Part 11

3.2K 419 24
                                    

Bagi para warga desa, kedatangan Kemoja merupakan hal menarik. Apalagi, kedatangannya bertepatan dengan kedatangan Jaya. Desas-desus tiga tahun lalu kembali berembus bahkan dibumbui dengan isu yang baru. Ada warga yang melihat Jaya keluar dari halaman rumah Kemoja sehingga isu tentangnya makin merebak.

Meski demikian, tak ada jawaban atau tampikan dari Kemoja. Rumahnya tetap tertutup dan tak pernah ada seorang pun yang melihat pintu rumahnya terbuka. Hal ini membuat berita tentangnya dan Jaya makin tak terkendali.

Bagai embusan angin, desas-desus itu begitu cepat sampai di kediaman Wira. Asih masih tetap menerapkan hal serupa, larangan menyebut atau membicarakan Kemoja di rumah besar itu. Namun, tetap saja angin yang berembus terlalu kuat tak bisa dibendung tembok besar rumah itu.

“Ya, gadis itu kembali bersama Jaya, kekasihnya itu. Ah, kasihan sekali Tuan Muda kita.”

Meski suara itu berbisik-bisik, dan tak menyebutkan nama gadis yang dibicarakan, Wira tahu yang mereka maksud adalah Kemoja.

Maka hari itu dia banyak diam dibandingkan hari-hari lalu. Apa pun yang disuguhkan oleh Amanda maupun ibunya, dia terima begitu saja. Asih yang melihat sikap anaknya menjadi lebih penurut merasa bahagia dan menganggap ada kemajuan. Padahal, jika dia menilik lebih lanjut ekspresi anaknya, Asih akan melihat ada semangat yang hampir pudar dalam pandangan matanya.

Ketika Amanda dan Asih pergi dari kamarnya untuk membiarkannya tidur, Wira tak melakukannya. Dia membelai lututnya kemudian meremasnya untuk memeriksa. Namun, tak ada sama sekali rasa. Dia ingin menjerit frustrasi, tetapi hanya suara tertahan yang keluar dari bibirnya.

Dia lumpuh. Kabar Kemoja adalah hal yang amat membahagiakannya. Namun, jika dia lumpuh seperti ini, Wira merasa sangat tak berharga lagi. Memikirkan demikian dia menangis dalam diam. Pria itu tak menyadari bahwa Kemoja melihat semuanya dari luar jendela. 

Kemoja menengadahkan tangan kanannya lalu meniup cahaya biru yang seketika memasuki celah jendela. Cahaya itu melesat cepat lalu memasuki indra penciuman Wira. Seketika, pria itu terlelap.

Jendela kamarnya membuka karena kekuatan tak kasatmata. Kemoja memasukinya dengan sekali lompatan. Ditatapnya wajah sang permata hati, kerinduannya mengalir pada setiap aliran darahnya. Detak jantungnya bertalu-talu ketika dia mendekatinya. Meski tahu Wira tak mungkin bangun, tetap saja jantungnya berdebar-debar.

“Maafkan aku, Kang. Aku tak bisa bertemu denganmu dalam keadaan kau sadar.” Kemoja membelai rambut pria itu.

Kenangan-kenangan indah mereka berkelindan dalam pikirannya. Rasa rindunya menghunjam hati, hingga terasa sakit ketika kenyataan antara mereka dihalangi tembok yang kian meninggi.

Kemoja membaringkan dirinya di sebelah Wira, memandangnya dalam jarak yang sangat dekat. Namun, saat keheningan melenakannya, tiba-tiba angin dingin berembus mengempas jendela. Kemoja bangkit, serta merta mengibaskan tangannya saat cahaya hitam menuju ke arahnya. Cahaya itu terdorong, menabrak dinding lalu perlahan-lahan berubah menjadi sosok makhluk berbulu dan bertangan banyak.

Makhluk itu menggeram. Matanya besar hampir memenuhi setengah wajahnya. Air liur menetes-netes dari lidahnya yang menjulur hampir sedada. Aromanya amat busuk, percampuran bangkai dan belerang.

Kemoja masih di sisi Wira. Namun, ketika makhluk itu kembali menyerang, dia langsung melompat dan berbalik menerkamnya. Dengan sekuat tenaga dia menarik makhluk hitam besar itu dengan cengkeramannya. Bibir Kemoja menyeringai. Mata kanannya bersinar dengan cahaya hijau yang membuat makhluk itu menjerit dan berusaha melepaskan diri. Namun, sekuat apa pun dia melawan, makhluk itu tak dapat berkutik kala Kemoja membuka bibirnya.

Makhluk hitam itu menjerit di malam buta, jeritan yang menyayat dan menggetarkan makhluk-makhluk malam, ketika tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi kabut hitam lalu memasuki mulut kemoja.

Dengan punggung tangannya Kemoja mengusap bibir lalu memandang pekatnya malam. Dia tahu benar, makhluk itu bukan mengarah untuknya, melainkan kepada Wira. Ada seseorang yang mengirimkan teluh untuk mencelakai kekasihnya.

***

Ki Darya membuka matanya. Dia mencengkeram dada ketika mulutnya memuntahkan seteguk darah. Dia menoleh memandang pekatnya malam. Angin dingin berkesiur mengantarkan aroma melati pekat bagai memberikan sebuah pesan tentang kegagalannya.

Dia meninju meja yang berisi sesaji. Ayam cemani, yang mati karena tusukan kerisnya, perlahan-lahan berubah menjadi abu, kemudian tertiup angin.

Endang yang berada di depan sesaji itu membelalak tak percaya. Dia mendongak dan melihat kemarahan yang melumuri wajah Ki Darya. Tanpa dijelaskan, Endang mengerti teluh yang dikirim dukun sakti itu gagal. Namun, siapa yang menggagalkannya, pikirnya.

“Ki ….” Dengan penuh rasa takut, Endang ingin bertanya. Namun, Ki Darya mengibaskan tangan, tanda mengusirnya.

Endang mengangguk. Dia tak berani membantah. Dengan gerakan cepat dia bangun lalu menyampirkan selendang menutupi kepalanya.

Sepergi Endang, Ki Darya kembali memuntahkan darah. Kali ini dia makin yakin, gadis prajna itu memang ada di desa Endang.

***

Pukul satu dini hari, Jaya kembali memasuki halaman rumah Kemoja. Dia ditugaskan Endang agar selalu memasuki halaman rumah tersebut. Tak melakukan apa-apa, hanya masuk lalu bersembunyi hingga Subuh tiba. Dia hanya harus menampakkan diri pada beberapa warga desa agar terkesan mempunyai hubungan mendalam dengan gadis itu.

Beberapa kali dia mengunjungi rumah tersebut, Kemoja tak pernah terlihat. Itu sebabnya Jaya makin berani. Dia beranggapan gadis itu takut untuk keluar rumah dan bersembunyi dari gunjingan warga.

Jaya mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya. Dia mengisap kuat-kuat sebelum mengembuskan asapnya, beberapa kali, berulang-ulang. Dia bersandar pada pohon jambu, terlindungi ilalang yang tak juga dibersihkan, tetapi hal itu melindunginya dari mata manusia biasa.

Sambil merokok, Jaya menatap pintu rumah Kemoja. Lampu teploknya menyala, berkedip-kedip karena sapuan angin. Jaya penasaran mengapa gadis itu tak pernah keluar. Dia juga ingin tahu apa yang terjadi tiga tahun lalu, bagaimana gadis itu selamat dan baik-baik saja. Padahal, Jaya sendiri melihat luka parah yang dialaminya.

Jaya bergidik ketika membayangkan saat itu. Namun, lagi-lagi dia menekan rasa takutnya ketika bayangan iming-iming tanah dan rumah yang akan diberikan Endang untuknya.

Sekali lagi, dia mengembuskan asap rokoknya. Tiba-tiba, dia melihat pintu rumah Kemoja bergerak membuka. Derit suaranya lantang di tengah malam buta. Jaya yang bersandar santai, langsung menjadi waspada. Dia membuang puntung rokok yang masih tersisa setengah. Hingga kemudian, pandangannya menangkap pergerakan seseorang yang keluar perlahan-lahan.

Jaya memandang sosok Kemoja yang mengenakan kebaya hitam dengan selendang hijau menyelubungi setengah wajahnya. Kemoja mengulurkan tangan, memberikan isyarat agar Jaya datang kepadanya.

Bagai terhipnotis, Jaya mendekat dengan mata menatap lekat-lekat pada Kemoja. Kemoja tersenyum, berbalik dan memasuki rumah diikuti Jaya. Pintu di belakang mereka menutup dengan sendirinya.

Di halaman rumah, Kemoja muncul dari udara kosong, berkebaya hijau dengan mata nyalang menatap rumahnya. Pupil kanannya bersinar dengan warna hijau, sudut bibirnya terkembang sinis. Pendengarannya tajam mendengarkan desah-desah menjijikan antara keponakan dan si paman.

Ratri dan Jaya telah masuk ke dalam jebakannya.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang