Part 14

3.1K 393 9
                                    

Part 14

Warga desa kembali dihebohkan dengan berita kematian mengenaskan Jaya. Mayatnya hampir tak utuh lagi. Tak ada yang melihatnya secara langsung, tetapi dilihat dari kain putih penutup jenazah yang berlumuran darah, para warga menebak Jaya meninggal dengan cara mengerikan. Kabar beredar bahwa Lurah Samin tak memaafkan adiknya tersebut sehingga memutuskan menghabisinya. Namun demikian, tak ada yang dapat memastikannya secara langsung.

Kabar lainnya menyebutkan Jaya meninggal secara tak wajar. Dan ketidakwajaran itu berkaitan dengan kedatangan Kemoja. Mau tak mau, warga saling mengaitkan kematiannya dengan Kemoja. Bagi mereka sendiri, kedatangan kembali gadis itu masih berselubung misteri. Apalagi, orang-orang tak banyak tahu apa yang dilakukan Kemoja di rumahnya. Rumah gadis itu selalu tertutup dan Kemoja sendiri tak pernah berbaur dengan para warga.

Lurah Samin maupun Endang tetap bergeming dengan banyaknya pertanyaan dari warga. Hanya saja, kejadian ini dimanfaatkan Lurah Samin untuk membersihkan nama Ratri.

“Kejadian kemarin, Ratri tak bersalah. Dia menjadi korban kejahatan pamannya sendiri. Dan sekarang alam sudah menghukum Jaya. Ratri tak akan pergi dari desa ini.” Lurah Samin dengan sendu melirik pada jenazah Jaya yang ditutupi kain putih yang berlumur darah.

Warga desa berbisik-bisik tak setuju, tetapi mereka tak punya alasan lebih jauh untuk mendebat Lurah Samin. Mereka tak ingin berurusan hanya untuk masalah orang lain. Maka, hari itu sebagian dari mereka memilih melupakannya. Sebagian lain hanya mendesah kecewa kemudian membubarkan diri. Namun, baru saja para warga melangkah pergi, tiba-tiba kain penutup jenazah Jaya tertiup angin hingga membuka sebagian tubuhnya.

Melihat hal demikian, para warga menjerit. Rasa takut mereka bukan saja karena jenazah yang tak utuh tersebut, melainkan karena jenazah itu bergerak. Kepala dan wajah Jaya masih tetap utuh. Matanya membuntang hampir keluar. Beberapa yang melihat langsung menjerit dan segera berlari. Sebagian lagi menyaksikan dengan waspada.

Hal yang mencengangkan dan membuat Lurah Samin tak berkutik, tiba-tiba saja tangan Jaya yang tak lagi berdaging itu mencengkeram kakinya.

Lurah Samin menjerit dan mencoba menarik-narik kakinya. Namun, cengkeraman itu makin erat ditambah suara geraman dan tatapan Jaya yang menghunjam jantungnya.

“Lepaskan! Lepas ….” Lurah Samin mencoba menarik kembali kakinya. Dia menggapai-gapai sekitar hingga menemukan sebongkah batu. Lurah Samin mengangkat batu tersebut lalu menghantamkannya pada kerangka tulang Jaya yang mencengkeramnya.

Krak! Tulang belulang itu pecah. Mayat yang sebelumnya bergetar, kelojotan, akhirnya kembali diam.

Lurah Samin terengah-engah. Dia segera menjauh dan cepat-cepat menyuruh warga yang membawa mayat Jaya agar segera menguburkannya, tanpa upacara kematian, tanpa panjatan doa-doa.

“Kuburkan mayat itu, secepatnya! Cepat!” teriaknya sebelum berbalik untuk mencari Endang.

Semua kejadian di depan rumah Lurah Samin tersebut disaksikan oleh Kemoja yang mengintip dari balik pohon Trembesi. Dia menyeringai. Mata kanannya yang berpupil hijau memancarkan sinar dendam. Dia berbalik lalu segera meninggalkan tempat. Cukup baginya hari ini untuk memancing Endang agar memanggil dukun yang menjadi target utamanya.

***

Wira menggeser piring makannya. Kehadiran Amanda maupun Asih memperburuk suasana hatinya. Apalagi Amanda tak sekali dua kali mencoba menyuapinya. Wira makin jengkel dan memilih mengabaikannya.

“Mengapa tak dimakan lagi, Nak? Bagaimana kau akan sembuh jika begini?” Asih memandang anaknya. Dia kembali kecewa saat kemurungan kembali melumuri wajah Wira. Anaknya itu selalu memandang ke mana pun, asal tak memandangnya maupun Amanda. Jika terus begini, rencana menikahkannya dengan Amanda pasti akan ditolak mentah-mentah.

“Kau perlu sesuatu dariku? Katakan saja. Sebagai calon istri ….” Ucapan Amanda terhenti ketika Asih memelototinya. Namun, Wira terlanjur mendengarnya. Dinginnya lirikan Wira adalah buktinya.

“Aku butuh sendiri, pergilah!” Wira hanya berkata demikian, tetapi Asih tahu anaknya telah mengokohkan benteng yang dibangunnya.

“Wira, aku dan Tante ….”

“PERGI!” bentak Wira sambil menatap tajam Amanda.

Dibentak seperti itu membuat Amanda tercengang. Setelah mengatasi rasa terkejutnya, dia melirik Asih yang memandang Wira dengan wajah sendu. Tak terima dengan bentakan itu, Amanda berdiri, menjejak kaki dengan kesal, lalu keluar dari kamar dengan kedongkolan yang tak dapat ditutupinya.

“Aku perlu tidur, Bu. Tolong pergilah!”

“Apakah sekarang ibumu pun menjadi pengganggu bagimu, Nak?”

Wira tak menjawab. Dia memilih memandangi kegelapan malam di luar jendela. Bulan malam itu tak terlihat. Sepoi angin seakan-akan membawa kabar tentang awan hitam yang menaungi langit malam itu.

Tak mendapatkan jawaban apa pun dari anaknya, Asih beranjak. Dia menoleh sekali lagi pada Wira, tetapi pria itu sama sekali tak acuh dengan kepergiannya.

Hanya ketika mendengar suara pintu yang ditutup, Wira akhirnya tak lagi bergeming. Dia menoleh pada pintu kamar lalu pada makanan yang berada di nampan. Sejak kemarin, pikirannya selalu diliputi kekasih hatinya. Namun, ketika memikirkan kembali kondisinya, Wira menyesali diri sendiri dan kelumpuhan yang dialaminya.

Perlahan-lahan, Wira menggeser tubuhnya. Entah mimpi atau hanya khayalannya semata, dia selalu merasa Kemoja berada di dekatnya, menemani tidurnya setiap malam. Maka dari itu, Wira selalu menggeser posisinya, berharap memang di sebelahnya adalah gadis itu.

Wira memejamkan mata, mencoba mengingat aroma dan senyum permata hatinya. Mata Kemoja adalah mata terindah bagai permata paling sadu di dunia. Binar ceria serta kilaunya ketika memandangnya membuat Wira selalu terpesona. Sementara aroma melati segar pada rambut Kemoja adalah candu terbaik yang membuatnya tak dapat berpaling hati.

Ya, aroma itu kian kuat pada penciumannya. Begitu sangat nyata. Wira merasa mencium aroma itu langsung dari sosoknya. Itu sebabnya dia perlahan membuka mata.

Wira terbeliak. Tidak, bukan hanya dia. Bahkan gadis yang berada di sisinya dan berhadap-hadapan pun menanap tak percaya.

Kemoja bangkit dan segera turun dari tempat tidur Wira. Dengan gerakan cepat dia hendak melompati jendela yang terbuka. Namun, gerakannya berhenti kala mendengar suara Wira yang jatuh, atau mungkin menjatuhkan diri dari ranjangnya.

“Jangan pergi! Kumohon!” Wira tertelungkup di karpet. Dia berusaha merangkak, menarik kakinya yang tak dapat bergerak.

Kemoja membeliak. Kedua tangannya mengepal dan ingin sekali merengkuh pria itu.

“Aku tak tahu apakah kau hanya khayalanku semata. Tapi, kumohon, jangan pergi … Kemoja!”

Jantung Kemoja merenyut kencang. Denyutan yang kencang sama seperti dulu kala saat pertama kali bertemu pria itu. Satu permintaan yang lolos dari bibirnya itu adalah petaka, tetapi Kemoja tak mampu untuk menolaknya. Maka, dia berbalik dan langsung merengkuh Wira.

Kemoja mengecupi kedua tangan pria itu dengan air mata berlinang. Tak ada kata-kata, cukup bagi mereka bersabda dengan pandangan mata. Tiga tahun mereka memendam kerinduan yang berlarat-larat. Tiga tahun terpisah tanpa satu pun ucap kata. Bahkan jika alam memang berfatwa memisahkan mereka, hanya Wira meminta kepada siapa pun itu, dia tak ingin terbangun pada mimpinya kali ini. Mimpi yang benar-benar nyata ketika dia menghidu berkali-kali aroma yang sama. Aroma Kemoja.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang