertinya ia benar-benar akan menjaga hal itu dalam rangkulannya. Nampak ekspresi wajah yang tulus dari wajah Awang sungguh membuat suasana sore semakin menghangatkan. Semyumnya rekah, perasaanya lega setengah, karena keseluruhan akan terlaksana besok.

Awang berjalan meninggalkan kelas, dan berjalan pada lorong yang mesti ia lewati. Saat dirinya berjalan, ia sedikit menengok pada kelas Rania, nampak kosong dan sepi, dirinya sudah terlalu hapal dimana letak Rania duduk, dan dimana Rania sering mengobrol dengan teman-temannya.

Saat semua sepi dan kosong, ia berjalan perlahan menuju gerbang sekolah, suasana sekarang sudah benar-benar sepi dan kosong, hanya beberapa orang seperti pedagang dan penjaga sekolah yang bersiap menyambut malam.

Tia berlari ketakutan dengan sangat panik. Ia melihat sesosok pria yang berjalan melewati gerbang, ia tak peduli siapa dirinya hanya ingin meminta pertolongan. Tia menghampiri pria itu dengan tergesa-gesa. Ia menghampirinya dengan nafa yang tak karuan.

Dengan nada memelas Tia berniat untuk bicara pada pria itu.

"TOLONG!!!"

Running After You (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang