Desa Kahuripan, tempat tinggal Kemoja, sore itu sangat lengang. Tidak hanya saat itu saja. Sejak kejadian dua hari yang lalu penduduk desa mendapatkan penyakit aneh, warga menjadi takut keluar rumah. Kalaupun mereka keluar, biasanya hanya berani sampai ke halaman saja.
Kelengangan itu bertambah suram ketika kabut selalu menutupi sebagian besar area. Bahkan siang hari pun awan yang melingkupi desa seolah-olah tak ingin beranjak. Hal yang pada akhirnya membuat Desa Kahuripan, tiga hari itu, dirundung cekam.
Tidak tahan karena rasa takut yang menimpa mereka, beberapa jawara kampung keluar membawa parang dan golok. Mereka menuju rumah Lurah Samin yang dijaga ketat oleh beberapa anak buahnya. Melihat kedatangan orang-orang itu, Lurah Samin keluar dan menghadapi mereka di halaman.
“Pak Lurah, kami minta Bapak mengusir Ratri dari sini.”
“Benar, wabah itu datang karena pezina itu masih di sini. Kami minta keadilan Bapak.”
Warga yang datang itu bersorak mendukung. Lurah Samin berdecak kesal lalu melepas cerutunya sambil menunjuk warga.
“Apa bukti kalian kalau wabah itu karena Ratri? Semua tak ada hubungannya dengan keponakanku.”
“Pak Lurah, jelas-jelas kami lihat dia berzina dengan pamannya sendiri. Kami meminta Ratri harus pergi dari desa ini.”
Melihat betapa kukuhnya mereka, Lurah Samin makin geram. Saat itulah, Endang keluar sambil membawa nampan yang ditutupi kain merah. Matanya nyalang menatap satu per satu warga desa yang datang.
“Aku akan buktikan bahwa penyakit yang mendera beberapa penduduk, itu bukan karena kutukan Ratri.”
Endang membuka kain yang menutupi nampan lalu memperlihatkannya kepada warga. “Ini adalah jimat penangkal penyakit aneh itu. Jimat ini akan menunjukkan siapa si pembawa wabah sebenarnya. Dengan menyingkirkannya, wabah akan berhenti.”
Para warga itu saling memandang dengan ragu. Melihat keraguan mereka, Endang tersenyum sinis. Dia memandang keris kecil yang berada pada nampan. Keris itu diberikan Ki Darya dua hari yang lalu. Dukun sakti itu tiba-tiba saja muncul di rumahnya tanpa pemberitahuan sama sekali.
“Aku akan tunjukkan kepada kalian, bagaimana keris ini menunjukkan kuasanya.”
***
Kemoja sedang membersihkan lukisan ibunya ketika ramai-ramai suara teriakan berkumandang di halaman rumahnya. Dia mengangkat wajahnya perlahan lalu melangkah ke ruang tamu. Dibukanya sedikit gorden jendela dan dilihatnya Endang berada di depan para warga yang meneriakkan namanya.
“Keluar kau wanita penenung!” Endang mengacu-acukan kerisnya, seolah-olah Kemoja berada di depannya.
“Kami telah melihat keris ini terbang dan jatuh di rumahmu, rupanya kaulah yang menebarkan teror wabah pada penduduk desa. Wanita laknat!”
Kemoja menutup kembali gordennya lalu melangkah ke pintu. Saat dia akan membukanya, tiba-tiba pintunya tak bisa terbuka. Kemoja membeliak saat sebuah energi bertabrakan dengan tangannya. Entah bagaimana ada kekuatan lain yang kini benar-benar menantang dirinya.
Brug! Jendela rumah menutup dengan sendirinya. Kemoja menoleh ketika angin berembus dari segala sisi. Sementara penduduk desa di luar rumahnya makin percaya ketika melihat jendela menutup dengan sendirinya.
“Ternyata, dia tukang tenung.” Bisik-bisik mulai merebak hingga menjadi kepercayaan kuat bahwa Kemoja memang sesuai dengan yang dikatakan Endang.
“Bakar penenung itu. Bakar dia!” Tiba-tiba anak buah Lurah Samin berkata dengan lantang. Bagai tercuci otak, kata-kata tersebut makin memicu tingkah warga yang lekas tersulut emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Kemoja
TerrorKemoja menghilang mendekati hari pernikahannya. Warga desa hanya menemukan selendangnya yang tersangkut pada batu di sisi tebing lautan. Orang-orang berpikir Kemoja bunuh diri. Bahkan kabar tentangnya menjadi kian buruk, mengganti citra Kemoja yang...