"Kalau kita tidak bisa menerima kesalahan orang, lalu apakah kita merasa sempurna?"
Entahlah, ada apa dengan dunia Awang sekarang. Dirinya dirundung rasa gelisah setiap harinya sebelum ayah datang tanpa kata. Ia masih menyimpan rasa kesal karena harus dipaksa berjuang sendirian, merawat Rara dan mengurusi sekolahnya pula. Terlebih, Awang merasa masa remajanya akan sia-sia jika hanya dirundung sedih dan derita.
Ia ingin menjadi remaja pada umumnya. Mempunyai teman satu frekuensi, berkumpul sesuai hobi dan mencari cinta dengan yang ia cintai. Namun, Awang sudah menerima itu semua jauh-jauh hari. Merelakan masa remaja SMA yang seharusnya indah, seru dan penuh canda tawa. Sedih memang, tapi Awang sudah menelan itu semua bulat-bulat tanpa sisa.
Awang sedang berada di jembatan sekitar kota untuk mencari udara segar dan melihat lautan lepas disana. Bergelut dengan jalan pikirannya yang terus menerus bertabrakan, melihat awan putih dan langit biru untuk menenangkan pikirannya.
"Oh iya, nilaiku kayaknya ancur deh. Sering izin jarang mengerjakan tugas," Ucap Awang dalam bisiknya.
"Tak apalah jika memang tidak naik kelas. Yang terpenting ayah sudah pulang, dan aku sedikit lega."
Rasa pasrah dan menerima keadaan sudah bisa Awang terima sekarang, setelah sebelumnya ia hanya bisa menerima penderitaan dan keluhan.
"Oy! Ngapain lu disana, mau bunuh diri yah?!" Teriak seseorang dari kejauhan.
Awang pun menoleh, dan melihat sumber suara yang mengalihkan perhatiannya. Ternyata itu adalah Arsen dan Ezra, ia tersenyum di seberang jalan sana dan berusaha menyebrang.
"Sendirian aja lu, kayak paling kesepian di dunia ini." Sambil menepuk pundaknya Arsen mencoba berinteraksi dengan Awang yang sudah satu minggu tidak terlihat di sekolah.
"Ahaha, kok kalian tau gua ada disini sih?" Tanya Awang penasaran. "Gua kan paranormal," Ujar Ezra.
"Ah elu, paranormal cabul kali. Ahaha." Suasana mengobrol sahabat memang begitu serunya, tanpa ada kata canggung.
"Gua tau dari bapaklu Wang. Gua turut kaget dan seneng juga bapak lu pulang yah." Arsen menjawab rasa penasaran dengan jawabannya. Ia belum bisa menerima kehadiran ayahnya, karena sudah sekejam itu dirinya meninggalkan anak-anak, pikiran Awang terbesit seperti itu walaupun niat ayahnya tetaplah untuk mencari uang berobat Rara.
"Kenapa lu bingung gitu Wang?" Ezra melihat raut wajah sahabatnya itu tengah kebingungan. "Gua bingung, nilai sekolah gua aman gak yah? Jarang masuk soalnya." Ternyata Awang memikirkan permasalahan akademiknya.
"Nih, kebetulan lu ngomong gitu." Arsen menunjukkan tugas-tugas yang sudah terselesaikan atas nama Awang. Sedari kemarin memang Ezra dan Arsen sibuk untuk bernegosiasi dengan beberapa guru mata pelajaran, agar mereka bisa menyelamatkan tugas sekolah Awang yang terlantar.
Ternyata Arsen dan Ezra selama Awang tidak masuk, mereka berdua tetap membantu tugas-tugas dan juga segala urusan yang ada pada sahabatnya itu. Pasalnya memang akhir-akhir ini dunia sedang merundung Awang untuk bersedih terus menerus. "Gua makasih banyak ke kalian!" Awang begitu terharu melihat bagaimana kepedulian sahabatnya itu. Ia merasa sudah bersalah menyalahkan dunia untuk terus menerus memberikan kesedihan. Ternyata salah, dunia dengan segala cobaan pasti menyisipkan beberapa kebahagiaan.
Dunia tahu bahwa Awang mampu dan dapat melewati segala cobaan. Meskipun adiknya Rara masih diragukan kapan akan kembali tersenyum. Rara adalah fokus utamanya sekarang, meskipun pikirannya terkadang muncul sang pujaan hati yaitu Rania. Awang tak mau kehilangan orang yang sangat ia cintai. Tapi tak mengapa Awang siap menjaga Rara walaupun pujaan hatinya perlahan pergi dari pandangan.
Mereka bertiga akhirnya pergi bersama menuju rumah sakit.
***
"Lagi pula kamu mau kemana sih?" Tanya Tia.
"Udah ikut aja, lagi pula aku gabakal bilang dulu sebelum ketempat itu." Rania membawa Tia menuju suatu tempat. Tia merasa temannya itu sedikit agak berbeda, seperti raut wajah yang sedang mengalami kesedihan mendalam. Namun, Tia tahu tipikal sahabatnya itu tidak mau ditanya ketika hal yang ia rahasiakan sebelumnya belum tercapai. Seperti saat ini Rania mengajaknya untuk menemani dirinya.
Mereka memasuki toko kelontong, Rania membeli beberapa kaleng susu dan buah-buahan lalu dibungkus dengan parcel kayu dengan cantiknya. Tia yang merasa bingung berniat untuk menanyakan untuk siapa dan buat apa.
"Emm—" Tia ingin segera mengeluarkan suaranya.
"Buat Rara adiknya Awang." Dengan lugasnya Rania mengatakan itu.
Tia tertegun sejenak dan bertanya "Serius?" pasalnya Rania selalu menjauhi hal-hal tentang si pria yang sering mengganggunya itu. "Iya. Lagi pula ia sakit parah, yaitu kanker." Tia terkejut lagi dengan perkataan temannya itu, ia tidak pernah tahu adik Awang terkena penyakit separah itu dan tiada yang mengetahui bahkan satu sekolah pun.
Lalu, Rania membuatkan origami berbentuk burung bangau dan di letakkan sebelah atas parcel itu. Nampak cantik juga terniat Rania membentuk bingkisan untuk seseorang. Mereka berdua akhirnya keluar toko dan memanggil taksi di sekitarnya dan mengantarkan mereka ke rumah sakit dimana Rara dirawat.
Di sisi lain, Rara masih tertegun semenjak ia sadar ada seseorang yang begitu ia rindukan muncul sambil tersenyum. "A-ya-h," Ucap Rara dengan terbata-terbata karena masih merasa lemas. Ayah dengan rasa gembira dan haru segera mengelus rambut Rara yang tersisa sedikit.
"Ayah disini nak. Maafkan Ayah."
"Ini benar ayah? Apa aku sudah di surga yah?" Tutur kata yang keluar dari Rara menandakan dirinya sudah pasrah akan kehidupan ini.
Lalu, Awang dan teman-teman lain memasuki ruangan rawat dan melihat Rara sudah siuman. Awang segera mendekati Rara dan berkata. "Kakak, disini Ra. Ayah sudah pulang, tersenyumlah." Sambil memegang tangan Rara erat. Ayah yang tadinya agak sedikit takut untuk mendekati Rara karena Awang sudah merasa lebih yakin bahwa anaknya itu memaafkannya.
"Cepet sembuh ya Ra," Ujar Ezra dan Arsen.
"Makasih kak Arsen dan Ezra. Ayah dan kak Awang sudah kumpul yah. Aku senang." Senyum simpul dari Rara tidak bisa dihindarkan, meskipun dalam keadaan lemas, dirinya harus punya tenaga untuk senang.
SREETTT suara pintu terbuka. Semua memandangi siapa disana.
Ternyata sosok Rania dan Tia mengejutkan mata. Suasana yang tadinya haru dan senang berubah menjadi tanda tanya besar tentang "Bagaimana Rania dan Tia datang?".
"Emm ... halo semuanya, ini aku belikan untuk Rara, semoga cepet sembuh ya Ra" Ucap Rania dengan gugupnya. Rara terheran-heran soal siapa yang ada di sana. Pasalnya ia belum pernah berkenalan dengan teman Perempuan kakaknya. "Wah, itu siapa kak? Cantik banget pacar kakak?"
"Hush! Rara itu temen kakak." Awang menimpal sembari salah tingkah, begitu pula dengan Rania. Suasana ruangan begitu senyap diiringi perasaan mereka yang begitu tersendat oleh perkataan Rara.
Awang melangkah mendekati Rania dan mencoba berbincang dengan Rania. "Terimakasih sudah datang, aku gak nyangka kamu bisa tahu aku mempunyai adik." Sambil membawa bingkisan yang dari tadi dibawa oleh Rania.
"Hey duduklah. Itu tamu loh Wang." Ezra tak bisa menahan kegatalan mulutnya jika terjadi momen canggung. Akhirnya Rania dan Tia disilahkan duduk. Mereka berdua merasa kedatangannya bukan saat yang tepat, karena suasana ruangan sedang ramai.
Rara menengok kedua kakak perempuan itu dan berkata, "Oh yang sebelah sana namanya kak Rania, yang lagi disukai kakak aku yah!" Mulut usil Rara memang tak ada habisnya, karena hal itu suasana ruangan mulai cair. Awang dan Rania serasa canggung, ayah merasa senang, Arsen dan Ezra merasa puas temannya dijahili Rara, sedangkan Tia merasa dirinya berada di dunia lain sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Running After You (Revisi)
Novela JuvenilKetika jalan hidup memaksa dirimu untuk memilih salah satu yang kau cintai, dari dua yang berarti untuk dirimu. Maka korbankanlah salah satunya.