Part 20

2.9K 385 10
                                    


Ki Darya memasuki hutan utara sambil menghunuskan keris. Ada cahaya aura yang membuat kerisnya bergetar dan mengikuti jejak aura tersebut. Cahaya berwarna hijau yang melesat cepat dan meninggalkan jejak kerlip keemasan. Ki Darya menyeringai saat jejak aura itu berganti aroma campuran gaharu dan melati.

“Kau di sini rupanya. Keluarlah, Jahanam!” Ki Darya memandang ke berbagai penjuru, berputar, lalu memejamkan matanya. Telinganya mendengar desau angin. Penciumannya mendeteksi aroma. Lalu, ketika sekelebat bayangan muncul, Ki Darya membuka mata lalu bergerak mundur. 

Kemoja muncul di depannya dengan memegang kujang dengan mata lima berisikan permata hijau. Hanya sekali pandang, Ki Darya tahu bahwa pusaka itu bukan pusaka biasa. Tebakannya kian yakin gadis di depannya adalah gadis prajna yang dia cari.

“Begitu lihainya kau bersembunyi. Tapi … ke mana pun kau bersembunyi, aku bisa mengejarmu.”

“Bersembunyi? Aku tak pernah bersembunyi darimu. Hanya saja kau memang tidak pernah bisa menemukanku. Justru akulah yang datang dan mengejarmu.”

Mereka saling berputar, menatap waspada dengan menghunuskan senjatanya masing-masing.

Ki Darya menyeringai kala mata batinnya melihat percikan api dalam tubuh Kemoja. Permata agni yang dijanjikan Nyai Madra memang ada di tubuh gadis itu. Bisa dibilang, Kemoja memang telah mati, keberadaan permata itulah yang memanggil kembali kehidupannya. Di belakang Kemoja, pasti ada entitas kuat nan berbahaya, yang akan menjadi ancaman bagi Ki Darya. Pantas saja Nyai Madra menyuruhnya untuk membawa gadis ini dengan segera.

“Menyerahlah. Jika kau menyerah, aku tak akan membunuhmu.”

Kemoja terbahak-bahak. Tawa yang dipenuhi ejekan serta pandangan mata yang meremehkan.

Tingkahnya itu menjadi sangat menjengkelkan Ki Darya. Seumur hidupnya, setiap manusia atau makhluk gaib yang bertemu dengannya, mereka akan tunduk ketakutan. Itu mengapa dirinya disebut dukun sakti. Kecuali Nyai Madra, tak ada yang berani meremehkannya.

“Wanita busuk! Kuantar kau ke neraka!” Ki Darya menggeram lalu melompat menyerang Kemoja.

Kemoja berkelit dengan terbang dan hinggap pada dahan. Dia masih terbahak-bahak. Melihatnya, Ki Darya makin murka.

“Lungka panemu ji raga
Lungka asma daruh
Payit geutih urang kulaksana setan-setan.
Palih dieu … lampah, datang ayeuna!” Ki Darya mengucapkan mantra-mantra yang membuat tawa Kemoja lenyap.

Bumi bergetar. Angin riuh berembus. Pepohonan bergoyang kala tanah yang menggenggam akarnya bergelombang. Sementara, mantra Ki Darya makin lantang dilafalkan.

“Riung parlaya ku getih abdi ….” Ki Darya menggores telapak tangan kirinya dengan keris. Darah menetes, bercucuran ke tanah. Bagai dilahap, darah yang bercucuran itu menghilang ketika menyentuh tanah.

Kemoja bergerak cepat kala cahaya hitam muncul dari tanah lalu sigap menyerangnya. Dia berkelit dengan bantuan selendang hijaunya. Namun, cahaya hitam itu tak hanya satu. Dari tanah-tanah yang meretak, tak terhitung cahaya hitam muncul dan mulai mengejarnya.

Selendang hijaunya berkibar lalu menyapu cahaya-cahaya hitam tersebut. Kemoja melompat kala cahaya hitam lainnya menyerang lebih cepat dan lebih hebat. Kenyataannya dia masih terdesak saat ribuan cahaya itu tak juga habis meski ditangkis. Segera, dia membuat lingkaran di tanah menggunakan ujung kujang untuk melindungi diri.

Cahaya-cahaya hitam itu makin santer menyerang. Meski terpental berkali-kali oleh lingkaran pelindung, cahaya-cahaya tersebut tak kenal menyerah. Cahaya hitam adalah roh manusia mati yang dikumpulkan Ki Darya sebagai pasukannya. Mereka tak bisa mati sebab memang telah mati.

Kemoja murka. Sungguh, dia amat murka pada dukun itu. Roh-roh yang seharusnya kembali kepada Sang Pencipta harus terhambat bahkan digunakan sewenang-wenang oleh Ki Darya.

Tangan Kemoja mengepal, menggenggam kujang dan selendang secara bersamaan lalu menyatukannya. Perbuatannya tersebut membuat angin berdersik, dedaunan berjatuhan. Sepoi yang semula tenang tiba-tiba berubah menjadi pusaran-pusaran angin kencang.

Kedua mata Kemoja bersinar dengan cahaya hijau. Sinarnya meluas, menyungkupi hutan. Ada teriakan-teriakan dari cahaya-cahaya hitam, teriak kesakitan dan kengerian. Kemoja terpaksa melakukan ini semua. Cahaya-cahaya hitam tak dapat dibunuh, tetapi dengan permata agni yang berada di dalam tubuhnya, roh-roh yang tersesat akan dilahap dan dikunci dalam inti permata.

“Tidak! Kurang ajar! Berhenti …!” pekik Ki Darya kala cahaya-cahaya hitam tersebut disedot dan memasuki tubuh Kemoja.

Ki Darya berang. Dia kembali mengacungkan keris lalu melompat menyerang Kemoja. Namun, belum pun keris itu mengenai leher gadis itu, Ki Darya merasakan hawa yang amat panas. Lalu, sinar keemasan muncul dari tubuh gadis itu, begitu cepat, mengantarkan ledakan dahsyat yang melantingkan tubuh Ki Darya hingga menerjang pohon.

Pohon yang terkena pentalan dukun sakti itu tumbang seketika. Ki Darya berguling-guling lalu terbatuk hingga mengeluarkan darah. Dia mendongak dan melihat ke area pertempuran, tetapi sosok Kemoja telah menghilang. Jejak aura maupun aromanya pun lenyap begitu saja.

***

Di halaman belakang rumah besar Bratajaya, dengan di kelilingi orang-orang yang bercanda ria, tiba-tiba Wira merasakan air matanya menetes. Dia kebingungan kala menyentuh air matanya sendiri. Tiba-tiba ada rasa sesak dalam hatinya, tetapi Wira sendiri tak tahu mengapa.

Wira memandang Asih, Amanda, dan lainnya yang tengah menikmati pesta. Meja bertaplak putih memanjang dipenuhi makanan. Itu semua sebagai ungkapan suka cita dan syukur karena Wira telah sadar dan kelumpuhannya pun sembuh. Ya, sebuah keajaiban, dia bisa berjalan setelah tiga tahun lumpuh.

Dari semua kegembiraan itu, entah mengapa hatinya terasa kosong. Sangat kosong dan Wira tak tahu apa penyebabnya. Lalu, sekarang hatinya tiba-tiba sakit, kecemasannya melanda. Namun, dia sendiri tak tahu siapa atau apa yang dicemaskannya. Dia merasa ada enigma yang tak bisa dia tebak.

Asih menoleh dan melihat putranya mengusap air mata. Dia mengira Wira bahagia dengan kesembuhannya. Namun, lebih dari itu Asih sangat bahagia kala Wira sama sekali tak mencari Kemoja. Sejak anaknya sadar tiga hari yang lalu, Asih merasa Wira terkena amnesia. Anaknya sama sekali tak mengingat Kemoja.

“Makanlah, Nak! Ayo ….” Asih menyodorkan piringnya yang berisi potongan buah. Namun, Wira menggeleng.

“Bu, apakah ada yang aku lupakan? Adakah sesuatu atau seseorang yang tidak kuingat?”

Jemari Asih mencengkeram kuat pinggiran piring buahnya. Dia terperanyak, kaget, dengan pertanyaan Wira. Namun, segera dia bisa menguasai diri dan menggeleng sebagai jawabannya.

“Tak ada, Nak. Semua orang yang kaukenal ada di sini. Lihatlah, bahkan tunanganmu pun ada di sini.”

Wira memandang Amanda yang sedang mengobrol bersama ibunya. Entah mengapa, Wira merasa itu salah. Meski dia ingat bagaimana wasiat kakeknya yang menjodohkannya dengan Amanda, tetap saja, Wira merasa itu bukan hal yang sebenarnya. Namun, apa? Wira tak bisa mengingatnya.

“Jangan terlalu dipikirkan! Tak ada apa-apa, Nak.” Asih membelai bahu anaknya dengan lembut. Namun, dalam hatinya sangat cemas. Dia takut Wira mengingat Kemoja kembali.

Wira mendongak lalu tersenyum. “Maafkan aku, Bu. Aku membuatmu cemas,” sahutnya sambil mengambil piring buah yang disodorkan sebelumnya.

Asih tersenyum, mengangguk, lalu kembali berkumpul dengan Amanda dan Rosi. Sepergi Asih, Wira menoleh dan memandangi hutan yang berada di sisi utara. Entah mengapa dia merasa rindu, rindu yang dia sendiri tak tahu tertuju kepada siapa.

Saat mereka sedang menikmati hidangan, tiba-tiba pintu penghubung halaman belakang dibuka seseorang. Sepatu bot hitam melangkah, membuat ketukan hingga orang-orang di halaman belakang menoleh. Mereka sama-sama tertegun, tetapi dua orang di antaranya tertegun karena cemas.

“Halo semuanya, aku kembali!” ucap Andi sambil melambai. Lambaian yang membuat Amanda maupun Rosi memucat pasi.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang