Senja telah merajai langit ufuk barat. Hanya ada sedikit pancaran jingga sinar matahari yang disembunyikan awan. Itu pun tidak terlihat betul oleh mata manusia yang berada di andong yang bergerak. Sebab, pepohonan yang dahan dan daunnya menyungkupi jalanan, hampir-hampir menutupi celah langit. Meski demikian, Kemoja masih bisa mengamati sekitarnya yang mulai dilingkupi remang. Jika harus menerka waktu, Kemoja yakin hari kian beranjak petang. Namun, kereta yang ditumpanginya tak juga berhenti di tempat tujuan sejak siang hari.
Kemoja menghela napas lalu memandang Ratri yang sedari tadi mencengkeram tas kainnya yang disulam rangkaian melati. Sejak menaiki gerbong kereta kuda, Ratri tak banyak bicara seperti biasanya. Sesekali gadis itu menimpali, tetapi kemudian memilih hening. Namun, mungkin saja gadis itu gugup atau merasa bersalah kepadanya karena beberapa hari lalu tak sengaja merusak kebaya pengantinnya.
“Bu Endang, berapa lama lagi kita sampai?” Kemoja memilih membuka obrolan dengan bertanya kepada ibu Ratri.
Endang yang tak menyangka Kemoja bertanya kepadanya, sedikit kaget, tetapi kemudian tersenyum dan menjawab, “Sebentar lagi, setelah melewati hutan ini rumah penjahitnya ada di sana.”
“Padahal aku tak apa-apa, Bu. Masih ada kebaya punya ibuku dulu yang bisa kupakai untuk pernikahan nanti.”
Kemoja menunduk lalu mengelus cincin pertunangannya. “Lagipula, Kang Wira tak mempermasalahkannya. Katanya, memakai kebaya apa pun yang penting nanti pernikahan kami sakral dan sah.”
Ratri perlahan mendongak, tetapi tangannya makin mencengkeram tasnya. Tak sadar tatapan matanya menajam hingga Endang harus sedikit mencubitnya. Sadar apa yang tengah dilakukannya Ratri membuang pandangan. Namun, gejolak bara di hatinya makin membesar kala mendengar nama Wira dituturkan begitu manis oleh Kemoja.
“Meski Wira berkata begitu, tetap saja kami tak enak. Khususnya Ratri, dia sampai tak bisa tidur dan tak enak makan karena memikirkan kesalahannya.” Endang mengelus punggung tangan Ratri.
Ratri menoleh setelah beberapa kali membuang napas untuk menormalkan gelenyar dalam dadanya. “Bagaimana aku bisa tidur dan makan dengan enak, aku telah mengacaukan semuanya. Untung saja Kemoja tak membenciku.” Suara Ratri serak, hampir menangis.
Kemoja meraih tangannya lalu menggenggamnya. “Sudah kubilang itu bukan salahmu, Tri.”
Ratri menggeleng. “Buktinya Wira memarahiku begitu rupa, itu tandanya kebaya itu sangat penting untuknya. Dan aku ….”
“Hei, sudahlah.” Kemoja memeluk Ratri. Tubuh keduanya berguncang-guncang karena jalanan yang dilalui andong dipenuhi bebatuan.
“Aku sudah menjelaskannya kepada Kang Wira dan dia mengerti. Dia sudah memaafkanmu.” Kemoja tersenyum sambil melerai pelukannya. Senyumnya dipenuhi kebahagiaan, tetapi dalam pandangan Ratri, senyum itu bagai ejekan untuknya.
Masih hangat dalam ingatan Ratri bagaimana marahnya Wira kepadanya ketika Ratri sengaja membakar kebaya Kemoja di hadapannya. Ratri yang dimabuk cinta, sangat patah hati kala pria itu lebih memilih menikahi sahabatnya dibandingkan dirinya. Sedangkan Wira tahu, dialah yang pertama kali bertemu dengannya, bukan Kemoja.
Seolah-olah merasakan perasaan anaknya, Endang pun diam-diam menatap sengit pada Kemoja. Sebagai ibu yang mencintai anaknya, dia tak rela anaknya terus-menerus menangisi kegagalan cintanya. Apalagi cinta yang digadang-gadangkan itu direbut anak dari Padma, perempuan yang dulu mengandaskan cintanya juga. Meski tahun demi tahun berlalu, dan pria yang dicintainya telah lama meninggal dunia, Endang tak dapat mengikis rasa benci itu. Kerap kali bayangan penolakan itu merasuki mimpinya. Sebab itulah, Endang tak ingin melihat anaknya merasakan hal serupa. Apa pun caranya, dia akan membantu anaknya menggagalkan pernikahan Kemoja dan Wira, termasuk membunuh ibu Kemoja.
Benar. Kematian Padma, tiga bulan lalu adalah perbuatannya. Dia menaruh racun dalam minuman Padma kala wanita itu sedang memetik hasil kebun. Semua orang mengira Padma dipatuk ular beracun karena ada tanda gigitan di kakinya. Namun, itu hanya kamuflase dari racun sakti yang diberikan Ki Darya.
Endang berharap, kematian Padma membuat pernikahan Wira dan Kemoja diundur sekitar satu tahun kemudian. Dalam satu tahun itu, masih ada kesempatan untuk Ratri mengalihkan hati Wira. Namun, anak Tuan Darma itu dibesarkan di kota besar yang tak memercayai mitos apa pun. Wira tetap memaksa akan menikahi Kemoja setelah seratus hari kematian Padma.
Keputusan Wira itu hampir saja merenggut nyawa Ratri. Jika saja Endang tak memasuki kamar anaknya, barangkali Ratri telah mati gantung diri. Tak ingin melihat penderitaan putrinya berlarut-larut, Endang memiliki rencana sendiri. Dia akan menukar nasib Kemoja dan Ratri. Dengan bantuan Ki Darya, si dukun sakti, Endang percaya semuanya tak ada yang tak mungkin.
“Berhenti di depan,” ucap Endang sambil menepuk bahu kusir.
Kusir tersebut menoleh lalu menarik kekang untuk menghentikan laju kudanya. Kemoja mengenal kusir tersebut sebagai paman Ratri, tetapi dia sendiri jarang melihatnya. Jaya, paman Ratri tersebut, bekerja di kota dan jarang pulang kampung. Namun, beberapa waktu ini, Kemoja sering melihatnya di rumah Ratri.
“Kita di mana?” tanya Kemoja sambil melihat sekitarnya yang telah gulita, hanya ada obor pada gerbang bambu sebagai penanda adanya jalan setapak.
“Rumah yang kumaksud ada di sana!” Endang menunjuk jalan setapak yang dilihat Kemoja.
“Tapi ….”
“Ayo!” Ratri turun duluan, langkahnya sedikit penuh semangat. Bahkan dia harus mengatupkan bibir agar tak menjerit gembira.
Pada awalnya dia masih ragu akan merencanakan ini bersama ibunya. Namun, sepanjang perjalanan itu, bayangan kebahagiaan Wira dan Kemoja benar-benar telah membakar hangus nuraninya. Dia tak ingin melihat mereka bersama. Dia tak ingin hidupnya dilahap derita karena melihat senyum bahagia keduanya.
Kemoja perlahan ikut turun dari kereta. Hatinya mulai ragu dan takut. Namun, melihat Endang dan Ratri sangat tenang, Kemoja tak memiliki pikiran buruk apa pun kepada mereka. Bahkan, dia tak sadar tetap mengikuti Endang dan Ratri yang mulai berjalan memasuki gerbang berobor tersebut. Langkah Kemoja bagai digiring sesuatu tak kasatmata hingga tetap mengikuti Endang dan Ratri yang berjalan tanpa menoleh sama sekali kepadanya.
Jaya perlahan-lahan menoleh, memandangi kepergian tiga wanita itu memasuki sarang dukun sakti. Tangannya mencengkeram tali kekang kuda. Jantungnya telah berdegup kencang sejak menjemput Kemoja. Dan sekarang dia merasa lumpuh. Dalam hatinya dia ingin sekali menghentikan Kemoja. Namun, saat ini dia tengah berlindung dari kejaran kepolisian dan bersembunyi di rumah Endang karena kasus pencurian barang-barang bosnya. Ditimbang dengan keuntungan lebih jauh, dia memilih mengikuti kakaknya, meski hatinya menjerit sebab sang kakak merencanakan hal jahat kepada gadis polos itu.
Jaya sendiri tak menyangka kakaknya akan sekejam itu. Bahkan tak ayal, Kemoja akan dibunuhnya seperti Endang membunuh ibu Kemoja tiga bulan yang lalu. Jaya mengusap-usap wajahnya menahan gigil dari kabut yang mulai turun menutupi jalanan. Kabut mistis penanda sebuah kematian.
“Setelah aku memasuki gerbang, tutupi telingamu. Jangan dengarkan apa pun!”
Jaya mengingat pesan Endang ketika mereka akan menjemput Kemoja. Segera dia mengeluarkan walkman dan menyumpal kedua telinganya dengan lagu-lagu, lalu berusaha mengabaikan apa pun, termasuk takdir yang akan menguntai Kemoja.
Bersambung ….
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Kemoja
HorrorKemoja menghilang mendekati hari pernikahannya. Warga desa hanya menemukan selendangnya yang tersangkut pada batu di sisi tebing lautan. Orang-orang berpikir Kemoja bunuh diri. Bahkan kabar tentangnya menjadi kian buruk, mengganti citra Kemoja yang...