Lurah Samin terbangun dan menatap sekelilingnya. Dia mendapati istrinya tengah duduk di sisi ranjang.
“Bu, bagaimana keadaan di luar? Kebun warga? Apa bangkai gagak-gagak itu masih bertebaran?”
“Bapak ini ngomong apa? Bangkai gagak apa? Kebun warga kenapa? Tidak ada apa-apa, Pak.”
Lurah Samin menggeleng lalu menceritakan kejadian sebelum pingsan. Dia yakin sekali melihat banyak bangkai gagak dan laporan para warga. Namun, istrinya hanya tertawa.
“Bapak ini, orang enggak ada apa-apa. Desa ayem tentram loh jinawi.” Maryati, istri Lurah Samin, terkikik.
“Oh, iya, dapat pesan dari Teh Endang. Bapak disuruh ke sana.”
“Ngapain lagi? Dia sudah dapat banyak uang dari kita, bukan?” Suasana hati Lurah Samin berubah kesal. Ketakutannya luntur, digantikan kesal mengingat dominasi kakak perempuannya itu.
“Teh Endang katanya mau beli tanah sebelah barat, Kakang diminta memuluskannya.”
Lurah Samin berubah cemberut. Dia tahu ketamakan kakaknya itu. Memuluskan berarti Samin harus membebaskan tanah itu dari warga. Jika dia tak bersedia, Endang pasti akan membeberkan bukti kecurangannya selama menjadi lurah. Dengan berat hati, mau tak mau, dia harus menyetujuinya.
“Baiklah, aku akan ke sana. Kau minta Jaka menyiapkan surat-surat tanah dan segera ke rumah pemilik tanah sebelah barat itu.”
“Ih, Akang teh kumaha? Tanah eta, kan, miliknya Neng Kemoja. Pemiliknya aja enggak tahu di mana.”Lurah Samin tercengang, tetapi sesaat kemudian tersenyum. Jika pemiliknya tak ada itu lebih memudahkan untuknya.
Segera, Lurah Samin pergi ke rumah Endang mengendarai sepeda motor. Dalam tiga tahun ini, kehidupan kakaknya makin makmur. Hal itu pun berimbas kepadanya. Lurah Samin berhasil menjadi orang pertama di desanya berkat bantuan Endang. Terlebih lagi, Endang mengenal Ki Darya, tentu semua menjadi lancar baginya.
Ketika tepat melewati rumah Kemoja, tiba-tiba saja sepeda motor sang lurah padam. Dia mengutak-atik kunci lalu menyalakannya kembali, tetapi tak berhasil juga. Lurah Samin turun dari sepeda motornya, lalu mencoba mendorongnya. Namun, rodanya sulit digerakkan meski dia mendorong sekuat mungkin.
Tiba-tiba kegiatannya berhenti saat mendengar suara pintu rumah Kemoja membuka. Lurah Samin terdiam dan memandangi pintu yang terbuka itu. Tak ada siapa pun yang keluar. Dari tempatnya berdiri, Lurah Samin hanya melihat kekosongan ruangan.
Ya, rumah Kemoja kosong sebab sejak kepergiannya Endang dan Ratri memindahkan barang-barang Kemoja ke rumah mereka.
Lurah Samin berpikir, mungkin saja itu karena angin. Namun, hatinya bagai didorong rasa ingin tahu yang kuat. Tanpa disadari, kakinya telah melangkah memasuki halaman rumah, menginjak teras, lalu berdiri di depan pintu. Sang lurah memandangi pegangan pintu dan berniat menutup pintu itu kembali. Saat tangannya akan meraih pegangan pintu, tiba-tiba ada tangan lain yang lebih dulu meraihnya.
Lurah Samin mendongak, dan saat itulah dia menatap tepat mata Kemoja. Dengan gemetar, Lurah Samin refleks mundur beberapa langkah. Ketika Kemoja maju berdiri di tengah pintu, dia berbalik lalu lari tunggang langgang sambil berteriak-teriak tak keruan.
Para warga sekitar keluar rumah dan mendapati Lurah Samin berteriak sambil menyebut “setan” dan nama Kemoja. Dia berlari menuju rumah Endang. Dia tahu, Kemoja pasti tak akan melepaskannya sebab dia ikut andil dalam kebohongan yang Endang sebarkan. Lurah Samin makin kencang berlari, dia harus memberi tahu Endang tentang Kemoja.
****
Minibus warna hitam metalik memasuki halaman rumah besar di atas bukit. Di belakangnya sedan berwarna abu mengikuti dan berhenti tepat bersisian. Asih keluar dari minibus tersebut lalu memerintahkan beberapa pegawainya membantu Wira keluar.
Wira dibantu keluar dan didudukkan di kursi roda. Sudah hampir tiga tahun kondisinya demikian. Tak ada perubahan bahkan menjadi buruk seiring pengobatan berlangsung. Halusinasi serta depresi membuat keadaan jiwanya kiam rentan sehingga kesehatannya pun tak kunjung pulih.
Melihat tak ada perubahan baik di kota, Asih memilih membawanya kembali ke rumah atas bukit mereka. Dia berharap Wira bisa lebih rileks dan berangsur-angsur pulih di rumah itu. Sebab, beberapa hari yang lalu, ketika Asih menyebutkan nama Kemoja, ada pergerakan dari jemarinya. Meski hatinya tak bahagia dengan nama gadis itu, dia akan menjadikannya sebuah terapi untuk menyembuhkan Wira.
“Apa keputusanmu ini tepat, Sih?”
Asih menoleh dan mendapati Rosi dan Amanda sudah keluar dari mobilnya. Asih tahu mereka menentang keputusannya membawa Wira kembali. Namun, sebagai ibu, Asih akan melakukan yang terbaik untuk anaknya.
“Aku yakin Wira lebih memilih tempat ini untuknya beristirahat. Kuharap, dia akan senang dengan keputusanku.”
“Tapi, bukankah ini tempat menyakitkan untuknya, Tante. Tante yang cerita sendiri Wira begini gara-gara gadis tak tahu diri itu.”
Asih melirik Amanda, tetapi dia tak berhak marah sebab memang Amanda dan ibunya tahu kepergian Kemoja darinya.
“Aku sudah memutuskan bahwa Wira akan tinggal di sini,” ucapnya dengan tegas. Dia berharap Rosi maupun Amanda tak lagi menginterupsi keputusannya.
Amanda menunduk. Rosi mengembuskan napas, lalu memasang topeng welas asih kembali.
“Tentu saja. Kami akan mendukungmu apa pun keputusan yang kaubuat.” Rosi memeluk bahu Asih lalu beriringan memasuki rumah besar bercat putih itu.Amanda mengikuti dari belakang, menunduk, tetapi sorot matanya begitu tajam. Dia hampir menyelesaikan semuanya. Wira sudah berada di tangannya. Kelumpuhan syaraf yang Wira alami hasil karya dokter yang dibayar ibunya. Andi, si pria bodoh itu pun ikut andil dengan meracuni Wira pertama kali. Semuanya sudah hampir berada di tangannya. Namun, Asih memutuskan untuk kembali ke desa. Amanda membenci halangan ini.
Meski demikian, Amanda yakin pasti ibunya punya rencana sendiri. Bagaimanapun harta Bratajaya harus menjadi miliknya. Meski lumpuh, Amanda akan tetap menikahi Wira.
Dia tersenyum sambil mendongakkan dagunya. Rasa gulana di hatinya memudar seiring rencana baru akan dimulai. Dia melangkah dengan rasa percaya diri tinggi. Namun, saat kakinya menginjak undakan tangga teras, tiba-tiba rasa sakit menghantam kepalanya.
“Aargh!” Amanda menjerit, terhuyung, lalu tersungkur ke teras.
Dia meraba belakang kepalanya. Rasa pusing mendera hingga dia harus menggeleng-gelengkan kepala untuk menetralkannya. Tak jauh dari tempatnya, batu sekepalan tangan teronggok. Dia yakin ada seseorang yang melemparkan batu itu ke kepalanya.
Amanda memindai ke sepenjuru tempat yang dapat dia jangkau. Namun, tak ada siapa pun. Hening. Hanya angin gunung yang berkesiur, menggoyangkan dedaunan pinus dan tanaman bunga di taman. Tiba-tiba dia merasa takut.
Ya, dia lupa akan ketakutannya untuk kembali ke sini. Entah bagaimana nasib Kemoja, tetapi dia dan ibunya ikut andil atas kematiannya. Bisa jadi, arwah gadis itu akan menghantuinya. Dan itu dimulai dari sebuah batu.
Amanda kembali memandang batu tersebut. Dia bergegas memasuki rumah Asih dengan bayangan-bayangan ketakutan di pikirannya.
Amanda memang benar, sosok yang ditakutinya memang tengah menggentayanginya. Dia berdiri di balik pohon mahoni yang berada di halaman rumah besar itu. Matanya mengintip, menatap sosok Amanda, tajam, bagai mengintai buruan.
Bersambung ….
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Kemoja
HororKemoja menghilang mendekati hari pernikahannya. Warga desa hanya menemukan selendangnya yang tersangkut pada batu di sisi tebing lautan. Orang-orang berpikir Kemoja bunuh diri. Bahkan kabar tentangnya menjadi kian buruk, mengganti citra Kemoja yang...