“Masukkan dia ke gudang!” perintah Lurah Samin ketika melihat Jaya sudah tak berdaya.
Tubuh Jaya babak belur dibuatnya. Lurah Samin menumpahkan kekesalan dan kemarahan kepada adiknya tersebut. Dia dan Endang dibuat malu, bahkan rasanya tak ada wajah lagi untuk bertemu masyarakat yang dipimpinnya. Semua karena perbuatan bejat adiknya itu. Bagaimana mungkin dia tak melihat siapa wanita yang digaulinya.
Jaya diseret oleh anak buah Lurah Samin. Tubuh yang sudah tak berdaya itu hanya pasrah diseret bagai menyeret binatang buruan.
Lurah Samin bergegas menuju Endang yang menunggunya di kamar lain. Endang terdiam sambil memeluk Ratri. Namun, dari raut wajahnya yang memelotot tanpa berkedip. Lurah Samin dapat membaca isi hati kakaknya itu.
“Bu … Ratri ingin mati saja. Ratri ingin mati, Bu.” Ratri memukuli dadanya. Rasa sesak terus menggelayuti hati. Rasa malu, sakit hati, juga tak berharga membuatnya tak memiliki daya untuk menegakkan kepala.
“Diamlah! Kalau ada yang harus mati, itu adalah Kemoja. Dia menjebakmu dan Jaya.”
“Aaargh!” Ratri menutup telinganya mendengar dua nama tersebut. Dia membenci keduanya. Kemoja maupun Jaya adalah gerbang kehancurannya.
“Bunuh mereka berdua! Mereka harus mati!” teriak Ratri sambil menarikki rambutnya.
“Ratri! Ratri!” Endang menahan tangan anaknya.
Ratri terisak-isak. Suaranya makin serak. Wajah yang semula penuh semu merah di pipinya kini pucat dan tak ada gairah. Matanya amat kuyu, seakan-akan tak hidup lagi. Endang sangat sedih melihat keadaan anaknya menjadi seperti itu. Kemoja benar-benar kejam telah membuat Ratri seperti ini, pikirnya.
“Tapi … bagaimana kamu bisa berada di rumah Kemoja?” Tiba-tiba Endang bertanya. Pertanyaan yang juga ditanyakan Lurah Samin.
Ratri menggeleng-geleng. “Ratri nggak tahu, Bu. Ratri hanya tidur lelap dan bangun-bangun sudah berada di rumahnya. Setelah Ibu pergi ke rumah Ki Darya, aku hanya berada di dalam kamarku.”
Endang memikirkan hal janggal ini. Meski dia percaya pada hal-hal gaib, tetapi tak serta merta percaya Kemoja bisa melakukan demikian. Sepertinya dia harus bertemu Ki Darya dan menanyakan hal ini. Endang mengangguk-angguk pada rencananya sendiri.
“Samin!”
“Ya, Teh ….”
“Aku tak masalah kau mengusir Jaya. Tapi, Ratri … dia hanya korban di sini. Beritahu warga bahwa Jaya memaksa anakku, menculiknya dan mencoba melecehkannya di rumah kekasihnya.”
Lurah Samin mengangguk-angguk meski dia belum tahu bagaimana caranya meyakinkan para warga.
“Bu … bagaimana dengan Kang Wira. Dia pasti mendengarkan kabar ini.” Ratri kembali menitikkan air matanya. Tubuhnya tak suci lagi, bagaimana Wira akan menerimanya.
“Kamu tak perlu mengkhawatirkan itu, Tri. Ki Darya sudah berjanji akan membantu kita.”
***
Di gudang belakang rumah Lurah Samin, tempatnya dipenuhi banyak barang-barang. Bau apak dan kotoran binatang pengerat amat tak layak untuk tempat hidup manusia. Namun, Jaya berada di sana, menggigil dalam keadaan sakit. Luka di beberapa bagian tubuhnya mulai infeksi hingga menaikkan suhu tubuhnya. Lebam-lebam di seluruh tubuh membuatnya hampir tak dikenali lagi.
Dalam keadaan sakitnya, Jaya merintih, memanggil-manggil kedua kakaknya. Di antara tiga kakak-beradik hanya dia yang selalu hidup kekurangan. Sebab itu, bagi Endang dan Samin, Jaya hanyalah pesuruh mereka. Terbukti saat ini, semua kesalahan menimpa kepadanya.
Namun, apa yang dia bisa? Jaya tak punya kekuatan. Dia tak punya uang. Dia pun tak punya tempat berlindung. Tiga tahun dalam kejaran polisi, Jaya meminta bantuan mereka untuk melindunginya. Akan tetapi yang didapatnya hanyalah perlakuan sampah.
Jaya marah, tetapi dia tak bisa apa-apa untuk melepaskan kemarahannya.
“Ck, ck, ck … kasihan sekali nasibmu.”
Pendengaran Jaya hampir lumpuh akibat pukulan Lurah Samin, tetapi dia masih mendengar dengan jelas suara yang mencemoohnya. Jaya membuka matanya. Pandangannya buram, samar-samar, melihat sosok yang berada di pojok ruangan, duduk pada tumpukan kayu.
Gudang itu hanya diterangi oleh cahaya dari luar melalui lubang angin. Sebab itulah kondisi gudang tak banyak cahaya. Jaya tak tahu siapa itu, tetapi dari suaranya dia memiliki tebakan sendiri.
“Kau … datang ingin membunuhku, kan, Kemoja?” Jaya terkekeh-kekeh dengan suara amat pelan. Napasnya bahkan menjadi tersengal-sengal karena berucap demikian.
“Aku tahu aku pasti akan mati ketika melihat mereka menganiayamu. Aku tahu ….” Napas Jaya tersengal-sengal kembali. Rasanya, jika dia mengucapkan banyak kata, napasnya akan terputus seutuhnya.
Tiba-tiba Kemoja tertawa. Tawa yang hanya dapat didengar Jaya, seakan-akan suara itu memang berada di dalam kepalanya.
Jaya meringis mendengar tawa itu. Dia ingin menutupi telinganya. Namun, tiba-tiba saja, tangan dan kakinya tak dapat digerakkan. Seketika rasa takut menyelubungi hati dan pikirannya. Hal yang semula dia pikir hanyalah halusinasi, kini makin terlihat saat cahaya hijau menyelubungi tubuh seorang wanita yang duduk di tumpukan kayu.
Melihat itu benar-benar Kemoja. Jaya menggigil ketakutan. Dia tak bodoh, peristiwa semalam itu adalah bukti bahwa Kemoja bukanlah seorang manusia biasa. Jaya tak tahu apa yang telah dilakukan gadis itu hingga selamat dari kematian yang menyakitkan. Namun, jika Jaya tak salah ingat, saat itu mata Kemoja terluka parah.
Jaya perlahan-lahan mendongak, memindai tubuh Kemoja dari kaki hingga ke kepala. Dia berhenti pada mata gadis itu. Lalu, ketakutan itu makin menjadi-jadi. Sungguh, mendapatkan pukulan Samin maupun Endang masih lebih baik dibandingkan berhadapan dengan sosok Kemoja, yang dia sendiri tak yakin apakah gadis itu manusia atau setan.
“Kau ingin lari?” Kemoja menyeringai sinis dan menakutkan Jaya.
Jaya memaksakan diri beringsut ingin menjauh. Di gudang itu terasa dingin. Namun, kehadiran Kemoja menambah rasa dingin itu makin kuat hingga Jaya tak tahan lagi meringkukkan tubuhnya.
“Kau kedinginan, Jaya?”
Jaya menggeleng-geleng. Namun, pada akhirnya giginya bergemeletuk hingga beberapa kali menggigiti mulut bagian dalamnya. Tak tahan lagi, Jaya menjerit dengan suara parau. Dia mencoba menggapai-gapai sesuatu meski itu makin menebas asanya karena bergerak ke mana pun, gudang itu seperti kosong.
Kemoja melangkah mendekati Jaya. Jaya makin gemetar kala harum melati menyeruak penciumannya. Di gudang itu tak ada embusan angin, tetapi dia jelas melihat rambut Kemoja berkibar menampakkan sisi mata kanannya yang berwarna hijau. Mata yang amat mengerikan memelototinya.
Jaya kian menggigil. Dadanya sesak, terhimpit kepanikan dan rasa takut. Dia melihat luka ditangan, perut, serta kakinya tiba-tiba merekah, menyemburkan darah, meruap di lantai gudang. Merasakan hal itu, Jaya menjerit sekuat-kuatnya. Yang membuat jeritan Jaya makin keras saat dia melihat dari tumpukan-tumpukan barang muncul tikus-tikus yang mencicit kelaparan.
“Kemoja! Kemoja! Ampuni aku! Ampun. Aku tak berniat membunuhmu. Mereka yang membunuhmu. Saat itu aku hendak kembali menolongmu, tapi … tubuhmu sudah menghilang. Sungguh … aaargh!” Jaya tak lagi memikirkan permohonan maafnya. Tubuhnya mulai dikerumuni tikus-tikus liar kelaparan.Jaya berusaha menendang dan menyingkirkan mereka. Namun, tikus-tikus itu makin bertambah hingga serangan mereka kian menggunung, berebut daging segar yang masih bernapas.
Dari seluruh tubuhnya yang digerogoti, hanya bagian wajahnya yang tak tersentuh. Seolah-olah, tikus-tikus itu tahu diri memperlihatkan wajah Jaya yang menjemput ajal kepada Kemoja.
Bersambung ….
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Kemoja
HorrorKemoja menghilang mendekati hari pernikahannya. Warga desa hanya menemukan selendangnya yang tersangkut pada batu di sisi tebing lautan. Orang-orang berpikir Kemoja bunuh diri. Bahkan kabar tentangnya menjadi kian buruk, mengganti citra Kemoja yang...